ABSTRAK
KRIDA SALSABILA. “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan Tentang
Pengembangan Pendidikan Akhlak”. Skripsi Program Sarjana (S1).
Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis Tahun 2017.
Skripsi: Program Studi PAI, Fakultas
Tarbiyah, IAID, 2017.
Dalam perjalanan panjang usia
kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu selama 72 tahun, ancaman disintegrasi bangsa
masih terus mendera. Kerusuhan sosial silih berganti, Kalianda Lampung terus
bergolak, Papua tidak
pernah sunyi dari kerusuhan. Bahkan isu terorisme tak kunjung usai, yang setiap
saat mungkin dapat meledakkan kerusuhan sosial. Pada kenyataan di lapangan usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai
lembaga pendidikan dan mulai berbagai macam metode terus dikembangkan, sebagian
ulama modernisasi di Negara Indonesia ada yang membangun pendopo-pendopo,
langgar-langgar, atau pesantren-pesantren tempat di mana orang-orang muslim
belajar agama atau belajar ngaji yang bertujuan untuk membentuk akhlak
seseorang. Sehingga pesantren-pesantren yang dibangun oleh para ulama
modernisasi terdahulu bisa lebih berkembang pesat sampai sekarang ini. Hal itu
dapat berkembang karena adanya salah satu tokoh
yang selalu berjuang mengembangkan pendidikan akhlak kepada masyarakat. Oleh sebab itu kajian dalam
penelitian ini, dikembangkan dalam Pemikiran Syekh Kholil
Bangkalan Tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak.
Bertitik tolak dari deskripsi di atas, tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1. Bagaimana Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang pengembangan
Pendidikan Akhlak? 2. Bagaimana Relevansi
Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan terhadap Pendidikan Islam Kontemporer? Penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan penelitian kualitatif deskriptif, dalam penelitian ini tidak
bermaksud untuk menguji hipotesis, dalam arti hanya mengembangkan dan
menganalisis secara kritis terhadap suatu permasalahan. Penelitian ini
merupakan penelitian perpustakaan (Library
research).
Dalam
melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan tiga fase analisis data interaktif
model of analyst, yaitu sebagai berikut: 1. Fase reduksi data, Penulis memilih
dan memilah sumber data yang dianggap penting sesuai dengan fokus penelitian
dan rumusan masalah; 2. Fase penyajian data. Penulis memaparkan data yang
diperoleh pada fase pertama sesuai dengan rumusan masalah dan sub pokok
pembahasan agar dapat dipahami secara sistematis; 3. Fase penarikan kesimpulan.
Pada fase ini, data dari hasil fase kedua kemudian dilakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat
rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga tetap berada di dalamnya.
Hasil analisis penelitian, memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemikiran Syekh
Kholil Bangkalan tentang pengembangan Pendidikan Akhlak merupakan pendidikan
mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabi’at yang harus dimiliki
dan dijadikan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf,
seorang yang telah siap mengarungi kehidupan. 2.
Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang pendidikan Islam memberikan pengertian
bahwa Islam pada saat ini harus berupaya kepada pendidikan Islam yang lebih strategis untuk
menyelamatkan umat Islam dari pola berfikir yang statis menuju pada pemikiran
yang dinamis. Oleh sebab itu pemikiran Syekh Kholil Bangkalan selalu diterapkan oleh para ulama-ulama modernisasi
sekarang ini dan masyarakan sekitarnya.
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan
tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak” telah diperiksa dan disetujui oleh
Dosen Pembimbing dan layak untuk diajukan pada ujian skripsi.
Pembimbing
I,
Memberikan persetujuan pada tanggal................................
Dr. Hj. Chusna Arifah, M.Pd.I
Pembimbing II,
Memberikan persetujuan pada tanggal................................
Anis Husni Firdaus, S.Th.I., M.Pd.I
PENGESAHAN
Skripsi berjudul “Pemikiran Syekh Kholil
Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak” telah dipertanggungjawabkan
dalam Sidang Munaqasah pada tanggal 21 September 2017. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
(S.Pd) pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah,
Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.
Sidang Munaqasyah:
Dekan,
Anis Husni Firdaus, S.Th.I., M.Pd.I
PERNYATAAN
Yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Krida Salsabila
Tempat lahir : Ciamis
Tanggal lahir : 26 Januari 1995
NPM : 13.03.2889
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Alamat : Jln. Wastu Kencana Rt 05/Rw. 06, Dusun
Banjarwaru, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, 46253.
Menyatakan
dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Pemikiran Syekh Kholil
Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak” adalah asli, tidak mengandung
unsur plagiasi, fabrikasi, dan falisifikasi.
Apabila
dalam skripsi karya saya ini mengandung unsur-unsur plagiasi, fabrikasi, dan
falisifikasi; maka saya bersedia untuk dihadapkan pada sidang etik yang dibentuk
khusus untuk itu.
Ciamis,
26 Agustus 2017
Penulis,
KRIDA SALSABILA
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Krida Salsabila
dilahirkan di Ciamis pada tanggal 26 Januari 1995, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan
suami istri bernama Bapak Komarudin dan Ibu Lis Suryani. Penulis tinggal di
Dusun Banjarwaru Rt. 05/ Rw. 06, Desa/Kec. Kawali, Kabupaten Ciamis 46253, Jawa
Barat.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di
Madrasah Ibtidaiyah Persatuan Umat Islam
Pogorsari - Kawali Mukti lulus tahun 2007, Madrasah Tsanawiyah Negeri 1
Kawali yang sekarang sekolah tersebut berganti nama menjadi Madrasah Tsanawiyah
Negeri 2 Ciamis lulus tahun 2010, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Kawali
dengan mengambil jurusan Rekayasa Perangkat Lunak lulus tahun 2013, setelah itu
penulis melanjutkan studi ke Institut
Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan
Agama Islam (S1).
MOTTO
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ
للِنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”
Jika di dunia ini hanya
ada penderitaan, mengapa aku bertahan hidup?
Jika di dunia ini hanya
ada kesenangan, mengapa aku merindukan surga?
Hidup ini apa yang kucari?
Jika siangku hanya mengantarkan malam.
Kahlil Gibran
Dengan ucapan
alhamdulillah, skripsi ini
kupersembahkan untuk:
v Kedua Orang Tuaku, kakak, adik dan keluargaku tercinta
v Para Guru yang telah memberikan ilmunya, semoga menjadi
amal jariyah
v Seseorang yang senantiasa memberikan dukungan dan makna
dari kesabaran
v Sobat 5 sekawan (Gina, Hana, Enok, dan Ilma), terimakasih
atas motivasinya
v Teman-teman seperjuangan PAI B , semoga silaturahmi kita tetap terjaga
KATA PENGANTAR
ÉOó¡Î0
«!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$#
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt. tuhan yang mengusai seluruh alam
semesta. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis masih diberikan kesehatan
dan kemampuan dalam melaksanakan penelitian serta menyelesaikan proses
pembuatan skripsi yang berjudul “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang
Pengembangan Akhlak” tidak lupa pula shalawat dan salam penulis
panjatkan kepada baginda sang pejuang Nabi besar umat Islam Muhammad Saw. yang
selalu memberikan inspirasi dan teladan dalam kehidupan
kita di dunia ini, semoga kita mendapat
syafa’atnya pula di hari akhir. Aamiin
Penulis melakukan penelitian ini tujuan
utamanya adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
kependidikan (S.Pd) di jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah
di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.
Dalam proses pelaksanaannya peneliti menyadari
bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis menemui tak sedikit hambatan dan
tantangan, dalam pelaksanaan penelitiannya penulis tentu membutuhkan bantuan
materi dan non-materi agar segala proses penelitian dapat berjalan dengan
lancar.
Maka dari itu, sebagai ungkapan rasa syukur penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah turut membantu penulis
baik selama kuliah di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis maupun di
luar perkuliahan, terutama kepada:
1.
Yth. Dr. KH. Fadlil
Munawwar Manshur, M.S., selaku Pembina Institut Agama Islam Darussalam (IAID)
Ciamis, sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren Darussalam Ciamis, yang
telah membimbing penulis selama kuliah di Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Darussalam (IAID) Ciamis;
2.
Yth. Ibu Hj. N. Hani Herlina, S.Ag., M.Pd.I., selaku Rektor
Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis;
3.
Yth. Bapak Anis
Husni Firdaus, S.Th.I., M.Pd.I., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam
Darussalam (IAID) Ciamis, sekaligus Pembimbing II dalam penyusunan skripsi; dan
sebagai Dosen Pembimbing Akademik (DPA) yang telah memberikan bimbingan, saran,
dan arahan kepada penulis;
4.
Yth. Bapak Dr.
Abdul Aziz, M.Pd.I., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas
Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis;
5.
Yth. Ibu Dr.
Hj. Chusna Arifah, M.Pd.I., selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, saran, dan arahan dalam penyusunan skripsi ini;
6.
Orang tua dan
keluarga tercinta yang telah memberikan do’a dan dukungannya yang sangat
berharga dan dibutuhkan oleh penulis;
7.
Rekan-rekan
seperjuangan PAI 8 B, yang telah bersama-sama melalui suka duka sejak awal
masuk perkuliahan sampai sekarang, semoga silaturahmi kita selalu terjaga; dan
8.
Semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
Jazakallahu
khairan katsiraa, semoga Allah Swt. memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada
mereka di dunia maupun di akhirat.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat umumnya bagi para
pembaca, bagi instansi dan kalangan pendidikan, dan khususnya bagi
peneliti di masa yang akan datang.
Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan masukkan
yang membangun sangat penulis harapkan dan akan penulis terima dengan hati
terbuka demi perbaikan di masa yang akan datang.
Ciamis, Agustus 2017
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK..................................................................................................................... ........ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................................. ....... ii
PENGESAHAN............................................................................................................. ...... iii
PERNYATAAN............................................................................................................. ...... iv
RIWAYAT HIDUP........................................................................................................ ....... v
MOTTO................................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR.................................................................................................... ..... vii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ....... x
DAFTAR TABEL.......................................................................................................... .... xvi
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... ....... 1
A.
Latar Belakang
Masalah......................................................................... ....... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... ....... 7
C. Tujuan Penelitian.................................................................................... ....... 7
D.
Kegunaan Penelitian............................................................................... ....... 7
BAB II LANDASAN TEORI..................................................................................... ....... 9
A.
Pendidikan.............................................................................................. ....... 9
1. Pengertian Pendidikan........................................................................ ....... 9
2. Tugas dan Fungsi Pendidikan............................................................ ..... 11
3. Tujuan Pendidikan............................................................................. ..... 12
B.
Akhlak..................................................................................................... ..... 14
1. Pengertian
Akhlak.............................................................................. ..... 14
a. Akhlak menurut Bahasa................................................................ ..... 14
b. Akhlak menurut Istilah.................................................................. ..... 15
c. Perbedaan Akhlak, Etika, dan
Moral.................................................. 17
2. Dasar
- dasar Ilmu Akhlak................................................................. ..... 18
a. Alquran.......................................................................................... ..... 19
b. Al-Hadits....................................................................................... ..... 19
c. Al-Aqlu (Akal)............................................................................... ..... 20
3. Tujuan Kajian Ilmu Akhlak............................................................... ..... 21
4. Ruang Lingkup Ilmu Akhlak.............................................................. ..... 21
5. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu
- Ilmu Lainnya........................ ..... 23
a. Hubungan dengan Ilmu Tasawuf................................................... ..... 23
b. Hubungan dengan Ilmu Tauhid..................................................... ..... 23
1) Dilihat dari segi obyek
pembahasannya................................... ..... 24
2) Dilihat dari segi fungsinya........................................................ ..... 24
c. Hubungan dengan Ilmu Hukum.......................................................... 25
d. Hubungan dengan Ilmu Jiwa......................................................... ..... 25
e. Hubungan dengan Ilmu Pendidikan.............................................. ..... 28
f. Hubungan dengan Ilmu Filsafat.................................................... ..... 29
g. Hubungan dengan Ilmu Masyarakat................................................... 29
C.
Pendidikan Akhlak.................................................................................. ..... 31
1. Pengertian
Pendidikan Akhlak........................................................... ..... 31
2. Dasar
- Dasar Pendidikan
Akhlak...................................................... ..... 32
3. Tujuan Pendidikan
Akhlak................................................................. ..... 33
a. Tujuan Umum................................................................................ ..... 33
b.
Tujuan Khusus............................................................................... ..... 34
4. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak................................................... ..... 34
a. Akhlak kepada Allah Swt.............................................................. ..... 34
1) Taat........................................................................................... ..... 34
2) Tawaddhu’...................................................................................... 34
3) Tawakkal........................................................................................ 35
4) Taubat............................................................................................. 35
5) Tasyakur......................................................................................... 36
b. Akhlak kepada Dirinya.................................................................. ..... 36
1) Memelihara Kesucian Diri............................................................. 36
2) Memelihara Kerapihan Diri...................................................... ..... 37
3) Berlaku Tenang......................................................................... ..... 37
4) Menambah Pengetahuan........................................................... ..... 37
5) Membina Disiplin Diri.............................................................. ..... 38
c. Akhlak Perguruan.......................................................................... ..... 38
1) Akhlak Murid dalam Belajar.................................................... ..... 38
a) Membersihkan Niat.................................................................. 39
b) Memperhatikan Ilmu yang Bersifat Fardhu’ain dan Ilmu Pendukung Fardhu’ain............................................................................... 39
c) Tidak menunda-nunda kesempatan belajar.............................. 40
d) Bersabar.................................................................................... 41
e) Qana’ah.............................................................................. ..... 41
f)
Adanya Keinginan/kehendak.............................................. ..... 42
g) Mencari Ridha Allah........................................................... ..... 43
h)
Tirakat dan Mendekatkan Diri
kepada Allah........................... 44
i) Mandiri..................................................................................... 45
j) Mengamalkan Ilmu............................................................. ..... 45
2)
Akhlak Murid kepada Guru............................................................ 45
a)
Memilih Guru yang Wara’
disamping Professional................ 46
b)
Mengikuti Jejak Guru............................................................... 46
c)
Patuh dan Hormat kepada Guru.......................................... ..... 47
3) Akhlak Seorang Guru............................................................... ..... 47
a) Berniat Ibadah..................................................................... ..... 48
b) Menggunakan Metode yang Mudah dipahami Peserta Didik 48
c) Tanggung Jawab....................................................................... 48
d) Hikmah Kebijaksanaan............................................................ 49
e) Mendidik dengan Keterampilan Eksoterik......................... ..... 49
f) Memilih Waktu yang Tepat................................................ ..... 50
g) Memberi Teladan................................................................ ..... 50
d. Akhlak kepada Sesama Manusia................................................... ..... 50
1) Akhlak kepada Rasulullah Saw................................................ ..... 51
2)
Akhlak kepada Orang Tua........................................................ ..... 51
3) Akhlak kepada Tetangga dan Masyarakat................................ ..... 52
4) Akhlak kepada Lingkungan...................................................... ..... 53
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak....................................... ..... 53
a.
Faktor Eksternal............................................................................. ..... 53
1)
Keturunan................................................................................. ..... 54
2)
Lingkungan............................................................................... ..... 54
3)
Pendidikan................................................................................ ..... 55
4)
Penguasa/Pemimpin.................................................................. ..... 55
b.
Faktor Internal............................................................................... ..... 56
1)
Insting....................................................................................... ..... 56
2)
Kebiasaan.................................................................................. ..... 57
3)
Suara Hati (Hati Nurani)........................................................... ..... 57
6. Metode Pendidikan
Akhlak..................................................................... 58
7. Materi Pendidikan
Akhlak................................................................. ..... 59
a. Akhlak Mahmudah........................................................................ ..... 59
b. Akhlak Madzmumah...................................................................... ..... 60
D.
Kerangka Berfikir................................................................................... ..... 61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..................................................................... ..... 63
A. Waktu Penelitian..................................................................................... ..... 63
B. Jenis Penelitian....................................................................................... ..... 64
C. Teknik Pengumpulan Data..................................................................... ..... 64
D. Sumber Data........................................................................................... ..... 64
1. Sumber Data Primer................................................................................ 65
2. Sumber Data Sekunder............................................................................ 65
3. Sumber Data Tersier................................................................................ 65
E.
Analisa Data............................................................................................ ..... 65
1. Analisis Deskriptif................................................................................... 66
2. Analisis Isi............................................................................................... 67
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................ ..... 69
A.
Biografi Syekh Kholil Bangkalan........................................................... ..... 69
1.
Kelahiran dan Kehidupan Syekh
Kholil Bangkalan................................ 69
2.
Nasab Syekh Kholil Bangkalan............................................................... 73
3.
Karya Tulis Syekh Kholil
Bangkalan...................................................... 73
4.
Murid Syekh Kholil Bangkalan............................................................... 74
B. Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan........................... ..... 75
1.
Pengertian Pendidikan Akhlak menurut Syekh
Kholil Bangkalan.... ..... 75
2.
Tujuan Pendidikan Akhlak menurut Syekh
Kholil Bangkalan.......... ..... 76
3. Dasar Pendidikan
Islam menurut Syekh Kholil Bangkalan............... ..... 78
a. Alquran.......................................................................................... ..... 78
b. Sunah............................................................................................. ..... 80
C.
Sistem Pendidikan menurut Syekh Kholil Bangkalan............................ ..... 81
1.
Akhlak Murid dalam Belajar.............................................................. ..... 81
2.
Akhlak Murid kepada Guru................................................................ ..... 93
3.
Akhlak Sebagai Guru......................................................................... ..... 96
D.
Materi Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan............... ... 102
E.
Analisis Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak dan Relevansinya dalam Pengembangan Pendidikan Akhlak................ ... 103
1. Analisis Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang pengembangan Pendidikan
Akhlak ... 104
2.
Relevansinya dalam Pengembangan Pendidikan Akhlak.................. ... 105
BAB V PENUTUP...................................................................................................... ... 109
A.
Kesimpulan............................................................................................. ... 109
B. Saran-saran............................................................................................. ... 109
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... ... 111
LAMPIRAN – LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kerangka
Pemikiran....................................................................................... ..... 62
Tabel 2 Waktu
Penelitian............................................................................................ ..... 63
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dalam
perjalanan panjang usia kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu selama 72 tahun, ancaman
disintegrasi bangsa masih terus mendera. Kerusuhan sosial silih berganti, Kalianda
Lampung terus bergolak, Papua tidak pernah sunyi dari kerusuhan. Bahkan isu terorisme tak
kunjung usai, yang setiap saat mungkin dapat meledakkan kerusuhan sosial. Dalam
kaitan yang lebih luas nampak pula bahwa hubungan antara aspek moral dengan
kemajuan bangsa dikemukakan oleh Thomas Lickona. Dalam hal ini Lickona
mengemukakan bahwa ada 10 tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai berkenaan
dengan pembentukkan akhlak. Jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti
satu bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Adapun tanda-tanda tersebut yaitu:
1. Meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja; 2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang
memburuk; 3. Pengaruh teman sebaya yang kuat dalam
tindak kekerasan; 4. Meningkatkan perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas (perkosaan); 5.
Semakin kaburnya pedoman moral yang baik dan buruk; 6. Menurunnya etos kerja; 7.
Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8. Rendahnya rasa tanggung
jawab individu dan warga negara; 9. Membudayakan ketidak jujuran
(KKN dan lain sebagainya); 10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara
sesama. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).
Kesepuluh
tanda-tanda tersebut nampak semakin banyak terjadi di negeri ini. Bahkan ada sebagian
yang sangat mencemaskan orang tua dan masyarakat. Seperti halnya, dari hasil
survey Komnas Perlindungan Anak, PKBI, BKKBN tentang perilaku remaja yang telah
melakukan hubungan seks pranikah di perkotaan, diperoleh data sebagai berikut: 67,
7% siswa SMP pernah melakukan hubungan seks pranikah, 21, 2 % pernah aborsi, 93,
7 % remaja SMP dan SMA pernah melakukan ciuman dan oral seks, 97 % siswa remaja
SMP pernah menonton video porno. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).
Orang-orang
yang mendidik mereka seakan sudah kehabisan akal untuk mengatasi krisis akhlak
pada remaja. Jika terus dibiarkan dan tidak segera diatasi, maka bagaimana
nasib masa depan negara dan bangsa ini, sebab akhlak remaja saat ini adalah
cerminan suatu peradaban 20 hingga 30 tahun mendatang. Siapa lagi yang akan
meneruskan perjuangan kalau bukan generasi mudanya. (Laporan Media Indonesia, 18
Januari 2014).
Sepertinya
pendidikan konvensional yang mengabaikan aspek internal individu anak yang
terlalu sibuk dengan mengisi aspek kognitif saja menyebabkan pendidikan masih
kurang bermakna dalam konteks kepribadian bangsa. Disebabkan, pengembangan sisi
kemanusiaan kerap kali kurang terbina, pengabaian perilaku ini kemudian
berakibat pada lupanya orang tua atau guru untuk menghiasi dirinya dengan
perbuatan yang dapat diteladani. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).
Masalah lain adalah orientasi pendidikan
negeri yang terjebak pada “kebiasaan” zaman kolonial. Bahwa bersekolah
adalah upaya menaikkan harkat dan martabat sosial. Bersekolah adalah cara untuk
menaikkan derajat diri, dari orang biasa menjadi pamong pradja, menjadi pamong
pradja berarti menjadi bangsawan baru. Inilah yang membuat orientasi sekolah
berfokus pada ijazah, sehingga pembentukkan karakter menjadi terabaikan. (Laporan
Media Indonesia, 18 Januari 2014).
Apabila
seseorang telah meninggal maka seseorang itu akan meninggalkan warisan, ada
yang berupa materi ataupun
non-materi. Akhlak merupakan
salah satu bentuk warisan yang berwujud non-materi. Sehingga orang meninggal itu akan
dikenang orang serta dijadikan teladan. Dan apabila ia pernah membantu orang
lain maka kemungkinan orang yang mendapatkan bantuannya itu akan mendo’akan
dan/atau membantu keluarganya yang ditinggalkan.
Oleh karena itu,
pendidikan akhlak menjadi keniscayaan yang perlu dilaksanakan secara maksimal
sehingga masa depan bangsa semakin terjamin. Akhlak itu sendiri adalah berbuat
baik, karena perbuatan baik bukan saja bermanfaat bagi orang lain tetapi juga
akan berakibat baik kepada diri sendiri. (Umary, 1983: 87).
Pendidikan akhlak
merupakan bagian yang sangat penting dalam tujuan Pendidikan Nasional. Sebagaimana
tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menyatakan bahwa, “Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. (Anonimous,
2003: 6).
Dari tujuan
pendidikan di atas, dapat digaris bawahi bahwa salah satu tujuan pendidikan
adalah untuk menjadikan peserta didik memiliki akhlak yang mulia. Itu artinya
diharapkan setelah peserta didik menyenyam pendidikan akan tercipta perubahan
perilaku ke arah yang lebih baik sebagai cerminan tujuan pendidikan yang paling
utama yaitu iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Ini pada posisi
yang sangat penting, bahkan membina akhlak merupakan inti dari ajaran Islam. Rasulullah
Saw. bersabda, yang diriwayatkan oleh Ahmad yang artinya, “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad).
Akhlak teladan Rasulullah
Saw. ini juga diperkuat dalam Alquran:
y7¯RÎ)ur
4n?yès9
@,è=äz
5OÏàtã
Dan Sesungguhnya kamu (ya Muhammad
Saw.) benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (QS. Al-Qalam, 68: 4).
Menurut pendapat Yaqub mengutip pendapatnya Ahmad
Amin dalam bukunya Al-Akhlak, merumuskan pengertian akhlak sebagai
berikut, “Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan
apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”. (Yaqub, 1983: 12).
Menurut Imam
Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,
akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri
manusia, karenanya perilaku yang bersifat refleks dan timbul tanpa berpikir terlebih
dahulu itulah yang disebut akhlak. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan
terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah
laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk”. (Yaqub, 1983: 92).
Pada kenyataan
di lapangan usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan
dan mulai dari berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukan bahwa akhlak
memang perlu dibina dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa
terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah
Swt. dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu-bapaknya dan bermanfaat bagi lingkungan
di mana ia berada.
Berkat para
pembaharu tokoh-tokoh lama Indonesia yang mengembangkan pendidikan akhlak
hingga sampai sekarang. Maka dari itu kita patut bersyukur dengan kehadiran
mereka, akhlak masyarakat muslim semakin membaik, apalagi dengan kehadiran para
tokoh-tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang kian terus berjuang untuk
memperbaiki akhlak pada masyarakat waktu itu.
Saat agama Islam masih menjadi minoritas di
Indonesia, akhlak masyarakat pada waktu itu sangatlah buruk, mereka yang belum
memeluk agama Islam biasanya terjebak dalam kegiatan yang sia-sia ditambah lagi
diantara mereka ada yang menyembah pohon, patung, bahkan ada yang menyembah
Tuhannya dengan cara pesugihan atau pertumbalan, sehingga para tokoh-tokoh pembaharu
dalam Islam bergerak demi memberantas penyimpangan akhlak di masyarakat.
Perjuangan para
tokoh Islam bukan saja hanya memberantas penyimpangan akhlak tetapi juga
berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang hingga
akhirnya kemerdekaan dapat diraih dengan bersatunya para pemimpin bangsa dan
para tokoh pembaharu seperti Soekarno, Soeharto, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Kapten
Pattimura beserta tokoh dari kaum penjajah sendiri yang menentang penindasan
yang dilakukan bangsanya kepada rakyat Indonesia.
Termasuk juga
tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Abdul Halim Majalengka, dan lain sebagainya, mereka itu adalah salah satu
tokoh pembaharu dalam Islam di Indonesia bahkan mereka juga pendiri ormas pada
masa itu hingga sampai sekarang, seperti: Ormas Muhammadiyah, NU, Persis, sampai
dengan PUI.
Tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam itu yang
mendirikan Ormas adalah mereka yang berjuang memperbaiki akhlak-akhlak
masyarakat di Indonesia agar menjadi lebih baik lagi sehingga para orang tua, anak
didik, dan lain sebagainya memiliki akhlak atau budi pekerti yang mulia kepada
sesama umat muslim maupun non-muslim karena kita ini semuanya adalah ciptaan
Tuhan yang Maha Esa.
Para
tokoh-tokoh Ulama Islam di Indonesia tidak akan ada, jika tidak ada yang
mengajari mereka tentang pendidikan akhlak. Maka dari itu, awal mulanya
pendidikan akhlak muncul berkat adanya salah satu tokoh ulama terbesar bahkan
beliau diberikan gelar oleh pemerintah Indonesia dengan sebutan Syaikhona,
yang artinya Maha Guru atau biasa disebut gurunya para ulama.
Kemudian Syekh
Kholil Bangkalan memiliki murid-murid terkemuka, salah satunya yaitu KH. Hasyim
Asy’ari (Pendiri NU), Soekarno (Presiden pertama Indonesia) dan KH. Ahmad
Dahlan (Pendiri Muhammadiyah). Pada kenyataannya masih banyak para pakar, tokoh,
dan penulis yang banyak mengungkapkan sisi pemikiran tokoh ini, maka dengan
demikian pemaparan di atas merupakan sedikit tentang Pemikiran Pendidikan Akhlak
menurut Syekh Kholil Bangkalan, yang berusaha untuk menganalisa pendidikan
Islam dari sudut pandangan tokoh tersebut.
Berdasarkan pengamatan
penulis di lingkungan anak remaja saat ini, mereka rajin sekali pergi sekolah, mengikuti
kegiatan belajar dengan sangat baik dari awal kegiatan pembelajaran hingga
selesai, dengan istilah populernya disiplin. Konsentrasinya, perhatian, minat
untuk memahami pelajaran sangat antusias tetapi akhlak mereka dalam kehidupan
sehari-hari masih ada siswa yang berakhlak jelek. Misalnya masih ada siswa yang
berkata kotor, merayakan kelulusan dengan mencoret-coret seragam atau berpesta
pora.
Fenomena
empirik di atas menunjukkan adanya kesenjangan, yaitu di satu sisi mereka rajin
dan disiplin belajar di sekolah hingga mereka bisa lulus merupakan hal yang
positif. Namun di sisi lain masih banyak siswa yang berakhlak jelek setelah
mereka lulus. Mereka pintar namun menyalah gunakan kepintaran mereka untuk
mencurangi dan merugikan orang lain. Misalnya para koruptor, mereka adalah
orang-orang berpendidikan tinggi sehingga bisa mendapatkan posisi jabatan sebagai
wakil rakyat, namun ilmu yang dimilikinya tidak barokah, meskipun pintar mereka
berani memakan harta yang bukan haknya.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang: Bagaimana
Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan Tentang Pendidikan Akhlak? Bagaimana Relevansi
Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan Terhadap Pendidikan Islam Kontemporer?
untuk menjawab masalah tersebut, maka penulis merumuskan dalam sebuah judul
penelitian: “PEMIKIRAN SYEKH KHOLIL BANGKALAN TENTANG PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN AKHLAK”.
B. Rumusan Masalah
Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas
tentang permasalahan yang diteliti, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan
tentang Pendidikan Akhlak?
2.
Bagaimana Relevansi Pendidikan Akhlak Syekh Kholil
Bangkalan terhadap Pendidikan Islam Kontemporer?
C. Tujuan Penelitian
Adapun penulis
mengadakan penelitian ini adalah bertujuan:
1.
Untuk
mengetahui Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pendidikan Akhlak?
2.
Untuk
mengetahui Relevansi Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan terhadap Pendidikan Islam
Kontemporer?
D.
Kegunaan Penelitian
Arikunto (2006: 32) mengemukakan bahwa syarat terpenting
dalam penelitian adalah penelitian itu memberikan hasil yang berguna. Penelitian
adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya. Sesuatu
akan menjadi hal yang sia-sia jika seseorang melakukan penelitian yang hasilnya
tidak memiliki kegunaan.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LPP)
IAID Ciamis (2001: 9) mengemukakan bahwa, “kegunaan penelitian menyatakan kemungkinan
pemanfaatan yang bisa dipetik, dan secara umum diarahkan pada dua jenis
kegunaan yang bersifat ilmiah dan kegunaan bersifat praktis”.
Kegunaan Penelitian secara Ilmiah, dari hasil penelitian
ini diharapkan dapat:
1.
Menambah khazanah keilmuan dalam masalah Pendidikan Agama
Islam, khususnya dalam Pendidikan Akhlak;
2.
Dapat dijadikan teoritis dalam memahami pemikiran tokoh
tersebut;
3.
Dapat dijadikan landasan teori yang dapat terus diuji
validitasnya sehingga ditemukan generalisasi-generalisasi baru yang dapat
mendeskripsikan pemikiran tokoh tersebut dengan relevansinya pengembangan
pendidikan akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan.
Kegunaan
Penelitian Secara Praktis, dari hasil penelitian
ini diharapkan menjadi masukkan bagi berbagai pihak terkait, antara lain:
1.
Bagi para guru/ustadz, dari penelitian ini diharapkan
menjadi bahan masukkan dalam memecahkan masalah-masalah akhlak yang berkaitan
dengan pengembangan pendidian akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan, bahwa
pendidikan akhlak merupakan salah satu dasar penunjang untuk menumbuhkan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dan Rasulullah Saw.
2.
Bagi orang tua, dari penelitian ini diharapkan dapat
memberi pemahaman kepada orang tua bahwa pendidikan akhlak bukan semata-mata
tugas para pendidik atau pengajar sekolah melainkan orang tua sebagai pusat
utamanya, agar dapat mencontohkan apa yang dilakukan Syekh Kholil Bangkalan
dalam pengembangan pendidikan akhlak.
3.
Bagi peserta didik, semoga hasil penelitian ini
menyadarkan mereka bahwa dengan adanya pendidikan akhlak dapat menjadikan
dirinya insan kamil, sehingga dalam kesehariannya selalu dicintai Allah
Swt. dan Rasul-Nya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pendidikan
1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang
mengandung arti “pelihara dan latih”. (Tim penyusun, 2005: 263). Konsep
pendidikan dalam bentuk praktik mengarah pada pengertian pendidikan sebagai
suatu proses. Sedangkan pengertian dilihat dari historisnya, “Pendidikan
berasal dari kata yunani paedagogie yang berarti bimbingan yang
diberikan kepada anak”. (Ramayulis, 1994: 1).
Berdasarkan Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab
I, bahwa
Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. (Anonimous, 2003: 3).
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata pendidikan berasal dari
kata rabba-yurabbi-tarbiyatan, yang berarti mendidik, mengasuh dan
memelihara. (Munawwir, 1989: 504). “Dalam bahasa Arab pendidikan sering diambil
dari kata ‘allama dan addaba. Kata ‘allama berarti mengajar
(menyampaikan pengetahuan), memberitahu, mendidik. Sedangkan kata addaba
lebih menekankan pada melatih, memperbaiki, penyempurnaan akhlak (sopan santun)
dan berbudi baik”. (Munawwir, 1989: 461). Namun kedua kata tersebut jarang digunakan
untuk diterapkan sebagai wakil dari kata pendidikan, sebab pendidikan itu harus
mencakup keseluruhan, baik aspek intelektual, moralitas atau psikomotorik dan
afektif.
Ada tiga istilah pendidikan dalam Islam yang digunakan
untuk mewakili kata pendidikan, yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Kaitannya dengan hal tersebut, kata tarbiyah dipandang tepat untuk
mewakili kata pendidikan, karena kata tarbiyah mengandung arti
memelihara, mengasuh, dan mendidik yang ke dalamnya sudah termasuk makna
mengajar atau ‘allama dan menanamkan budi pekerti (addaba)”. (Soebahar,
2002: 25).
Secara terminologi, ada beberapa pengertian pendidikan
Islam yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
1.
Al-Syaibani, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah “proses mengubah
tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan
alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan
pengajaran sebagai aktifitas asasi dan profesi dalam masyarakat”.
2. Muhammad Fadhil Al-Jamaly,
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “upaya mengembangkan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang
tinggi dalam kehidupan yang mulia, dengan proses tersebut diharapkan akan
terbentuk pribadi peserta didik yang sempurna, baik yang berkaitan dengan
potensi akal, perasaan, maupun perbuatan”.
3. Ahmad D. Marimba, mengemukakan
bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
peserta didik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).
4. Ahmad tafsir, mendefinisikan
pendidikan sebagai”bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang
secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam”. (Rasyiddin, 2005: 31-32).
Adapun menurut Ngalim Purwanto, mengemukakan bahwa “Pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”. (Purwanto, 1995:
11). Adapun arti pendidikan menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip
oleh Abidin Ibnu Rusn, yaitu:
Proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu
pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana
proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju
pendekatan diri kepada Allah Swt. sehingga menjadi manusia sempurna. (Abidin, 1998:
56).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Achmadi
tentang pengertian Pendidikan sebagai berikut:
Segala usaha untuk memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia yang sesuai dengan norma Islam. Adapun
pengertian pendidikan Agama Islam ialah usaha yang lebih khusus ditekankan
untuk mengembangkan fitrah keagamaan (religiousitas) subjek didik agar
lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. (Achmadi,
2008: 29).
2.
Tugas dan Fungsi
Pendidikan
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya
sampai mencapai titik kemampuan optimal. (Rasyidin, 2005: 32).
Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan Al-Kailani,
”Tugas Pendidikan Islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu
pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabi’at peserta didik”. (Mudjib, 2008:
51).
Berkenaan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam, Djawad Dahlan (1993)
berpendapat bahwa dalam ajaran Islam terdapat dua konsep ajaran Rasulullah Saw.
yang maknanya sangat padat dan memiliki kaitan erat dengan tujuan dan
pendidikan Islam yaitu iman dan takwa. Kedua konsep ini tidak bisa dipisahkan. Untuk
itu pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai derajat iman dan takwa. (Syahidin,
2005: 14).
Lebih lanjut Abdul Mudjib (2008: 52) menyatakan untuk menelaah tugas-tugas
pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu: a. Pendidikan
dipandang sebagai pengembangan potensi; b. Pendidikan dipandang sebagai pewaris
budaya; c. Pendidikan dipandang sebagai interaksi antara pengembangan potensi
dan pewarisan budaya.
Menurut Achmadi berpendapat bahwa ada tiga fungsi pendidikan diantaranya:
1.
Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinyadan alam sekitarnya
sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan
kreatifitas dan produktifitas.
2.
Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun kehidupannya sehingga
keberadaannya baik secara individual maupun sosial lebih bermakna.
3.
Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi
kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun sosial. ( Achmadi, 2008: 33)
Selanjutnya Achmadi mengungkapkan bahwa ada tiga fungsi pendidikan Islam
yakni:
1.
Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam
sekitar, dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca
(analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta memahami hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya. Adanya kemempuan ini, akan menumbuhkan kretifitas dan
produktifitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan (pencipta).
2.
Membebaskan manusia dari segala analisir yang dapat merendahkan martabat
manusia (fitrah manusia) baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun
dari luar.
3.
Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik
individu maupun sosial. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal
yang diberikan Alquran, sebagaimana tersebut pada butir pertama di atas, hendaknya
dimulai dengan memahami fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga
mengetahui hukum-hukumnya (Sunnah Allah Swt.). (Achmadi, 2008: 36).
Menurut Kursid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi
pendidikan Islam ialah: a. Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan
tingkatan-tingkatan kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, seta ide-ide
masyarakat dan bangsa; b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan
perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill
yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk
menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi. (Mudjib, 2008: 69).
3.
Tujuan Pendidikan
Sikun Pribadi, yang dikutip Achmadi (2008: 90) bahwa
tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari
seluruh aspek pedagogik. Hal ini tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat
menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum
semua kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Suatu rumusan tujuan pendidikan akan tepat apabila sesuai
dengan fungsinya. Oleh karena itu, perlu ditegaskan lebih dahulu apa fungsi
pendidikan itu. Diantara para pendidik professional, ada yang berpendapat bahwa
fungsi tujuan pendidikan ada tiga yang semuanya bersifat normatif sebagaimana
Achmadi kemukakan sebagai berikut:
1.
Memberikan arahan bagi proses pendidikan sebelum kita menyusun kurikulum
perencanaan pendidikan dan berbagai aktifitas pendidikan. Langkah yang harus
dilaksanakan pertama kali ialah merumuskan tujuan pendidikan. Tanpa kejelasan
tujuan, seluruh aktifitas pendidikan akan kehilangan arah, kacau bahkan menemui
kegagalan.
2.
Memberikan motivasi dalam aktifitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan
merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dan diinternalisasikan pada anak atau
subjek pendidikan.
3.
Tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan.
(Achmadi, 2008: 90).
Lebih lanjut Achmadi merumuskan, ada tiga tahapan tujuan
pendidikan, yakni:
1.
Tujuan tertinggi dan terakhir, tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami
perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak
dan universal. Tujuan tertinggi dan terakhir ini pada dasarnya sesuai dengan
hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah Swt., yaitu: a) menjadi
hamba Allah Swt. yang bertakwa; b) mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah
fil ard (wakil Allah Swt. di bumi) yang mampu memakmurkannya, c) memperoleh
kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat.
2.
Tujuan umum, berbeda dengan tujuan tertinggi dan terakhir yang lebih
mengutamakan pendekatan filosofis, tujuan umum bersifat empirik dan realistik. Tujuan
umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena
menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian subjek didik, sehingga
mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
3.
Tujuan khusus, ialah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi
dan terakhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif
sehingga memungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan
tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi
dan tujuan umum. Pengkhususan tujuan tersebut didasarkan pada: a) kultur dan
cita-cita suatu bangsa di mana pendidikan itu dilaksanakan, b) minat, bakat, dan
kesanggupan subjek didik, c) tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu
tertentu. (Achmadi, 2008: 95).
Selain itu, fungsi dan tujuan pendidikan tertuang dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, yaitu
Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang martabat, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. (Anonimous, 2003: 6).
Sementara Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila
bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan
dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung
jawab atas pembangunan bangsa. (Yunus, 1998: 165).
Menurut Tatang Syarifudin (2006: 34), mengatakan: ”Tujuan
pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya, mampu
memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya,
berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya”.
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang
diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai
kematangan itu, ia mampu memerankan diri sesuai dengan amanah yang disandangnya,
serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan
di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang
dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia. (Dzatnika, 1992: 26).
B. Akhlak
1.
Pengertian Akhlak
a.
Akhlak Menurut Bahasa
Akhlak
berasal dari bahasa Arab, yaitu
jama’ dari kata”khuluq”(خلوق)
secara bahasa kata ini memiliki arti perangai atau yang mencakup diantaranya: sikap,
prilaku, sopan, tabi’at, etika, karakter, kepribadian, moral dll. Menurut Mukhtar Ash Shihah akhlak berarti watak.
Sementara menurut Al-Firuzabadi
akhlak adalah watak, tabi’at, keberanian, dan agama. (Asmaran, 1994: 3-4).
Kemudian, dalam Bashaa-ir Dzawi Al Tamyiz fi Lathaa-
if Al Kitab Al Aziz Baashiroh fi Akhlak adalah pikiran yang lurus. Kata al-khuluqu
digunakan pula dalam menciptakan sesuatu yang tanpa permulaan dan tanpa meniru.
Pada dasarnya al khulqu dan al kholqu sama, hanya saja al
kholqu itu khusus tertuju pada tingkah - tingkah atau keadaan dan bentuk -
bentuk yang bisa dilihat dengan mata, sedangkan khulqu khusus pada
kekuatan dan tabi’at yang ditembus dengan hati. Ibnu Abbas Ra. berkata”maksudnya
benar - benar beragama yang agung, agama yang paling kucinta dan tak ada agama
yang aku ridhai selain agama itu adalah Islam”.
Kemudian, Alhasan berkata, ”maksudnya etika Alquran “kemudian Qotadah berkata “maksudnya
sesuatu yang diperintahkan Allah Swt. dan yang dilarang-Nya”. (Asmaran, 1994: 3-4).
Adapun maknanya adalah “sesungguhnya kamu benar – benar
berakhlak yang telah dipilih Allah Swt. untukmu dalam Alquran. Dalam Ash-Shohihain
dikatakan, bahwa Hisyam bin Hakim bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah
Saw., kemudian Aisyah menjawab, ”akhlak beliau adalah akhlak Alquran”. Menurut
pendapat saya jika dilihat dari berbagai uraian diatas dapat diambil kesimpulan
akhlak menurut bahasa adalah tabi’at atau tingkah laku, dan akhlak yang baik
adalah tingkah laku yang sesuai dengan Alquran. (Asmaran, 1994: 3-4).
b.
Akhlak Menurut Istilah
Menurut Ahmad
Amin yang dikutip oleh Ahmad Athoullah
mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak
itu bila dibiasakan pada sesuatu
maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya bila kehendak memberi itu dibiasakan seseorang, maka
kebiasaan itu ialah akhlak dermawan. Sedangkan menurut Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawiy dalam
kitabnya “Murooqiyul ‘Ubudiyah”Akhlak
adalah”keadaan di dalam jiwa yang mendorong perilaku yang tidak terpikir dan tidak ditimbang”. (Athoullah, 2005: 23-24).
Dalam buku lain dijelaskan bahwasanya akhlak menurut
terminologi adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: ”Gambaran
batin seseorang”. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran:
1)
Gambaran dzahir
(luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah Swt. jadikan padanya sebuah
tubuh. Dan gambaran dzahir tersebut diantaranya ada yang indah dan bagus,
ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan diantara
keduanya atau biasa-biasa saja.
2)
Gambaran batin
(dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya
perbuatan - perbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat
dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak. (Athoullah, 2005: 23-24).
Menurut Imam Maskawih akhlak adalah suatu keadaan bagi
jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan - tindakan dari keadaan itu
tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi menjadi dua: ada
yang berasal dari tabi’at aslinya, dan ada pula yang diperoleh dari kebiasaan
yang berulang - ulang. Boleh jadi pada mulanya tindakan - tindakan itu melalui
pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus - menerus maka jadilah suatu
bakat dan akhlak. (Athoullah, 2005: 23-24).
Kemudian Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu
ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam - macam
tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih
dahulu. Dari dua definisi di atas, kita dapat memahami beberapa hal, diantaranya:
a)
Akhlak itu
suatu keadaan bagi diri, maksudnya ia merupakan suatu sifat yang dimiliki aspek
jiwa manusia, sebagaimana tindakan merupakan suatu sifat bagi aspek tubuh
manusia.
b)
Sifat kejiwaan
mesti menjadi bagian terdalam, maksudnya keberadaan sifat itu tidak terlihat. Ia
diwujudkan pada orangnya sebagai kebiasaan yang terus - menerus selama ada
kesempatan. Oleh karena itu, orang kikir yang hanya bersedekah sekali selama hidupnya
belum disebut pemurah.
c)
Sifat kewajiban
yang merupakan bagian terdalam itu melahirkan tindakan - tindakan dengan mudah.
Maksudnya, tindakan itu tidak sulit dilakukan. Oleh karena itu, orang jahat
yang bersikap malu, tidak disebut pemalu.
d)
Munculnya
tindakan - tindakan dari keadaan jiwa atau bakat kejiwaan itu tanpa dipikir
atau dipertimbangkan lebih dahulu. Maksudnya, tanpa ragu – ragu dan tanpa
memilih waktu yang cocok. Akhlak itu sudah menjadi adat dan kebiasaan maka
tindakan itu dilakukan tanpa berpikir, meskipun pemikirannya aktif dalam
mempertimbangkan dari berbagai segi. Orang dermawan misalnya, ia tidak ragu –
ragu untuk memberi dan berkorban, tetapi ia hanya mempertimbangkan dari segi
kebaikan, jenis kebaikan itu atau sifat pribadi yang suka memberi. Jadi
pemikirannya itu hanya diarahkan pada segi kebaikan dan aspek – aspeknya saja.
e)
Dari akhlak itu
ada yang bersifat dan tabi’at dan alami. Maksudnya, bersifat fitrah sebagai
pembawaan sejak lahir, misalnya sabar, cinta, dan malu.
f)
Dari akhlak
juga ada hasil yang diupayakan, yakni lahir dari kebiasaan, latihan dan
lingkungan, misalnya takut dan berani.
g)
Kata akhlak
dipakai untuk perbuatan terpuji dan perbuatan tercela. Oleh karena itu, akhlak
memerlukan batasan, agar dikatakan akhlak terpuji dan akhlak tercela.
h)
Akhlak yang
didahului tindakan – tindakan kejiwaan, ia menjadi langkah terakhir dari
tindakan – tindakan itu. (Athoullah, 2005: 23-24).
Yang
pertama kali datang pada hati manusia adalah ide yakni perkataan diri. Setelah itu, diri
manusia berbicara kepada hati tentang berbagai hal, maka
hati itu cenderung pada salah satu hal tersebut. Kecenderungan adalah tujuannya seseorang pada salah
satu ide yang tergambar dalam hati dan ingin mencapai tujuan dan ide tersebut. Jika
salah satu kecenderungan
mengalahkan kecenderungan - kecenderungan
yang lainnya, kecenderungan itu menjadi harapan. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).
Harapan adalah menangnya salah satu kecenderungan atas
semua kecenderungan dalam hati seseorang. Jika orang itu memikirkan dan
mempertimbangkan harapan ini secara matang, lalu membulatkan tekad kepadanya, harapan
ini menjadi suatu keinginan. Keinginan adalah sifat diri yang telah membulatkan
tekad terhadap salah satu harapan di atas untuk dapat dibuktikan. Jika
keinginan itu terus – menerus dan berulang – ulang maka jadilah suatu adat dan
kebiasaan. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).
c.
Perbedaan
Akhlak, Etika, dan Moral
Pengertian Akhlak menurut Yaqub
(1983: 12) mengutip pendapat Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlaq merumuskan
pengertian Akhlak sebagai berikut: ”Akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia
kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”.
Pengertian Etika menurut Yaqub
(1983: 13) mengutip dari Ilmu Filsafat, ”Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana
yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia
sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Perbedaannya dengan Akhlak
adalah pada titik tolaknya dan ruang lingkupnya, akhlak bertitik tolak pada
Alquran dan hadits dan kebenaran antara baik dan buruknya dapat diterima secara
universal. Sedangkan Etika bertitik tolak pada akal manusia dan ruang lingkup
baik dan buruknya terbatas karena etika di tiap wilayah bisa berbeda-beda.
Pengertian Moral menurut Yaqub
(1983: 14) adalah adat kebiasaan yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
dengan arti susila. Sementara menurut istilah, Moral adalah Tindakan yang umum diterima
yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Perbedaannya dengan
Etika adalah etika bersifat teori sedangkan moral bersifat praktis.
Selain yang telah di jelaskan
di atas, Bahasa Indonesia juga mempergunakan kata-kata yang makna dan tujuannya
sama atau hampir sama dengan perkataan akhlak, yaitu: Susila, Kesusilaan, Tata
Susila, Budi Pekerti, Kesopanan, Sopan Santun, Adab, Perangai, Tingkah Laku, Perilaku,
dan Kelakuan. (Yaqub, 1983: 15).
2.
Dasar – Dasar Ilmu Akhlak
Menolong
orang lain, suka memberi, adil, dermawan, mengapa beberapa perbuatan tersebut
dinilai sebagai kebaikan? Dan mengapa juga kebohongaan, kezaliman, kekerasan
dinilai sebagai keburukan? Untuk menjawab pertanyaan yang muncul tersebut harus
dijawab dengan argumen yang kuat dan mempunyai dasar. Perbuatan-perbuatan yang
mempunyai nilai baik dan buruk, mempunyai dasar-dasar yang jelas. Pada
pembahasan sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada ilmu yang membahas dan memberikan klarifikasi pada persoalan baik dan
buruk, itulah Ilmu Akhlak. Tentunya ilmu tersebut mempunyai dasar. Adapun
dasar-dasar Ilmu Akhlak adalah sebagai berikut:
a.
Alquran
Alquran
sebagai dasar (rujukan) Ilmu Akhlak yang pertama, hal ini dinilai karena
keotetikannya yang lebih tinggi, dibandingkan dengan dasar-dasar yang lain. Mengingat
Alquran merupakan firman Tuhan, sehingga tidak ada keraguan baginya untuk
dijadikan sebagai dasar atau asas. Dan tidak akan dibahas di sini, karena ada
ilmu khusus yang membahasnya. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).
Nilai-nilai yang ditawarkan oleh Alquran sendiri sifatnya
komprehensif. Perbuatan baik dan buruk sudah dijelaskan di dalamnya. Hanya saja,
ada yang perlu diperhatikan. Mengingat ada banyak ayat-ayat Alquran yang
membutuhkan penafsiran. Sehingga untuk memudahkan, orang-orang akan merujuk
kepada Al-Hadits (sebagai Asbabun Nuzul suatu ayat) dan Al-Aqlu
(penalaran akal). Sejauh manakah campur tangan kedua dasar tersebut pada
persoalan Ilmu Akhlak? Pastinya Al-Hadits
dan Al-Aqlu tidak akan
merubah pesan yang ingin disampaikan
oleh Alquran.
b.
Al-Hadits
Asbabul
Wurud suatu hadits berbeda-beda. Ada hadits yang
dikeluarkan oleh Rasulullah Saw. karena seorang sahabat bertanya kepadanya, karena
Rasulullah Saw. menegur seorang sahabat, karena peringatan, dan penjelasan Rasulullah Saw. terhadap Alquran.
Dalam riwayat Aisyah pernah ditanya oleh seseorang tentang akhlak Rasulullah
Saw. Aisyah menjawab akhlak Rasulullah Saw. adalah Alquran.
Dengan
demikian, Rasulullah Saw. merupakan interpretasi yang hidup terhadap Alquran.
Karena segala ucapan (Qauliyah), perbuatan (Fi’liyah), dan
penetapan (Taqririyah) merupakan sebuah wahyu dari Allah Swt., dan
apa-apa yang datang dari Rasulullah Saw. senantiasa terjaga. Dapat disimpulkan
bahwa Alquran dan Al-Hadits
berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Swt. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).
Di dalam Alquran telah dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. itu
pribadi yang agung, karena memang pada dirinya terdapat suri tauladan yang baik.
Keistimewaan tersebut, tidak hanya diakui oleh umat Islam saja, akan tetapi
non-muslim pun mengakui hal tersebut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Machael H. Hart tentang 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah, dia
menuliskan nama Rasulullah Saw., yaitu Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muthalib
di posisi pertama. Jelaslah bahwa tidak ada kecacatan dalam pribadi Rasulullah Saw.,
karena memang tugas diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak. (Sa’aduddin,
2006: 27-28).
c.
Al-Aqlu (Akal)
Salah
satu anugrah Tuhan kepada manusia yang menjadi esensi
dari dirinya adalah akal. Dengannya manusia dapat berfikir secara rasional, membedakan
antara yang hak dengan yang bathil. Jika manusia dimuliakan oleh Allah Swt.
karena mempergunakan akalnya dengan baik, maka Allah Swt. akan memberikan
ganjaran atas perbuatan baik yang telah dilakukan. Kedudukan manusia di mata Allah
Swt. akan melebihi malaikat
apabila mereka dapat menggunakan potensi yang telah diberikan dengan baik. Dan
begitu pun sebaliknya, orang yang tidak menggunakan potensinya dengan baik, maka
derajatnya lebih rendah dibandingkan dengan binatang. (Nasir, 1980: 96).
Mereka yang dapat selamat dari kesesatan adalah
orang-orang yang senantiasa mempergunakan akalnya dengan baik. Kita lihat
orang-orang yang tercerahkan sebelum datangnya Alquran, apa yang mereka jadikan
dasar, tidak lain adalah akal mereka. Apakah Phytagoras, Anaximenes, Aristoteles,
Plato, Socrates, Plotinus, dan beberapa filsuf lainnya berpegang teguh dan
senantiasa mengamalkan Alquran, tentu tidak, Islam saja belum ada di zaman
mereka. Tapi mereka terkenal sebagai orang-orang yang bijak. (Nasir, 1980: 96).
3.
Tujuan
Kajian Ilmu Akhlak
Setelah
mengetahui definisi dan
dasar Ilmu Akhlak, maka akan dibahas tujuan dari pada Ilmu Akhlak ini sendiri. Guna
memberikan kejelasan lanjutan, maka ada dua tujuan utama Ilmu Akhlak, yaitu: Tujuan Imu Akhlak adalah untuk menyempurnakan perilaku manusia dengan menyodorkan kebaikan. Dalam
pembahasan Ilmu Akhlak dipaparkan tentang hal-hal yang baik dan buruk, guna
memahamkan kita dalam bertingkah laku agar tidak salah mengambil langkah yang
akan merugikan diri sendiri, maupun orang lain dalam lingkungan bermasyarakat. Pada
dasarnya ada dua persoalan yang dibicarakan, yaitu pemaparan tentang kebaikan
dan keburukan. Namun terdapat
perbedaan, mempelajari kebaikan untuk mengerjakannya namun
mempelajari keburukan untuk meninggalkannya, serta memberikan kecenderungan
untuk berperilaku baik. (Kafie, 1993: 56).
4.
Ruang Lingkup Ilmu Akhlak
Ruang lingkup Ilmu Akhlak
adalah membahas tentang perbuatan-pebuatan manusia, kemudian menetapkannya
apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang
buruk. Ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Akhlak sebagai suatu disiplin ilmu
agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu ke-Islaman
lainnya, seperti Tafsir, Tauhid, Fiqh, Sejarah Islam, dll.
Pokok-pokok
masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan
tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Dalam
hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut, "Bahwa objek ilmu akhlak adalah membahas
perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan tersebut ditentukan baik atau
buruk”. (Yusuf, 1993: 88-92).
Kemudian menurut Imam Al-Ghazali, akhlak menurutnya bahwa
kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai
individu maupun kelompok. Dalam masyarakat Barat kata akhlak sering
diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikkannya ini tidak sepenuhnya
tepat. Mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa etika
adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia. Namun perlu
ditegaskan kembali bahwa yang dijadikan objek kajian Ilmu Akhlak disini adalah
perbuatan akhlak yang memiliki ciri-ciri dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya
mendarah daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus-menerus dalam
kehidupannya. (Yusuf, 1993: 88-92).
Imam Al-Ghazali membagi tingkatan keburukan akhlak
menjadi empat macam, yaitu: a. Keburukan akhlak yang timbul karena ketidak sanggupan
seseorang mengendalikan nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jahil (الخاهل); b. Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak
bisa meninggalkannya karena nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga
pelakunya disebut al-jahil al-dhollu (الجاهل الضّالّ);
c. Keburukan akhlak yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik
baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik. Maka
pelakunya disebut al-jahil al-dhollu al-fasiq ( الجاهل الضّالّ الفاسق); d. Perbuatan buruk yang sangat berbahaya
terhadap masyarakat pada umumnya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda
kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan
pengorbanan yang lebih hebat lagi. Orang yang melakukannya disebut al-jahil
al-dhollu al-fasiq al-syarir ( الجاهل الضّالّ الفاسق الشّرير). (Yusuf, 1993:
88-92).
Menurut Imam Al-Ghazali, tingkatan keburukan akhlak yang
pertama, kedua, dan ketiga masih bisa dididik dengan baik, sedangkan tingkatan
keempat sama sekali tidak bisa dipulihkan kembali. Karena itu, agama Islam
membolehkannya untuk memberikan hukuman mati bagi pelakunya, agar tidak
meresahkan masyarakat umum. Sebab kalau dibiarkan hidup, besar kemungkinannya
akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang banyak.
5.
Hubungan
Ilmu Akhlak dengan
Ilmu – Ilmu Lainnya
a.
Hubungan dengan Ilmu Tasawuf
Antara
Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf memiliki hubungan yang berdekatan. Akhlak dalam
pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesama makhluk-Nya, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi
vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf,
sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak. Pengertian Ilmu Tasawuf
adalah Ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan
dan keburukan jiwa.
Para
ahli ilmu tasawuf membagi
tasawuf menjadi tiga bagian, yaitu Tasawuf Falsafi, Tasawuf Akhlaki dan Tasawuf
Amali. Ketiga macam ini mempunyai tujuan sama yaitu untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan
menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian, dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf
seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. (Yusuf, 1993: 88-92).
b.
Hubungan dengan Ilmu Tauhid
Hubungan
antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid merupakan hubungan yang bersifat
berdekatan, sebelum membahas lebih jauh apa hubungan antara Ilmu Akhlak dengan
Ilmu Tauhid terlebih dahulu kita mengingat kembali apa pengertian Ilmu Akhlak
dan Ilmu Tauhid. Menurut Ibn Maskawih Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. (Yusuf, 1993: 88-92).
Sedangkan Ilmu Tauhid adalah Ilmu yang
membahas tentang cara-cara meng-Esakan
Tuhan sebagai salah satu sifat yang terpenting diantara sifat Tuhan lainnya. Ilmu Tauhid dengan segala
nama lainnya (Ushul al-Din, al-‘Aqaid), ilmu ini sangatlah
penting yang tidak boleh dibuka atau dilepaskan begitu saja karena bahayanya
sangat besar bagi kehidupan manusia. Selain itu Ilmu Tauhid juga disebut Ilmu Kalam.
Dalam ilmu ini menimbulkan pertentangan yang cukup keras dalam umat Islam. Sebagian
berpendapat kalam Tuhan itu adalah makhluk, sebagian berpendapat kalam Tuhan
adalah qadim.
Hubungan
Ilmu antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid dapat dilihat melalui beberapa
analisis:
1)
Dilihat dari segi obyek
pembahasannya, Ilmu Tauhid sebagaimana diuraikan di atas membahas masalah Tuhan
baik dari segi dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada
Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan sehingga perbuatan yang
dilakukan manusia semata-mata karena Allah Swt. Dengan demikian Ilmu Tauhid
akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini merupakan
salah satu akhlak yang mulia.
2)
Dilihat dari segi
fungsinya, Ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya
cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi
yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh
terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Misalnya jika seseorang
beriman kepada malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia
meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak
pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Allah Swt. Percaya
kepada malaikat juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi
oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan. (Yusuf, 1993:
88-92).
Dengan cara demikian percaya kepada malaikat akan membawa
kepada perbaikan akhlak yang mulia. Dari uraian yang agak panjang lebar ini
dapat dilihat dengan jelas adanya hubungan yang erat antara keimanan yang
dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan perbuatan baik yang dibahas dalam Ilmu Akhlak.
Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan bahasan terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Tauhid
tampil memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak
yang mulia tidak akan ada artinya dan akhlak yang mulia tanpa Tauhid tidak akan
kokoh. Selain itu Tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi
isi terhadap arahan tersebut. Disinilah letaknya hubungan yang erat dan dekat
antara Tauhid dan Akhlak. (Yusuf, 1993: 88-92).
c.
Hubungan dengan Ilmu Hukum
Antara Etika dan Hukum memiliki hubungan yang erat, karena
pembahasannya sama-sama berkisar pada masalah perbuatan manusia. Tujuannya pun
sama yakni mengatur perbuatan manusia demi terwujudnya keserasian, keselarasan,
keselamatan dan kebahagiaan mereka. Bagaimana seharusnya bertindak, terdapat
dalam kaidah-kaidah hukum dan kaidah-kaidah akhlak. Bedanya Hukum memberikan
putusan hukuman perbuatan berupa sanksi-sanksi yang harus diterima pelaku
sedangkan Etika menilai baik atau buruknya. (Yaqub, 1983: 19).
Dalam hukum Islam yang lengkap dan sempurna, perbuatan
baik dan buruknya dinilai oleh akhlak, dan pasti ada kepastian hukumnya. Misalnya
menyingkirkan duri di jalan, etika menilainya sebagai kelakuan baik, sedangkan
dalam hukum Wadl’i tiada arti apa-apa. Namun dalam hukum Islam dinyatakan
sebagai perbuatan yang dihukumkan sunat, yakni kalau dikerjakan mendapat pahala,
bila tidak dikerjakan tidak berdosa. (Yaqub, 1983: 19).
d.
Hubungan dengan
Ilmu Jiwa
Ilmu
jiwa (psikologi) adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses
mental yang terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ilmu ini meneliti tentang
peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara
hati (dhamir), kemauan (iradah), daya ingat, hafalan, prasangka (waham),
dan kecenderungan-kecenderungan (awathif) manusia. Itu semua menjadi
lapangan kerja jiwa yang menggerakkan perilaku manusia. (Sa’aduddin, 2006: 98-99).
Yaqub berpendapat bahwa,
Psikologi tidak dapat
dilepaskan dari etika, karena etika sangat membutuhkannya. Psikologi membahas
masalah kekuatan yang terpendam dalam jiwa, perasaan, faham, pengenalan, ingatan,
kehendak dan sebagainya yang kesemuanya merupakan faktor-faktor penting dalam
etika. Masalah-masalah kejiwaan itulah yang mempengaruhi dan melahirkan akhlaq
dalam kehidupan manusia. (Yaqub, 1983: 20).
Ahmad Luthfi berpendapat, “ilmu akhlak tidak akan bisa
dijabarkan dengan baik tanpa dibantu oleh ilmu jiwa (psikologi)”. Itulah yang
menyebabkan Imam Al-Ghazali sebelum mengajar ilmu akhlak, beliau mengajarkan
terlebih dahulu kepada muridnya mengenai ilmu jiwa, dan itulah mengapa Imam Al-Ghazali
menyusun kitab Ma’arijul Qudsi Fi Madaariji Ma’riftin Nafsi. (Sa’aduddin,
2006: 98-99).
Ilmu jiwa mengarahkan pembahasan pada aspek batin yang di
dalam Alquran diungkapkan dengan istilah insan. Dimana istilah ini
berkaitan erat dengan kegiatan manusia yaitu kegiatan belajar, tentang musuhnya,
penggunaan waktunya, beban amanah yang dipikulkan, konsekuensi usaha
perbuatannya, keterkaitan dengan moral dan akhlak, kepemimpinannya, ibadahnya
dan kehidupannya di akhirat. (Sa’aduddin, 2006: 98-99).
Quraish Shihab mengemukakan bahwa secara nyata terlihat
dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan
sebaliknya. Dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada
kebaikan dan keburukan. Potensi rohaniah secara lebih dalam dikaji dalam ilmu
jiwa. Untuk mengembangkan ilmu akhlak kita dapat memanfaatkan informasi yang
diberikan oleh ilmu jiwa. (Sa’aduddin, 2006, 98-99).
Dari nama-nama ilmu tentang tingkah laku manusia di atas
beserta penjelasannya tak dapat dipungkiri bahwa seorang ahli bisa
menggolongkan jenis kepribadian dasar manusia berdasarkan tingkah laku yang
paling sering muncul dari seseorang, tujuannya adalah untuk memudahkan saling
memahami dan bersikap antara manusia satu dengan manusia lainnya, diantara 4
jenis kepribadian dasar itu antara lain adalah:
1)
Sanguinis
adalah kepribadian manusia dengan sifat suka bicara, sangat mudah bergaul, suka
mengikuti trend, suka membesar-besarkan suatu hal, suara atau tawa yang
terkadang berlebihan, mudah mengikuti suatu kelompok, sering terlambat, pelupa,
sedikit kekanak-kanakan, egois, dan susah konsentrasi. Biasanya orang yang
bertipe sanguinis akan terlihat mencolok dibandingkan anggota kelompok yang
lain, meskipun ia bukan pemimpin kelompok tersebut.
2)
Koleris adalah
kepribadian manusia dengan sifat suka memimpin, bisa membuat keputusan, dinamis,
berkemauan keras, keras kepala, tidak sabaran, mudah emosi, suka pertentangan, bekerja
keras, suka kebebasan, sulit mengalah, suka memerintah, produktif, suka kerja
efisien, dan memiliki visi ke depan yang bagus. Orang yang berkepribadian
koleris akan menjadi pemimpin dalam kelompoknya. Jika misalnya dalam kelompok
tersebut sudah ada pemimpin, maka dia akan berani menentang pemimpin tersebut
atau pergi membuat kelompok baru.
3)
Melankolis
adalah kepribadian manusia dengan sifat analitis, sensitif, mau mengorbankan
diri, pendendam, selalu melihat masalah dari sisi negatif, kurang bisa bergaul
(bersosialisasi), tidak suka perhatian, hemat, perfeksionis, artistik, serius, sangat
memperhatikan orang lain, kurang mampu menyatakan pendapat, dan lebih fokus
pada cara dibandingkan tujuan. Internet adalah anugerah baginya, karena dari
sanalah dia bisa mengatakan semua hal secara bebas (meskipun kadang kelewatan)
Biasanya orang-orang seperti ini akan menjadi enterpreuneur yang hebat.
4)
Plegmatis
adalah kepribadian manusia dengan sifat mudah bergaul, penyabar, selalu
berusaha mencari jalan pintas, simpatik, sangat suka keteraturan, memiliki
selera humor yang tinggi namun sarkastik (bersifat mengejek/menyinggung), kurang
antusias pada hal baru, suka menunda, tidak suka dipaksa, lebih suka menonton
daripada ikut terlibat, dan keras kepala. (Ichazo, 1950: 5-6).
Pemahaman seorang guru mengenai kepribadian
dasar ini sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar, guru jadi tahu
bagaimana harus bersikap kepada muridnya, dapat membimbing siswa dengan cara
yang mampu mereka terima dan mengajarkan mereka sesuai dengan kondisi
psikologis masing-masing anak sehingga kegiatan pembelajaran akan menjadi
efektif.
Oleh karena itu, untuk membentuk kepribadian
yang baik seorang anak atau seseorang dapat diketahui dari ke empat sifat
tersebut jika seorang guru atau para orang tua bisa mendidik seseorang
berdasarkan sifat kepribadian seorang anak maka anak tersebut akan menjadi anak
yang berakhlak mulia, sopan santun, dan selalu mematuhi perkataan orang tuanya,
tapi jika seorang anak dididik tidak berdasarkan sifat kepribadiannya maka akan
sebaliknya.
e.
Hubungan dengan Ilmu Pendidikan
Ilmu
pendidikan sebagai dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai
berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam
ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi
pelajaran kurikulum, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan,
proses belajar mengajar dan lain sebagainya. Ahmad D. Marimba misalnya
mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang
muslim, yaitu menjadi hamba Allah Swt. yang mengandung implikasi kepercayaan
dan penyerahan diri kepadanya. (Athoullah, 2005: 68-71).
Sementara itu Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, mengatakan bahwa
pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah tujuan sebenarnya dari
pendidikan. Selanjutnya Al-Attas mengatakan bawa tujuan pendidikan Islam adalah
manusia yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa pendidikan Islam
ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah Swt. (Athoullah, 2005: 68-71).
Jika rumusan dari keempat tujuan pendidikan adalah terbentuknya
seorang hamba Allah Swt. yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintahnya
dan menjauhi larangannya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusannya
ini dengan jelas menggambarkan bahwa antara pendidikan Islam dengan ilmu akhlak
ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang
mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak. Bertolak dari
rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka seluruh aspek pendidikan lainnya, yakni
materi pelajaran, guru, metode, sarana dan sebagainya harus berdasarkan ajaran
Islam. (Athoullah, 2005: 68-71).
f.
Hubungan dengan
Ilmu Filsafat
Sebagaimana
Ilmu Tasawuf, Ilmu Filsafat juga mempunyai hubungan yang berdekatan dengan Ilmu
akhlak. Pengertian Ilmu Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan
pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidang kajiannya mencakup berbagai disiplin
ilmu. Bagian-bagiannya meliputi: 1) Metafisika atau penyelidikan
di balik alam yang nyata; 2) Kosmologia atau Penyelidikan tentang alam
(filsafat alam); 3) Logika atau Pembahasan tentang cara berpikir yang cepat dan
tepat; 4) Etika atau Pembahasan tentang tingkah laku manusia; 5) Theodicea
atau Pembahasan tentang Ke-Tuhanan; 6) Antropologia atau Pembahasan tentang
manusia. Dengan demikian, etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. (Yaqub,
1983: 20)
g.
Hubungan dengan Ilmu
Masyarakat
Kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat tergantung dari
perilaku individu sebagaimana diterangkan oleh Yaqub (1983: 20), bahwa Ilmu
masyarakat (sosiologi) menerangkan perihal proses perkembangan masyarakat yang
meliputi faktor-faktor pendorongnya sampai kepada tujuan gerakan-gerakan sosial.
Demikian juga tentang faktor penghalang dan perintang tumbuhnya suatu
masyarakat yang membuat keterbelakangnya dibandingkan dengan masyarakat lainnya
yang telah maju. Mempelajari sosiologi menolong Ilmu Akhlak mendapatkan
pengertian tingkah laku manusia dalam kehidupannya yang penting untuk
menentukan penilaian baik buruknya tingkah laku itu.
Pokok utama kerasulan Rasulullah Saw. adalah
menyempurnakan akhlak yang mulia. Mencakup semua bentuk sikap dan perbuatan
yang terpuji dikalangan orang-orang (masyarakat) yang bertakwa. Di samping
terpuji berdasarkan norma-norma yang ditetapkan Allah Swt. Akhlak mulia
merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas jalur Alquran dan
perbuatan Rasulullah Saw. seperti di dalam Alquran surat Al-Qalam ayat 4, “Dan
sesungguhnya engkau Muhammad mempunyai akhlak yang mulia”. (Asmaran, 1994: 48-54).
Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara
norma-norma (agama) di masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari baik
keluarga rumah tangga, kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan. Tolong-menolong
untuk kebaikan dan takwa kepada Allah Swt. adalah perintah Allah Swt., yang
dapat ditarik hukum wajib kepada setiap kaum muslimin dengan cara yang sesuai
dengan keadaan objek orang bersangkutan, Allah Swt. berfirman dalam Alquran
surat Al-Maidah, ayat 2:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
w
(#q=ÏtéB
uȵ¯»yèx©
«!$#
wur
tök¤¶9$#
tP#tptø:$#
wur
yôolù;$#
wur
yÍ´¯»n=s)ø9$#
Iwur
tûüÏiB!#uä
|Møt7ø9$#
tP#tptø:$#
tbqäótGö6t
WxôÒsù
`ÏiB
öNÍkÍh5§
$ZRºuqôÊÍur
4 #sÎ)ur
÷Läêù=n=ym
(#rß$sÜô¹$$sù
4 wur
öNä3¨ZtBÌøgs
ãb$t«oYx©
BQöqs%
br&
öNà2r|¹
Ç`tã
ÏÉfó¡yJø9$#
ÏQ#tptø:$#
br&
(#rßtG÷ès?
¢ (#qçRur$yès?ur
n?tã
ÎhÉ9ø9$#
3uqø)G9$#ur
( wur
(#qçRur$yès?
n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
( ¨bÎ)
©!$#
ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah Swt., dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang
qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi
kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah Swt., Sesungguhnya Allah Swt. amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah, 3: 2).
C. Pendidikan Akhlak
1.
Pengertian Pendidikan
Akhlak
Setelah dijelaskan
secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai
dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabi’at yang harus dimiliki dan
dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf,
seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. (Nata, 1997:
5-6).
Seorang anak yang
berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah Swt. dan terdidik
untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri hanya kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon
yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping
terbiasa melakukan akhlak mulia. (Nata, 1997: 5-6).
Suatu kegiatan yang dilakukan
secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun
rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta
menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan
dalam kehidupan dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti
yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, dimana dapat
menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan
disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena
adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang
indah dan perbuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam
bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan. (Nata, 1997: 5-6).
2.
Dasar - dasar
Pendidikan Akhlak
Dasar pendidikan akhlak
adalah Alquran dan Al-Hadits, karena akhlak merupakan sistem moral yang
bertitik pada ajaran Islam. Alquran dan Al-Hadits sebagai pedoman hidup umat
Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Alquran sebagai
dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah Saw. sebagai teladan bagi
seluruh umat manusia. Maka selaku
umat Islam sebagai penganut Rasulullah Saw. sebagai teladan bagi seluruh umat
manusia, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Qalam ayat 4:
y7¯RÎ)ur
4n?yès9
@,è=äz
5OÏàtã
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang luhur. (QS. Al-Qalam, 68: 4).
Bahwasannya Rasulullah
Saw. dalam ayat tersebut dinilai sebagai seseorang yang berakhlak agung (mulia)
Di dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam
kehidupan manusia. Bahkan diutusnya Rasulullah Saw. adalah dalam rangka
menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., bahwa: Dari
Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata, “menceritakan Abdul Aziz bin
Muhammad dari Muhammad bin ‘Ijlan dari Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari
Abi Hurairoh berkata Rasulullah Saw., ”Sesungguhnya aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad).
Berdasarkan hadits
tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan akhlak
dalam kehidupan manusia, dimana dengan pendidikan akhlak yang diberikan dan
disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral,
laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita
yang benar dan akhlak yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya,
menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan baik dan buruk, memilih satu fadhilah
karena cinta pada fadhilah, menghindari perbuatan yang tercela dan
mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. (Nata, 1997: 5-6).
3.
Tujuan
Pendidikan Akhlak
Tujuan pokok dari
pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan
yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak.
Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan
sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan menurut B. Umary, akhlak
yang baik itu adalah salah satu tiang dari
empat tiang pendidikan Islam. (Umary, 1983: 84).
Dalam tujuan
pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan
khusus, antara lain:
a.
Tujuan Umum
Menurut Barmawie Umary (1983: 87), bahwa tujuan pendidikan akhlak berlandaskan pada tujuan Islam. Sementara ajaran agama Islam mempunyai
tiga tujuan, yaitu: a. Membangun persatuan umat secara teratur sesuai dengan
perintah-perintah Allah Swt. dan ajaran-ajaran Rasulullah Saw. dalam segala
aspek kehidupan, usaha, dan pergaulan; b. Memiliki segala syarat, sifat, kekuatan,
kecakapan untuk memperoleh daya guna menyelamatkan bangsa dan negara; c. Menjaga
tetap terpeliharanya hubungan baik, kerjasama, persatuan antara Umat Islam
dengan golongan lain yang dapat diperoleh faedah, dan manfaatnya. Islam
mempunyai prinsip, bahwa keutamaan, kebesaran, , kemuliaan, keberanian, hanya
dapat dicapai karena “tauhid”, tegasnya menetapkan lahir batin: laa
ilaaha illallah tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah Swt.
b.
Tujuan Khusus, yaitu diharapkan
anak didik terbiasa berbuat baik, indah, mulia, serta menghindari yang jelek, hina,
tercela.
4.
Ruang
Lingkup Pendidikan Akhlak
Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak
terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak kepada Allah Swt. /Khaliq
(pencipta) dan kedua adalah akhlak kepada makhluknya (semua ciptaan Allah Swt.)
dan ruang lingkup pendidikan akhlak, diantaranya adalah:
a.
Akhlak kepada Allah Swt.
Akhlak kepada Allah
Swt. dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan yang Khaliq.
Diantara akhlak kepada Allah Swt. adalah sebagai berikut.:
1)
Taat, perintah
untuk taat kepada Allah Swt. ditegaskan dalam firman-Nya:
(#qãèÏÛr&ur
©!$#
tAqߧ9$#ur
öNà6¯=yès9
cqßJymöè?
Dan taatilah Allah Swt. dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali Imran,
3: 132).
Dalam surah lainnya:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
Swt. dan taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Swt. (Alquran)
dan Rasulullah Saw. (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
Swt. dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisa, 4: 59).
2)
Tawaddhu’
Tawaddhu’ adalah sikap merendahkan diri
terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt., sebagaimana firman Allah Swt. :
ôs%
yxn=øùr&
tbqãZÏB÷sßJø9$#
ÇÊÈ tûïÏ%©!$#
öNèd
Îû
öNÍkÍEx|¹
tbqãèϱ»yz
ÇËÈ tûïÏ%©!$#ur
öNèd
Ç`tã
Èqøó¯=9$#
cqàÊÌ÷èãB
ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur
öNèd
Ío4qx.¨=Ï9
tbqè=Ïè»sù
ÇÍÈ tûïÏ%©!$#ur
öNèd
öNÎgÅ_rãàÿÏ9
tbqÝàÏÿ»ym
ÇÎÈ wÎ)
#n?tã
öNÎgÅ_ºurør&
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNåkß]»yJ÷r&
öNåk¨XÎ*sù
çöxî
úüÏBqè=tB
ÇÏÈ Ç`yJsù
4ÓxötGö/$#
uä!#uur
y7Ï9ºs
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbrß$yèø9$#
ÇÐÈ
1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. Dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. Dan orang-orang
yang menunaikan zakat, 5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. Kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tidak terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminun, 23: 1-7).
Untuk menumbuhkan sikap tawaddhu’,
manusia harus menyadari asal kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini
terbatas, memahami ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang
pemaaf, ikhlas, bersyukur, sabar, dan sebagainya. (Kamil, 1975: 81-82).
3)
Tawakkal,
yaitu mempercayakan hasil kepada-Nya dalam melaksanakan pekerjaan yang telah
direncanakan dengan mantap firman Allah Swt. :
$yJÎ6sù
7pyJômu
z`ÏiB
«!$#
|MZÏ9
öNßgs9
( öqs9ur
|MYä.
$àsù
xáÎ=xî
É=ù=s)ø9$#
(#qÒxÿR]w
ô`ÏB
y7Ï9öqym
( ß#ôã$$sù
öNåk÷]tã
öÏÿøótGó$#ur
öNçlm;
öNèdöÍr$x©ur
Îû
ÍöDF{$#
( #sÎ*sù
|MøBztã
ö@©.uqtGsù
n?tã
«!$#
4 ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#
Maka disebabkan rahmat dari Allah Swt.-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (QS. Ali-Imran, 3: 159).
4)
Taubat, yaitu sikap menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan
berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik. Firman Allah Swt. :
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqç/qè?
n<Î)
«!$#
Zpt/öqs?
%·nqÝÁ¯R
4Ó|¤tã
öNä3/u
br&
tÏeÿs3ã
öNä3Ytã
öNä3Ï?$t«Íhy
öNà6n=Åzôãur
;MȬZy_
ÌøgrB
`ÏB
$ygÏFøtrB
ã»yg÷RF{$#
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah
Swt. dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan
Tuhanmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surganya
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (QS. At-Tahrim, 66: 8).
5)
Tasyakur, yaitu
berterimakasih atas pemberian Allah Swt. dan merasa cukup atas pemberian-Nya. Firman
Allah Swt. :
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=à2
`ÏB
ÏM»t6ÍhsÛ
$tB
öNä3»oYø%yu
(#rãä3ô©$#ur
¬!
bÎ)
óOçFZà2
çn$Î)
crßç7÷ès?
Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah Swt., jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah, 2: 172).
b.
Akhlak kepada Dirinya
1)
Memelihara kesucian Diri: Memelihara
kesucian diri adalah menjaga kebersihan diri dari segi jasmani dan jauh dari
najis. Kitab Fiqih umumnya membahas tentang masalah ini dalam bagian pertama
yang disebut Thaharah. Allah Swt. memuji orang yang suka membersihkan
diri:
w
óOà)s?
ÏmÏù
#Yt/r&
4 îÉfó¡yJ©9
}§Åcé&
n?tã
3uqø)G9$#
ô`ÏB
ÉA¨rr&
BQöqt
,ymr&
br&
tPqà)s?
ÏmÏù
4 ÏmÏù
×A%y`Í
cq7Ïtä
br&
(#rã£gsÜtGt
4 ª!$#ur
=Ïtä
úïÌÎdg©ÜßJø9$#
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu
selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid
Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam
mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri dan sesungguhnya Allah
Swt. menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah, 9: 108).
Kesucian bukan saja apa yang terlihat dari luar, akan tetapi juga apa yang
kita makan dan akan menjadi darah daging kita juga harus suci. Oleh karena itu, jika apa yang kita makan atau kita usahakan berasal
dari sumber yang baik dan halal, maka baik pula apa yang ada di dirinya. Allah
Swt. Swt berfirman:
$ygr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qè=ä.
$£JÏB
Îû
ÇÚöF{$#
Wx»n=ym
$Y7ÍhsÛ
wur
(#qãèÎ6®Ks?
ÏNºuqäÜäz
Ç`»sÜø¤±9$#
4 ¼çm¯RÎ)
öNä3s9
Arßtã
îûüÎ7B
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah,
2: 168).
Dan makanan yang paling baik adalah makanan yang didapat dari usaha sendiri
sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: ”Sebaik-baik nafkah adalah yang berasal
dari usahanya sendiri”. (HR. Bukhari).
2)
Memelihara Kerapihan Diri: Disamping
membersihkan rohani dan jasmani, perlu diperhatikan faktor kerapihan sebagai
manifestasi adanya disiplin pribadi dan keharmonisan pribadi.
ûÓÍ_t6»t
tPy#uä
(#räè{
ö/ä3tGt^Î
yZÏã
Èe@ä.
7Éfó¡tB
(#qè=à2ur
(#qç/uõ°$#ur
wur
(#þqèùÎô£è@
4 ¼çm¯RÎ)
w
=Ïtä
tûüÏùÎô£ßJø9$#
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf, 7: 31).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa
Allah tidak menyukai hal yang berlebih-lebihan. Hal ini diperkuat dengan hadits
Rasulullah Saw. beliau bersabda, ”Tidak akan masuk surga orang yang dalam
hatinya ada kesombongan seberat biji zarrah”. Maka berkatalah seorang laki-laki,
”Sesungguhnya orang biasanya suka berpakaian indah memakai sandal yang indah”. Nabi
menjawab, ”Sesungguhnya Allah Swt. Maha Indah dan menyukai keindahan”. Dari
hadits ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah suka dengan keindahan yang
tidak menimbulkan kesombongan. (Yaqub, 1983: 139).
3)
Berlaku Tenang: Ketenangan
dalam sikap termasuk dalam rangkaian Akhlaqul Mahmudah sebagaimana yang
dikemukakan dalam Alquran:
ß$t7Ïãur
Ç`»uH÷q§9$#
úïÏ%©!$#
tbqà±ôJt
n?tã
ÇÚöF{$#
$ZRöqyd
#sÎ)ur
ãNßgt6sÛ%s{
cqè=Îg»yfø9$#
(#qä9$s%
$VJ»n=y
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan. (QS. Furqan, 25: 63).
Dijelaskan pula oleh Rasulullah Saw. Saw, ”Sikap
terburu-buru itu termasuk dari ganguan Syaithan”. (HR. Tirmidzi).
4)
Menambah Pengetahuan: Hidup
penuh dengan pergulatan dan kesulitan oleh karena itu untuk mengatasinya
manusia berkewajiban belajar dan mencari pengetahuan sebagai bekal untuk
memperbaiki kehidupannya di dunia ini. Allah Swt. menerangkan dalam Alquran:
ô`¨Br&
uqèd
ìMÏZ»s%
uä!$tR#uä
È@ø©9$#
#YÉ`$y
$VJͬ!$s%ur
âxøts
notÅzFy$#
(#qã_ötur
spuH÷qu
¾ÏmÎn/u
3 ö@è%
ö@yd
ÈqtGó¡o
tûïÏ%©!$#
tbqçHs>ôèt
tûïÏ%©!$#ur
w
tbqßJn=ôèt
3 $yJ¯RÎ)
ã©.xtGt
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ”Adakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”, “Sesungguhnya
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar, 39: 9).
(Yaqub, 1983: 140).
5)
Membina Disiplin Diri: Salah
satu kewajiban terhadap diri sendiri adalah menempa diri sendiri, melatih diri
sendiri untuk membina disiplin pribadi. Disiplin diri membutuhkan sikap terpuji.
Orang yang tidak memiliki disiplin pribadi, tidak akan berhasil mencapai tujuan
dan cita-citanya. Karena itulah maka setiap pribadi harus berlatih membinanya
melalui latihan, mawas diri, dan pengendalian diri. (Yaqub, 1983: 140).
c.
Akhlak Perguruan
1)
Akhlak Murid dalam Belajar
Murid adalah seseorang yang belajar kepada orang lain yang memiliki ilmu
yang lebih tinggi, maka orang yang berilmu itu disebut guru meskipun usianya
lebih muda.
Consuelo menentukan Akhlak Murid dalam Belajar sebagai berikut: Memperhatikan
ilmu yang bersifat fardhu’ain untuk dipelajari; Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu’ain;
Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama; Pelajari pelajaran
yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); Tanamkan rasa
antusias/semangat dalam belajar; Membersihkan hati dari berbagai gangguan
keimanan dan keduniawian; Membersihkan niat; Tidak menunda-nunda kesempatan
belajar; Bersabar dan qana’ah terhadap segala macam pemberian dan
cobaan; Pandai mengatur waktu; Menyederhanakan makan dan minum; Bersikap
hati-hati (wara’); Menghindari
makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan; Menyedikitkan
waktur tidur selagi tidak merusak kesehatan dan meninggalkan hal-hal yang
kurang berfaedah. (Consuelo, 1993: 110-112).
Diantara pendapat Consuelo di atas dikuatkan oleh pendapat lain sebagai
berikut:
a)
Membersihkan Niat: hendaklah
seorang murid memasang niat yang suci dalam hatinya. Jika niat sudah suci maka
akan mudah pelajaran masuk ke dalam hatinya. Niat yang penuh keikhlasan
menyingkirkan syetan dan mengundang Nur Ilahi. Imam Syafi’i pernah melaporkan
kepada Imam Waki’ (gurunya) mengapa hafalannya menjadi buruk. Maka Imam
Waki’ menganjurkan supaya meninggalkan perbuatan yang cenderung menjadi dosa. Ilmu
itu sesungguhnya cahaya Allah Swt. dan tidak akan diberikan kepada orang yang
durhaka. (Yaqub, 1983: 160).
b)
Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu’ain dan Ilmu Pendukung Fardhu’ain: Menurut Ukkasyah (2015), definisi ilmu fardhu’ain adalah “Ilmu yang jika
tidak diketahui oleh seorang hamba, menyebabkannya tidak bisa menunaikan
kewajibannya, sehingga ia terjatuh ke dalam dosa. Dengan kata lain, seseorang
jika tidak mempelajari Ilmu Fardhu’ain akan jatuh ke dalam dua
kemungkinan, yaitu tidak bisa melaksanakan perintah Allah atau melakukan hal
yang dilarang Allah Swt. yang wajib ditinggalkan.
Ulwan (2007: 184), ia mengatakan
bahwa agar anak senantiasa mengingat Allah Swt., hendaknya anak ditekankan
untuk mempelajari pemikiran-pemikiran yang dapat mendekatkan dirinya kepada
penciptanya. Cara pengajaran seperti ini telah diterapkan oleh salaf zaman
dahulu dalam mengajarkan anak-anak mereka. Jika para pendidik, ayah atau ibu
menerapkan cara dan dasar pendidikan ini, tidak mustahil bila dalam waktu yang
relatif singkat mereka sudah dapat menciptakan suatu generasi muslim yang
militan, bangga dengan agamanya, sejarah dan para pahlawannya yang mulia. Sehingga
tercipta suatu masyarakat yang bersih dari kekufuran, kedengkian, dan tindak
kejahatan yang penuh dengan dosa.
Firman Allah Swt.:
öãBù&ur
y7n=÷dr&
Ío4qn=¢Á9$$Î/
÷É9sÜô¹$#ur
$pkön=tæ
(
w
y7è=t«ó¡nS
$]%øÍ
(
ß`øtªU
y7è%ãötR
3
èpt6É)»yèø9$#ur
3uqø)G=Ï9
Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta
rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu
adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha, 20: 132)
Begitupula
dengan hadits Rasulullah Saw. yang artinya, ”Perintahkanlah anak-anak kalian
mengerjakan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun dan pukullah mereka pada
saat telah mencapai usia sepuluh tahun dan pisahkanlah antara mereka dalam
ranjang tidur mereka”. (HR. Sunan Abu Daud).
Dari penjelasan
di atas dapat diketahui bahwa ilmu yang wajib diketahui karena menyangkut tata
cara ibadah kepada Allah Swt. disebut Ilmu Fardhu’ain sedangkan Ilmu
Pendukung Ilmu Fardhu’ain disebut Ilmu Kifayah hal ini sebagaimana yang
dikatakan Ukkasyah (2015) mengutip pendapatnya Utsaimin dalam bukunya Kitabul
Ilmi ia mengatakan bahwa Ilmu Fardhu’ain adalah ilmu yang menjadi syarat
bisa terlaksananya ibadah dengan benar oleh seorang hamba atau mu’amalah, maka
pada keadaan ini ia wajib mengetahui ilmunya adapun ilmu-ilmu selain itu adalah
Ilmu Fardu Kifayah. Dari penuturan Utsaimin dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu
fardu kifayah adalah ilmu yang tidak menjelaskan tata cara ibadah serta
mu’amalah, melainkan pendukung keduanya seperti Ilmu Matematika, Ilmu Bahasa,
Ilmu Sejarah dan sebagainya.
c)
Tidak menunda-nunda kesempatan belajar: Dalam QS. Al-Mujadalah
ayat 11, Allah Swt. berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: ”Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
Swt. akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: ”Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah Swt. akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Swt. Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah,
58: 11).
Memperhatikan pelajaran dengan serius, Rasulullah Saw. bersabda yang
artinya, ”Telah berkata Ibnu Mas’ud: ”Adakah Rasulullah Saw. apabila berdiri di
atas mimbar, kami sekalian menghadap beliau dengan wajah-wajah kami”. (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadits lain, diingatkan perlunya diam di kala khotbah (pengajaran)
berlangsung, gunanya agar materi pelajaran itu dapat diserap dengan baik. (Yaqub,
1983: 160).
d)
Bersabar
Allah Swt. berfirman:
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
ûÈõuKôÜs?ur
Oßgç/qè=è%
Ìø.ÉÎ/
«!$#
3 wr&
Ìò2ÉÎ/
«!$#
ûÈõyJôÜs?
Ü>qè=à)ø9$#
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah Swt.. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah Swt.-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’du, 13: 28).
Sebagaimana
yang disampaikan oleh Ust. Abdullah Taslim, M. A. yang dikutip dari kitab Igaatsatul lahfaan karangan Imam Ibnu
Qayyim. Beliau berkata,
Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka
(pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan
kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Maka ditanya, ”Apakah kenikmatan
yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab, ”Cinta kepada Allah Swt.,
merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, serta dengan merasa bahagia
ketika berdzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya. (Taslim, 2010).
e)
Qana’ah
Pada dunia sufi, dua fase
dalam istilah tasawuf disebut takhalli
(mengosongkan diri) dan tahalli (menghias
diri). Qana’ah ini termasuk ke dalam istilah takhalli. Melalui dua jalan
ini seorang sufi akan mencapai apa yang disebut tajalli atau tampak berbagai rahasia ketuhanan yang tidak dirasakan
oleh manusia pada umumnya. (Bakhri, 2015: xxvii).
Rasulullah Saw. bersabda, “lihatlah
orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena
yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina
nikmat Allah Swt. yang dilimpahkan kepada kalian”. (Muttafaq ‘Alaih)
Allah Swt. Berfirman:
bÎ)ur y7ó¡|¡ôJt ª!$# 9hÛØÎ/ xsù y#Ï©%2 ÿ¼ã&s!
wÎ)
uqèd
(
cÎ)ur
x8÷Ìã
9ös¿2
xsù
¨!#u
¾Ï&Î#ôÒxÿÏ9
4
Ü=ÅÁã
¾ÏmÎ/
`tB
âä!$t±o
ô`ÏB
¾ÍnÏ$t6Ïã
4
uqèdur
âqàÿtóø9$#
ÞOÏm§9$#
Jika Allah Swt.
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah Swt. menghendaki kebaikan bagi
kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu
kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus, 10: 107).
f)
Adanya Keinginan/kehendak
Keinginan/kehendak yang dipilih inilah yang disebut kecenderungan/kemauan
atau iradah. Dengan kata lain iradah atau kehendak atau kemauan
ialah keinginan/kecenderungan yang dipilih di antara kecenderungan yang banyak
setelah bimbang. (Dzatnika, 1996: 51).
Berbeda dengan Amin (1995: 48-49), ia mengemukakan bahwa kehendak ialah
manusia daripadanya timbul segala perbuatan yang hasil dari kehendak dan segala
sifat manusia dan kekuatannya seolah-olah tidur nyenyak sehingga dibangunkan
oleh kehendak. Para ahli berpendapat bahwa keinginan yang menang ialah yang
alamnya lebih kuat, meskipun ia bukan keinginan yang lebih kuat, keinginan yang
menang ialah disebut Rohbah lalu datang ‘azzam atau niat berbuat.
(Amin, 1995: 48-49).
‘Azzam yaitu kemauan keras yang harus dimiliki seorang murid dalam
belajar. Allah Swt. berfirman:
÷É9ô¹$$sù
$yJx.
uy9|¹
(#qä9'ré&
ÏQ÷yèø9$#
z`ÏB
È@ß9$#
wur
@Éf÷ètGó¡n@
öNçl°;
4 öNåk¨Xr(x.
tPöqt
tb÷rtt
$tB
crßtãqã
óOs9
(#þqèVt7ù=t
wÎ)
Zptã$y
`ÏiB
¤$pk¨X
4 Ô÷»n=t/
4 ö@ygsù
à7n=ôgã
wÎ)
ãPöqs)ø9$#
tbqà)Å¡»xÿø9$#
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai
keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta
disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan
kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat
pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan
melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46: 35). (Yaqub, 1983: 160).
Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku manusia adalah
kemauan keras. Itulah yang menggerakan manusia berbuat dengan sungguh-sungguh. (Yaqub,
1983: 73)
Apabila seseorang telah ber’azzam, maka seberat apapun akan ia
lakukan karena dorongannya yang kuat itulah dia jadi terlihat hebat karena
perbuatan yang di’azzamkan biasanya adalah perbuatan yang membutuhkan
perjuangan untuk dilakukan. Misalnya, seseorang yang rela bekerja hingga larut
malam demi cita-citanya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. (Dzatnika, 1996: 48).
Kehidupan para Rasul dan Rasulullah Saw. adalah contoh yang baik dalam
ber’azzam. Allah Swt. berfirman:
÷É9ô¹$$sù
$yJx.
uy9|¹
(#qä9'ré&
ÏQ÷yèø9$#
z`ÏB
È@ß9$#
wur
@Éf÷ètGó¡n@
öNçl°;
4 öNåk¨Xr(x.
tPöqt
tb÷rtt
$tB
crßtãqã
óOs9
(#þqèVt7ù=t
wÎ)
Zptã$y
`ÏiB
¤$pk¨X
4 Ô÷»n=t/
4 ö@ygsù
à7n=ôgã
wÎ)
ãPöqs)ø9$#
tbqà)Å¡»xÿø9$#
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai
keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta
disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan
kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat
pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan
melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46: 35).
Dalam Hadits Rasulullah Saw. bersabda yang
artinya: ”Sesungguhnya amal itu sesuai dengan niat. Dan sesungguhnya setiap
manusia akan memperoleh menurut yang diniatkannya. (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian kehendak ini mendapat perhatian dari ilmu akhlak, karena
baik buruknya suatu perbuatan dapat dilihat dari niatnya saat ber’azzam.
Ketika ‘azzamnya baik maka baik pula perbuatan itu, begitu juga
sebaliknya. (Dzatnika, 1996: 48).
g)
Mencari Ridha Allah:
Sebelum belajar,
niatkan bahwa tujuan kita hendak belajar adalah karena mencari keridhaan Allah,
salah satu caranya yaitu dengan mendapatkan ridha dari orang tua terlebih
dahulu. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: ”Ridha Allah Swt. tergantung
pada ridha Orang Tua dan murka Allah Swt. tergantung pada murka orang tua”. (HR.
Hasan At-Tirmidzi).
Dalam Alquran Allah Swt. berfirman:
4xsù
@à)s?
!$yJçl°;
7e$é&
wur
$yJèdöpk÷]s?
@è%ur
$yJßg©9
Zwöqs%
$VJÌ2
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan”ah”dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (QS. Al-Isra’, 17: 23).
h)
Tirakat atau Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.
Tirakat atau mendekatkan diri kepada Allah Swt. adalah hal biasa yang dilakukan
oleh seorang sufi. Dari pengertiannya, tirakat dalam bahasa Arab disebut Riyadhah, atau dalam bahasa Indonesia
disebut batin, yaitu suatu usaha mengolah batin seseorang dengan jalan laku
ritual tertentu supaya apa yang dicita-citakan diberi kemudahan atau
keberhasilan. Tujuan tirakat dalam supranatural adalah mengasah. Jika
diibaratkan do’a adalah pisau, maka semakin diasah, semakin tajam juga do’a
tersebut. Untuk menajamkan do’a itu ada amalan-amalan tertentu yang perlu
dilakukan dan itulah yang disebut tirakat.
Beberapa ulama mengatakan bahwa tirakat dengan surah Yasin memiliki keistimewaan salah
satunya seperti yang dikutip Bakhri (2015: 21), dari kitab Tafsir Ibn Katsir “Jika surah Yasin dibaca ketika menghadapi
kesulitan maka Allah Swt. akan mempermudahnya. Jika surah Yasin
dibacakan untuk orang yang menghadapi sakaratul maut, maka turunlah rahmat dan
berkah serta dapat mempermudah keluarnya ruh dari jasad”. (Bakhri, 2015: 21).
Selain itu, taat kepada Allah Swt. ditegaskan
dalam firman-Nya:
(#qãèÏÛr&ur
©!$#
tAqߧ9$#ur
öNà6¯=yès9
cqßJymöè?
Dan taatilah Allah Swt. dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali
Imran, 3: 132).
Dalam surah lainnya:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah Swt. dan
taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Swt. (Alquran) dan
Rasulullah Saw. (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa, 4: 59).
i)
Mandiri: Yaitu sikap tidak menggantungkan
hidupnya kepada orang lain, mampu berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Rasulullah Saw. bersabda: ”Sebaik-baik nafkah adalah
yang berasal dari usahanya sendiri”. (HR. Bukhari). Oleh karena itu, jika apa yang kita makan atau kita usahakan berasal
dari sumber yang baik dan halal, maka baik pula apa yang ada di dirinya, Allah
Swt. Swt berfirman:
$ygr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qè=ä.
$£JÏB
Îû
ÇÚöF{$#
Wx»n=ym
$Y7ÍhsÛ
wur
(#qãèÎ6®Ks?
ÏNºuqäÜäz
Ç`»sÜø¤±9$#
4 ¼çm¯RÎ)
öNä3s9
Arßtã
îûüÎ7B
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah,
2: 168).
j)
Mengamalkan Ilmu: firman Allah Swt. dalam QS. At-Taubah: 122, Allah Swt.
berfirman:
$tBur
c%x.
tbqãZÏB÷sßJø9$#
(#rãÏÿYuÏ9
Zp©ù!$2
4 wöqn=sù
txÿtR
`ÏB
Èe@ä.
7ps%öÏù
öNåk÷]ÏiB
×pxÿͬ!$sÛ
(#qßg¤)xÿtGuÏj9
Îû
Ç`Ïe$!$#
(#râÉYãÏ9ur
óOßgtBöqs%
#sÎ)
(#þqãèy_u
öNÍkös9Î)
óOßg¯=yès9
crâxøts
Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
(At-Taubah: 122).
2)
Akhlak Murid kepada Guru
Menurut pendapat Consuelo, Akhlak Murid terhadap Guru adalah sebagai
berikut: Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan
atau dijelaskan oleh guru; Memilih guru yang wara’(berhati-hati) disamping
profesional; Mengikuti jejak-jejak guru; Memuliakan guru; Memperhatikan apa
yang menjadi hak guru; Bersabar terhadap kekerasan guru; Berkunjung kepada guru
pada tempatnya; Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru;
Berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut; Dengarlah segala fatwanya; Jangan
sekali-kali menyela ketika guru sedang menjelaskan; Gunakan anggota yang kanan
bila menyerahkan sesuatu kepadanya. (Consuelo, 1993: 110-112).
a)
Memilih Guru yang Wara’
disamping Professional
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, “Sesungguhnya diantara tanda hari
kiamat adalah, ilmu diambil dari orang – orang kecil (yaitu ahli bid’ah)”. (HR.
Ibnul Mubarak).
Berikut
adalah perkataan ulama yang dikutip oleh Atsari (2009) yang berkaitan dengan
hal tersebut, Ali bin Abi Thalib berkata, ”Perhatikan dari siapa kamu mengambil
ilmu ini, karena sesunggunya ia adalah agama”. Abdullah bin Mas’ud juga
mengatakan, “Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka
datang dari para sahabat Nabi Muhammad dan dari orang-orang besar (tua) mereka.
Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa
nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa”. (Atsari, 19 Desember 2009)
b)
Mengikuti Jejak Guru: Mengikuti
jejak guru tentunya karena guru adalah orang yang harus digugu dan ditiru. Agar
ilmu kita dapat bermanfaat maka berguru lah kepada orang-orang yang dekat
kepada Allah Swt.
Firman Allah Swt. Swt:
`tBur
È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$#
.`ÏB
Ï÷èt/
$tB
tû¨üt6s?
ã&s!
3yßgø9$#
ôìÎ6Ftur
uöxî
È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR
$tB
4¯<uqs?
¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_
( ôNuä!$yur
#·ÅÁtB
Dan Barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa, 4: 115).
Dan dalam
Firman Allah Swt. yang lain:
÷bÎ*sù
(#qãZtB#uä
È@÷VÏJÎ/
!$tB
LäêYtB#uä
¾ÏmÎ/
Ïs)sù
(#rytG÷d$#
( bÎ)¨r
(#öq©9uqs?
$oÿ©VÎ*sù
öNèd
Îû
5-$s)Ï©
( ãNßgx6Ïÿõ3u|¡sù
ª!$#
4 uqèdur
ßìÏJ¡¡9$#
ÞOÎ=yèø9$#
Maka jika
mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka
telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada
dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah Swt. akan memelihara kamu dari
mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2:
137).
c)
Patuh dan Hormat Kepada Guru: Guru
adalah orang yang berjasa kepada kita, karena mereka mengajarkan apa-apa yang tidak
kita ketahui menjadi tahu, dari salah menjadi benar. Rasulullah Saw. bersabda
sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abul Hasan Al-Mawardi, pertama
yang artinya: ”Muliakanlah orang yang kamu belajar daripadanya”. Dan kedua: ”Muliakanlah
guru-guru Agama, karena barang siapa memuliakan mereka, maka berarti ia
memuliakan daku”.
3)
Akhlak Seorang Guru
Dalam suasana pengajaran berlangsung, guru berhadapan dengan murid
(pelajar). Dalam hubungan ini guru harus berpegang kepada kode etik yang sesuai
dengan fungsinya,
Consuelo menentukan Akhlak Guru dalam mengajar sebagai berikut: Mensucikan
diri dari hadats dan kotoran; Berniat ibadah ketika dalam mengajar ilmu kepada
anak didik; Menggunakan metode yang mudah dipahami peserta didik; sampaikan hal-hal
yang diajarkan oleh Allah Swt. Biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan,
Berilah salam ketika masuk ke kelas; Sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu
dengan berdo’a, Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk,
dan sebagainya, Selalu melakukan introspeksi diri; Berniat mendidik dan
menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam; Lemah lembut, jelas,
tegas, lugas serta tidak sombong; Membangkitkan antusias peserta didik dengan
memotivasinya; Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu. (Consuelo, 1993:
110-112).
Dari konsep Akhlak seorang Guru dapat disimpulkan bahwa seorang Guru harus Niat Ikhlas, mempergunakan metode yang mudah dipahami oleh murid, berikut
penguatan dari Pendapat Consuelo di atas:
a)
Berniat Ibadah: Hendaklah guru
mengajarkan ilmu yang dimilikinya dengan penuh keikhlasan hati karena
mengharapkan keridhaan Allah Swt.
Sebagaimana
dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, ”Hanyalah pekerjaan itu
(tergantung) kepada niat. Dan sesungguhnya setiap manusia memproleh apa yang
diniatkannya. (HR. Bukhari). (Yaqub, 1983: 158).
b)
Menggunakan Metode yang Mudah
dipahami Peserta Didik: Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim: ”Mudahkanlah,
jangan mempersulit dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membuat manusia
lari”, dan hadits lain”Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang
mukmin, pasti Allah Swt. akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari
kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah Swt.
akan memudahkannya di dunia dan di akhirat”(HR. Muslim).
Begitupun dalam firman Allah Swt.:
. .
. . . . 3 ßÌã
ª!$#
ãNà6Î/
tó¡ãø9$#
wur
ßÌã
ãNà6Î/
uô£ãèø9$#
(#qè=ÏJò6çGÏ9ur
no£Ïèø9$#
(#rçÉi9x6çGÏ9ur
©!$#
4n?tã
$tB
öNä31yyd
öNà6¯=yès9ur
crãä3ô±n@
. . . . . Allah Swt. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah Swt. atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah, 2: 185).
Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, ”Siapa yang tidak mempunyai rasa
kasih sayang kepada manusia, niscaya tidak pula dikasihi oleh Allah Swt. (HR. Bukhari
dan Muslim). (Yaqub, 1983: 158).
c)
Tanggung Jawab: Menjadi seorang
guru harus bertanggung jawab terhadap peserta didiknya, karena nanti akan
dimintai pertanggung jawaban.
Rasulullah Saw., ”Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya”. Maka dalam kegiatan Belajar
Mengajar, Guru adalah pemimpinnya dan murid adalah apa yang dipimpinnya. (Baqi,
1993: 562-563).
d)
Hikmah Kebijaksanaan: Guru yang
bijaksana akan memiliki kemungkinan mengajar efektif lebih besar, dan itu
dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam mengajar. Allah Swt. berfirman:
äí÷$#
4n<Î)
È@Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
( Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4 ¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#Î6y
( uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïÏtGôgßJø9$$Î/
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q. S
An-Nahl, 16: 125).
Sehubungan dengan ayat ini, khatib perlu berlaku bijaksana dalam
berdakwah, antara lain: menyederhanakan perkataan sehingga mudah dimengerti, sopan,
ringkas dan tepat dalam pembicaraan. (Yaqub, 1983: 159).
e)
Mendidik dengan Keterampilan
Eksoterik
Sebagaimana Firman Allah Swt. :
Æ÷tGö/$#ur
!$yJÏù
9t?#uä
ª!$#
u#¤$!$#
notÅzFy$#
(
wur
[Ys?
y7t7ÅÁtR
ÆÏB
$u÷R9$#
(
`Å¡ômr&ur
!$yJ2
z`|¡ômr&
ª!$#
øs9Î)
(
wur
Æ÷ö7s?
y$|¡xÿø9$#
Îû
ÇÚöF{$#
(
¨bÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
Swt. kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah Swt. telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. Qashash, 28: 77)
Firman Allah Swt. yang lain:
$tBur
àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56).
Syekh Abdul Qadir Jailani pernah berkata “Barang siapa ingin menjadi baik, maka
jadilah tanah di bawah telapak kaki para guru” di sini Syekh mengibaratkan
murid dengan tanah, maksudnya adalah bahwa guru sebagai pembimbing harus
memberikan arahan kepada muridnya dan murid harus patuh kepada guru karena guru
yang baik tidak akan pernah menjerumuskan. (Bakhri, 2016: xxx-xxxi).
f)
Memilih Waktu yang Tepat: Untuk
menjaga agar murid tidak jenuh, maka guru harus pandai mengatur waktu kapan
serius dan kapan adanya hiburan, dan guru harus pandai menentukan jadwal
pelajaran yang tepat.
Abu Wa’il (Syaqiq) bin Salamah berkata: ”Biasanya Ibnu Mas’ud memberikan ceramah
kepada kami setiap hari Kamis”, maka orang berkata kepadanya, ”Hai Abu
Abdurrahman (Ibnu Mas’ud) saya ingin kalau Engkau mengajar setiap hari”, Ibnu
Mas’ud menjawab, ”Tiada halangan untuk memberikan ceramah setiap hari, hanya
saja saya khawatir menjemukan kalian. Saya sengaja memberi waktu yang jarang
dalam pengajaran sebagaimana sikap Rasulullah Saw. Atas kami dalam mengajar
jangan sampai kami jemu”. (HR. Bukhari). (Yaqub, 1983: 159).
g)
Memberi Teladan: Guru tidak
hanya mengajar dalam bentuk lisan, namun yang lebih penting ialah guru harus
memberikan contoh perbuatan (teladan) yang baik yang mudah ditiru oleh
murid-muridnya. Allah Swt. Swt berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
zNÏ9
cqä9qà)s?
$tB
w
tbqè=yèøÿs?
ÇËÈ uã92
$ºFø)tB
yYÏã
«!$#
br&
(#qä9qà)s?
$tB
w
cqè=yèøÿs?
2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. 3. Amat besar kebencian di sisi Allah Swt.
bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff, 61: 2-3).
(Yaqub, 1983: 159).
h)
d.
Akhlak kepada Sesama Manusia
Akhlak kepada sesama
manusia, antara lain meliputi akhlak kepada Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru,
tetangga dan masyarakat, antara lain:
1)
Akhlak kepada Rasulullah Saw., yaitu taat dan cinta kepadanya, mentaati Rasulullah Saw. berarti
melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Ini semua telah
dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang berwujud ucapan, perbuatan dan
penetapannya. Dan sebagaimana firman Allah Swt. :
`¨B
ÆìÏÜã
tAqߧ9$#
ôs)sù
tí$sÛr&
©!$#
( `tBur
4¯<uqs?
!$yJsù
y7»oYù=yör&
öNÎgøn=tæ
$ZàÏÿym
Barangsiapa yang menaati Rasul,
sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt., dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS.
An-Nisa, 4: 80).
2)
Akhlak kepada Orang Tua, yang
dimaksud orang tua di sini adalah ibu dan bapak, tiada yang lebih berjasa
kepada kita selain mereka. Keduanya telah menanggung kesulitan dalam memelihara
dan membesarkan kita. Derajat orang tua begitu tinggi hingga keridhaan Allah
Swt. bergantung dari ridha Orang Tua. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: ”Keridhaan
Allah Swt. tergantung pada ridha Orang Tua dan murka Allah Swt. tergantung pada
murka orang tua”. (HR. Hasan At-Tirmidzi), karena itu Allah Swt. memuliakan
mereka dengan mengajarkan Akhlak Islam kepada anak-anaknya supaya anak-anaknya
itu dapat membalas kebaikannya dengan: a) Patuh: memenuhi perintah orang tua, kecuali
dalam hal maksiat kepada Allah Swt. Rasulullan Saw. bersabda
yang artinya, ”Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang
lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama”. (HR.
Ahmad dan dishahihkan Al-Bani dalam Shahih
Jami’); b) Berkata lemah lembut, di
dalam Alquran Allah Swt. berfirman:
4xsù
@à)s?
!$yJçl°;
7e$é&
wur
$yJèdöpk÷]s?
@è%ur
$yJßg©9
Zwöqs%
$VJÌ2
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan”ah”dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (QS. Al-Isra’, 17: 23).
c) Memohon rahmat dan maghfirah, Allah Swt. berfirman:
ôÙÏÿ÷z$#ur
$yJßgs9
yy$uZy_
ÉeA%!$#
z`ÏB
ÏpyJôm§9$#
@è%ur
Éb>§
$yJßg÷Hxqö$#
$yJx.
ÎT$u/u
#ZÉó|¹
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’,
17: 24).
Akhlaqul karimah kepada guru diantaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di
hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di
belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi
seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak
dan membenarkannya. (Kamil, 1975: 81-82).
Menurut Barmawie
Umary (1983: 82) Akhlak kepada guru adalah hormat dan cinta kepada guru, duduk
dengan penuh adab, memperhatikan pelajarannya, mengamalkan nasehatnya, setiap
masalah yang tiada difahami ditanyakan dengan baik, bercakap dengan suara
sederhana, dengarkan perkataannya, dan mentaati segala peraturan sekolah.
3)
Akhlak kepada Tetangga dan Masyarakat
Pentingnya akhlak
tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat,
umat, dan kemanusiaan seluruhnya. Diantaranya sebagai berikut:
a)
Memberi dan menjawab salam: merupakan
kewajiban setiap muslim, karena salam merupakan ucapan do’a keselamatan.
b)
Tidak boleh mengejek atau
merendahkan orang lain dengan membicarakan kekurangannya atau membuka aib dan
cacatnya atau menjulukinya dengan sesuatu yang menyakitkan hatinya adalah suatu
sikap yang tercela.
c)
Memenuhi janji: janji adalah
amanah yang wajib dipenuhi baik kepada orang muslim maupun non-muslim. Dalam
agama Islam janji disetarakan dengan hutang, hutang wajib hukumnya untuk
dibayar/ditepati. Allah Swt. berfirman:
(#qèù÷rr&ur
ÏôgyèÎ/
«!$#
#sÎ)
óO?yg»tã
wur
(#qàÒà)Zs?
z`»yJ÷F{$#
y֏t/
$ydÏÅ2öqs?
ôs%ur
ÞOçFù=yèy_
©!$#
öNà6øn=tæ
¸xÏÿx.
4 ¨bÎ)
©!$#
ÞOn=÷èt
$tB
cqè=yèøÿs?
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah Swt. apabila kamu berjanji
dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang
kamu telah menjadikan Allah Swt. sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu).
Sesungguhnya Allah Swt. mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. An-Nahl, 16: 91).
4)
Akhlak kepada Lingkungan
Yang dimaksud dengan
lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik
binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak
yang diajarkan Alquran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia
sebagai khalifah. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya
diciptakan oleh Allah Swt. , dan
menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan
ini mengantarkan seorang muslim
untuk menyadari bahwa semuanya adalah”umat”Tuhan yang seharusnya diperlakukan
secara wajar dan baik. (Kamil, 1975: 81-82).
Diantara akhlak
manusia terhadap hewan adalah dengan tidak menyakiti binatang yang kecil atau membunuhnya
dengan sengaja tanpa alasan yang jelas, akhlak terhadap tumbuhan misalnya
dengan memelihara pohon, memberinya pupuk dan menyiramnya, agar tanaman itu
memberikan buah atau hasil yang berguna bagi manusia atau makhluk lainnya. (Kamil,
1975: 81-82).
5.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Akhlak
Faktor yang turut mencetak dan mempengaruhi tingkah laku seseorang
menurut Yaqub (1983: 55) adalah insting (naluri), kebiasaan, turunan, lingkungan
(milieu), kehendak, suara hati (dhamir) dan pendidikan. Sementara
menurut Dzatnika (1996: 73) ada dua faktor yang mempengaruhi akhlak seseorang, yaitu:
a.
Faktor Eksternal atau faktor dari
luar dirinya yang meliputi: Keturunan, Lingkungan, Pendidikan, dan Penguasa/Pemimpin.
Penjelasannya sebagai berikut:
1)
Keturunan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa keturunan memiliki andil besar untuk
memberikan pengaruh kepada turunannya, baik itu dari segi fisik, emosi maupun
kecerdasannya. Jelasnya bahwa apa yang dimiliki ibu-bapak dan nenek moyangnya diwariskan
kepada anak, cucu atau keturunannya kelak. Jika seandainya ada seorang anak
yang memiliki karakter yang tidak dimiliki ibu-bapaknya, bisa jadi itu
diturunkan dari nenek-kakeknya atau dari buyutnya.
Menurut Yaqub (1983: 67), manusia yang berasal dari satu keturunan di
mana dan pembawaan yang bersamaan, misalnya bentuk badan, perasaan, akal dan
pemikiran. Dengan sifat-sifat manusia yang diwariskan dari satu nenek moyang, maka
manusia dapat menundukkan alam, sedangkan keistimewaan itu tidak diwariskan
(diturunkan) kepada hewan karena berlainan keturunan.
Dalam Alquran dikemukakan:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qà)®?$#
ãNä3/u
Ï%©!$#
/ä3s)n=s{
`ÏiB
<§øÿ¯R
;oyÏnºur
t,n=yzur
$pk÷]ÏB
$ygy_÷ry
£]t/ur
$uKåk÷]ÏB
Zw%y`Í
#ZÏWx.
[ä!$|¡ÎSur
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
Swt. menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah Swt. memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. An-Nisa, 4: 1).
2)
Lingkungan
Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan luar rumah
tangga/keluarga tempat kita hidup sehari-hari, tempat kita bergaul atau sekitar
yang ada di kanan kiri kita (Dzatnika, 1996: 95), sementara menurut Yaqub (1983:
70) ialah salah satu faktor yang menentukan kekuatan seseorang atau suatu
masyarakat adalah lingkungan. Suatu lingkungan itu dapat mengubah pola pikir
kita, yang awalnya kita berasumsi sesuatu di pikiran kita tanpa mengalaminya. Maka
setelah kita bergaul dengan lingkungan yang kita asumsikan tadi bisa berbeda. Sehingga
dapat mempengaruhi pikiran, tingkah laku dan sifat seseorang. (Dzatnika, 1996: 95).
3)
Pendidikan
Dalam melaksanakan pendidikan akhlak hendaknya ada suatu pola yang dapat
memberi kesan yang sungguh-sungguh bagi murid, pelajar dan mahasiswa, yang
memungkinkan teori-teori akhlak dapat direalisasikan dan tercermin dalam
pergaulannya. Sementara itu menurut Dzatnika (1996: 99), pembimbing, pengarah, pengembangan
serta penyaluran bakat anak oleh para guru inilah yang diharapkan akan
membentuk mental dan akhlak didik menjadi yang berguna dalam masyarakat. (Dzatnika,
1996: 99).
Pendidikan turut menyumbang dalam mematangkan kepribadian manusia menjadi
lebih dewasa hingga perilakunya sesuai dengan pendidikan yang telah diterimanya.
Menurut Dzatnika (1996: 101) faktor sekolah yang mempengaruhi anak didik bukan
pribadi dan usaha saja melainkan lingkungan sekolah, kebiasaan serta segala
yang dapat memberikan stimulan kepada siswa melalui panca inderanya, semua akan
memberikan pengaruh pada mental siswa di dalam dan di luar sekolah. (Dzatnika, 1996:
99).
4)
Penguasa/Pemimpin
Dzatnika (1996: 110) menuturkan yang dimaksud dengan penguasa atau
pemimpin yaitu suatu kelompok atau masyarakat yang mempunyai kekuasaan baik
formal maupun non formal, baik penguasa/pimpinan dan masyarakat dalam
lingkungan yang besar. Pemimpin secara langsung atau tidak langsung mempunyai
pengaruh dalam pembentukan mental atau akhlak seseorang atau anggota masyarakat.
(Dzatnika, 1996: 110).
Pemerintah mempunyai wewenang atau kebijakan untuk mengatur apa yang
dipimpinnya, maka peranan pemerintah dalam pembinaan moral dan akhlak sangat menentukan
kepribadian bangsa. Pemimpin yang baik bukan saja ia yang mampu memimpin
dirinya ke arah yang baik tetapi juga mampu mengajak dan memberi teladan kepada
orang disekitarnya. (Dzatnika, 1996: 110).
Berkaca kepada
sejarah ketika Indonesia dijajah oleh Belanda, para pejuang yang membela tanah
airnya demi merebut kemerdekaan. Mereka-mereka itu dapat bersatu dikarenakan
adanya pemimpin, sumber daya manusia terbesar dalam perjuangan bukan saja dari
kalangan pembaharu seperti Soekarno, Soeharto tetapi juga dari tokoh agama
Islam, mereka adalah contoh sebagai pemimpin yang baik bagi calon pemimpin di
masa yang akan datang. (Dzatnika, 1996: 110).
b.
Faktor Internal atau faktor dari
dalam dirinya meliputi: insting dan akalnya, adat, kepercayaan, keinginan-keinginan,
hawa nafsu dan hati nurani. Penjelasan lengkapnya sebagai berikut:
1)
Insting
Dalam bahasa Arab insting disebut”gharizah”atau”fithrah”dan
dalam bahasa Inggris disebut instinct. Insting atau naluri merupakan
tabi’at yang dibawa sejak lahir, setiap kelakuan manusia lahir dari kehendak
yang digerakkan oleh naluri tersebut. Menurut Amin (1995: 17) yang mengutip
pendapat Jmeas: instict ialah suatu sifat yang mendorong manusia untuk
melakukan perbuatan tanpa berfikir terlebih dahulu ke arah tujuan itu dan tidak
dengan didahului perbuatan itu.
Jadi kesimpulannya, insting adalah tingkah laku seseorang yang mendorong
manusia untuk melakukan perbuatan tanpa berfikir terlebih dahulu. Semua daya
upaya, ikhtiar atau usaha manusia adalah hasil dari akalnya, maka semakin
tinggi kecerdasan manusia, semakin banyak dan tinggi daya dan upayanya yang
dapat dicapai oleh akalnya. Manusia itu berbuat dari insting dan akalnya
bersama, dan tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya. Maka insting menentukan
tujuan yang dikehendaki sedang akal itu mewujudkan cara untuk menghasilkan
tujuan tersebut. (Amin, 1995: 19).
2)
Kebiasaan
Yang dimaksud dengan”kebiasaan”menurut Yaqub (1983: 61) ialah perbuatan
yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan. Sedangkan
menurut Amin (1993: 21) suatu perbuatan bila diulang-ulang sehingga menjadi
mudah dikerjakan disebut”adat kebiasaan”. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa kebiasaan ialah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang, berkelanjutan,
berkesinambungan, hingga menjadi mudah untuk dilakukan. (Amin, 1995: 25).
Sebagai contoh: Bangun tengah malam mengerjakan shalat tahajud, berat
bagi orang yang tidak biasa dan jika hal itu terus diulangi maka akan terasa
mudah dan terus menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Jadi, segala pekerjaan
yang dilakukan secara berulang-ulang dengan penuh kegemaran akhirnya akan
menjadi sebuah kebiasaan walaupun awalnya terpaksa. (Amin, 1995: 25).
Kekuatan kebiasaan ialah 90% dari perbuatan sehari-hari manusia dari
kebiasaan yang dapat kita kerjakan dengan sedikit pikiran dan perhatian dan
sukar sekali kita rubah. Maksudnya adalah 90% aktifitas yang sering kita
lakukan sehari-hari akan membentuk keahlian kita, dan sebagian orang
berpendapat apabila kita ingin ahli dalam sebuah bidang, maka kita baru akan
menguasainya setelah berlatih sebanyak sepuluh ribu kali, karena itu terkadang
ada kebiasaan yang sering kita lakukan justru tak sengaja menjadi keahlian kita.
Maka perhatikanlah kebiasaan kita, apakah baik atau buruk. Ada 2 faktor yang
dapat dilahirkan yakni, pertama karena adanya kecenderungan hati kepada
perbuatan itu, dia merasa senang melakukannya. Yang kedua, diperturutkannya
kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang-ulang, sehingga menjadi
biasa. (Amin, 1995: 25).
3)
Suara hati (Hati nurani)
Menurut Yaqub (1983: 78) yang dimaksud suara hati adalah”suatu kekuatan
yang sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia
berada di ambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah”suara batin”atau”suara
hati”yang dalam bahasa Arab disebut dlamir dan dalam bahasa Inggris
disebut consience”. Sementara menurut Amin (1995: 68), ”Kekuatan
memerintah dan melarang suatu perbuatan disebut suara hati (consience)
Kekuatan ini sebagai yang kita ketahui mendahului perbuatan, mengiringinya, dan
menyusulnya”. (Amin, 1995: 68).
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suara hati adalah
kekuatan yang dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan bahkan
sebelum perbuatan itu dilakukan, sehingga hati nurani sebagai isyarat yang
dapat dijadikan pedoman untuk melakukan atau tidaknya suatu perbuatan. (Amin, 1995:
68).
Dari dua jenis faktor di atas
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak seseorang adalah
keturunan, insting (naluri), adat (kebiasaan), suara hati (hati nurani), azzam,
keinginan/kehendak, lingkungan, pendidikan, dan penguasa/pimpinan. Sebagian sumber
menambahkan dengan teman pergaulan, dan rumah tangga.
6.
Metode Pendidikan
Akhlak
Dalam buku Daur Al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl Al-Muslim, karangan
Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi
metode pendidikan akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya adalah: a. Keteladanan. Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak.
Keteladanan selalu menuntut sikap yang konsisten serta terus-menerus, baik dalam perbuatan maupun budi
pekerti yang luhur; b. Memberikan
Tuntunan. Yang dimaksud di sini adalah dengan
memberikan hukuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung
di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan Alquran
dan Sunnah; c. Dengan
Kisah-kisah Sejarah. Islam
memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan kisah-kisah
sejarah. Diantaranya adalah kisah-kisah para Nabi
dan Rasul, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kerasulan serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. Alquran
telah menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak:
d. Memberikan Dorongan
dan menanamkan Rasa Takut (pada Allah Swt.). e. Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti
yang disandarkan pada keteladanan yang baik f. mendorong
anak untuk menyerap perbuatan-perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi
perwatakannya; g. Memupuk Hati Nurani. Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai
pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati
nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan
baik, bila hati nurani merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia
pun akan merespon dengan buruk. (Umary, 1983: 2).
Dari keterangan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa metode pendidikan akhlak dibagi menjadi 5 bagian, yaitu:
1) Keteladanan; 2) Memberikan Tuntunan; 3) Dengan Kisah-kisah Sejarah; 4)
Memberikan Dorongan dan menanamkan Rasa Takut (pada Allah Swt. ); 5) Memupuk
Hati Nurani.
7.
Materi
Pendidikan Akhlak
Mengenai materi akhlak dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu:
a.
Akhlak Mahmudah
Menurut Imam
Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya”menghilangkan
semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta
menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat
kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya. Diantara akhlak Mahmudah adalah sebagai berikut: 1) Al-Amaanah/Jujur;
2) Al-Khufraan/Suka memberi maaf; 3) Al-Aliefah/Disenangi; 4) Al-Hayaa-u/Malu
kalau diri tercela; 5) Al-’Afwu/Pema’af; 6) Qana’ah/Merasa cukup;
7) Asy’Syaja’ah/Berani; 8) Ash-Shidqatu/Benar/Jujur; 9) Anisatun/Manis
muka; 10) ‘Izzatun Nafsi/Berjiwa kuat; 11) Al-Khairu/Baik; 12) Adh-Dhiyaafah/Menghormati
tamu; 13) Al-Khusyuu’/Tekun; 14) Ash-Shaalihaat/Beramal Shalih;
15) Al-Ihsan/Berbuat baik; 16) Al-Ikhaa-u/Menganggap bersaudara;
17) Al-Muru’ah/Berbudi tinggi; 18) Al-Hilmu/Menahan dari berlaku maksiat;
19) An-Nadhafah/Bersih; 20) Al ‘Ifaafah/ Memelihara kesucian diri;
21) Ar-Rahmah/Belas Kasih; 22) Al-Hukmu Bil ‘Adli/Berhukum adil;
23) As-Sakhaa-U/Pemurah; 24) At-Ta’awun/Bertolong-tolongan; 25) As-Salam/Kesentosaan;
26) At-Tadharru/Merendah diri kepada Allah Swt. ; 27) Ash-Shabru/Sabar;
28) At-Tawaadhu’/Merendahkan diri terhadap sesama manusia. (Umary, 1983:
43-55).
b.
Akhlak Madzmumah
Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak madzmumah
atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni
segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan
kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah
kepada kebaikan. Diantara sifat madzmumah
adalah sebagai berikut: 1) Annaniah/Egois; 2) Al-Khamru/Peminum
Khamr; 3) Al-Baghyu/Lacur; 4) At-Tabdzir/Menyia-nyiakan; 5) Al-Bukhlu/Kikir;
6) Al-Fawaahisy/Dosa Besar; 7) Al-Buhtaan/Berdusta; 8) Al-Ghasysyu/Menipu
sukatan; 9) Adh-Dhulmu/Aniaya; 10) Al-Ghinaa/Merasa tidak perlu
pada yang lain; 11) Al-Jubun/Pengecut; 12) Al-Ghuruur/Memperdayakan;
13) Al-Ghadab/Pemarah; 14) Al-Hayaatud Dunyaa/Kehidupan Dunia;
15) Al-Ghibah/Mengumpat; 16) Al-Khiyaanah/Khianat; 17) Al-Hasad/Dengki;
18) At-Tanabuzu Bil Alqaab/Melebih-lebihkan gelaran; 19) Al-Hiqdu/Dendam;
20) Al-Ifsaad/Berbuat Kerusakan; 21) Al-Kazbu/Dusta; 22) Al-Israaf/Berlebih-lebihan;
23) Al-Istikbaar/Takabbur; 24) Al-Intihaar/Menjerumuskan Diri;
25) Ar-Ribaa/Memakan Riba; 26) Al-Liwaathah/Homo Seksual; 27) Al-Makru/Penipuan;
28) An-Namimah/Mengadu Domba; 29) Qatlun Nafsi/Membunuh; 30) Al-Kufraan/Mengingkari
Nikmat; 31) Ar-Riyaa’/Mencari Muka; 32) As-Sikhriyaah/Berolok-olok;
33) As-Sirqah/Mencuri; 34) Asy Syahwaat/ Pengikut Hawa Nafsu. (Umary,
1983: 56-68).
D. Kerangka Berfikir
Untuk mempermudahkan pemahaman dan
kejelasan tentang arah penelitian skripsi ini, maka penulis memaparkan definisi
yang tertera dalam judul. Penulis ingin mengetahui pemikiran pendidikan akhlak
menurut Syekh Kholil Bangkalan Tidak hanya sekedar selesai pemahaman dalam
pemikiran pendidikan Islam yang mereka lahirkan, akan tetapi konsep pemikiran
yang dimaksudkan dalam penelitian kali ini adalah untuk mengetahui dan memahami
setting sosial keberadaan tokoh
tersebut pada masa itu, sehingga dapat diketahui latar belakang pemikiran yang
tokoh tersebut lahirkan. Karena dengan mengetahui setting sosial pada waktu itu maka akan dapat diketahui maksud dan
tujuan dari pemikirah tokoh tersebut.
Untuk dapat mengetahui kerangka berfikir, maka
diperlukan rancangan penelitian. Rangcangan penelitian yang dapat dilakukan
dapat dilihat secara sistematis dan prosedural. Adapun rancangan penelitiannya
adalah sebagai berikut: 1. Menelaah
pemikiran pendidikan Akhlak menurut para tokoh, untuk merefleksikan
perkembangan pendidikan sesuai dengan dialektika perkembangan zaman. Konsep-kosep
ini ditelaah dari buku-buku yang menjadi sumber dan data yang berkaitan dengan
judul penelitian; 2. Menelaah
pemikiran pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan. Syekh Kholil Bangkalan
sebagai representative intelektual
muslim yang mengembangkan pendidikan akhlak sampai pelosok daerah nusantara ini
(Indonesia); 3. Mengadakan
penelitian secara kritis dan objektif terhadap pemikiran pendidikan Islam Syekh
Kholil Bangkalan, kemudian dilanjutkan dengan mensintesiskan konsep tersebut
dan mengarahkan implikasinya terhadap pendidikan akhlak.
Dengan mengetahui implikasi tersebut, maka
dapat ditetapkan pola-pola pendidikan akhlak yang selaras dengan ajaran Islam
dan ilmu pengetahuan modern. Sedangkan dari hal tersebut maka dapat digambarkan
kerangka berfikir dari
rancangan penelitian sebagaimana dipaparkan sebagai berikut:
Tabel Kerangka Pemikiran
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi atau langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
A.
Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan selesai dalam
jangka waktu empat bulan, terhitung sejak bulan Mei
sampai dengan Agustus 2017.
Tabel Jadwal
Penelitian
No. |
Kegiatan |
Bulan/Minggu Ke |
|||||||||||||||||||
Mei 2017 |
Juni 2017 |
Juli 2017 |
Agustus 2017 |
September 2017 |
|||||||||||||||||
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
1 |
2 |
3 |
4 |
||
1 |
Penulisan proposal penelitan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2 |
Pengajuan proposal penelitian ke
TTPS |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3 |
Pengajuan SK pembimbingan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4 |
Pembuatan dan revisi instrumen
penelitian |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5 |
Pengumpulan Data |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
6 |
Pengolahan Data |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
7 |
Penelitian |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
8 |
Selesai Penelitian |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
9 |
Sidang Munaqasah |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
B.
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode content analyst (analisis isi). Metode analisis isi menurut Krippendorf sebagaimana dikutip oleh Andi Prastowo (2011: 191) adalah teknik penelitian untuk
membuat inferensi yang valid (shahih) dan dapat di teliti dari data berupa
literatur atau dokumen berdasarkan konteksnya. Metode ini digunakan karena
penelitian ini bersifat menganalisis isi buku karya Syekh Kholil Bangkalan, serta
buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang diteliti.
Penjelasan di atas menggambarkan,
bahwa analisis isi meneliti atau menjelaskan data yang diambil dari sebuah
paragraf yang ditulis seseorang, sehingga analisis isi terbatas pada isi yang
akan dikutip.
Analisis isi dalam
penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan
situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis. Hal ini
disebabkan penerapan penelitian ini menggunakan jenis kualitatif.
C.
Teknik Pengumpulan
Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yakni dengan cara melakukan
pengkajian terhadap berbagai buku dan literatur yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti yaitu: Data Primer dan Sekunder.
Data primer
berupa data-data tentang riwayat hidup Syekh Kholil Bangkalan dan pemikiran
dari tokoh tersebut tentang Pendidikan Akhlak. Data sekunder berupa buku-buku
yang berhubungan dengan hal tersebut.
D.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga
macam, yakni sumber data primer, sumber data sekunder, dan sumber data tersier.
1.
Sumber Data Primer, yaitu karya-karya yang ditulis
langsung oleh Syekh Kholil Bangkalan yang berhubungan dengan nilai-nilai akhlak,
diantara karya beliau yaitu: a) Al-Matnus
Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif (Syekh Kholil Bangkalan);
b) Aqidah Wasthiyyah (Syekh Kholil Bangkalan); c) Al-awrat
Thariqah Mu’tabarah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyyah (Syekh Kholil Bangkalan);
d) Miftahul Lisan fii Tazkiratil Ihkwan (Syekh Kholil Bangkalan); e) Anwar
Tinajud Durari ala Matnil Bajuri (Syekh Kholil Bangkalan).
2.
Sumber Data Sekunder, yaitu mencakup kepustakaan yang
berwujud buku-buku penunjang, jurnal, dan karya-karya ilmiah lainnya yang
ditulis atau diterbitkan oleh studi selain yang berkaitan dengan pemikiran yang
dikaji. Buku-buku sekunder diantaranya yaitu: a) Maha Guru Pesantren, kisah
perjalanan hidup ulama lagendaris (Mokh. Sayful Bakhri); b) 50 Ulama
Agung Nusantara (Muhammad Al-Fitra Haqiqi); c) Korelasi Syekh Kholil
Bangkalan dan NU, mengenang dan menghayati perjuangan sang inspirator
(KH. Imam Yahya Mahrus); d) Syekh Kholil Bangkalan, penentu
berdirinya NU (KH. Fuad Amin Imron); e) KH. M Kholil Bangkalan, biografi
singkat 1820-1923 (Muhammad Rifa’i).
3.
Data Tersier, yaitu sumber data
yang
diperoleh berkaitan dengan pemikiran Syekh Kholil Bangkalan dan juga hal-hal yang
terkait dengan pendidikan Islam yaitu Internet dan Media
cetak.
E.
Analisa Data
Menurut Singarimbun, (2009: 263) Analisa data adalah”proses
penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan”. Singkatnya, analisa data adalah proses penyederhanaan data
ke dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga mudah dipahami dan ditafsirkan
agar memudahkan pembaca untuk memahaminya.
Analisis dalam penelitian merupakan bagian dalam proses penelitian yang
sangat penting, karena dengan analisa inilah data akan nampak manfaatnya
terutama dalam pemecahan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir
penelitian.
Klasifikasi data sebagai
awal mengadakan perubahan dari data mentah menuju pada pemanfaatan data
sehingga dapat terlihat kaitan satu dengan lainnya, juga tindakan ini sebagai
awal penafsiran untuk analisis. Kegiatan klasifikasi menuju pada proses
analisis dilakukan dengan cara mencocokan pada permasalahan pokok penelitian
yang menjadi tujuan akhir. (Subagyo, 2004: 105).
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data
yang diperoleh penulis dari berbagai macam sumber. Untuk mendapatkan kesimpulan
dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, maka selanjutnya
adalah melakukan analisis, bentuk tehnik dalam analisis data sebagai berikut:
1.
Analisis Deskriptif, yaitu usaha untuk mengumpulkan dan
menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut”. (Surakhmad,
1990: 139).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis deskriptif adalah
menggambarkan atau menjelaskan data-data yang telah dikumpulkan baik itu berupa
kata-kata, dan bukan angka-angka. Kemudian apa yang sudah dikumpulkan menjadi
kunci terhadap apa yang sudah diteliti, dengan demikian laporan penelitian akan
berupa kutipan-kutipan data dan pengolahan data untuk memberikan gambaran
penyajian laporan tersebut, kemudian penulis memberikan penyimpulan dari
masing-masing kutipan data yang diambil dari sumber data tersebut. Metode
penelitian ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Memusatkan diri pada
pemecahan masalah; b. Data-data yang dikemukakan mula-mula disusun, dijelaskan,
kemudian dianalisis.
Tujuan menggunakan metode deskriptif analisis adalah untuk mendeskripsikan
secara rinci tentang obyek penelitian ini bisa dilakukan tanpa hipotesis yang
telah dirumuskan secara ketat. Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan
pendekatan metode analisis, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1)
kategorisasi: membuat kategori-kategori dari masing-masing tulisan itu kemudian
memilah-milah dan memisahkannya ke dalam sub-sub pemikiran; 2) Editing: Pemeriksaan
kembali terhadap kelengkapan jawaban yang telah diperoleh.
2.
Analisis Isi
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content
analyst). Dimana data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan
karena itu analisis ini disebut analisis isi. (Suryabrata, 2004: 94).
Penjelasan di atas menggambarkan, bahwa isi hanya meneliti atau menjelaskan
data yang diambil dari sebuah paragraf dari tulisan seseorang, sehingga
analisis isi dibatasi hanya pada isi dari data yang akan dikutip. Pendapat ini
seperti yang dikemukakan oleh Handari Nawawi yang dikutip oleh Soedjono dan
Abdurahman bahwa”analisis isi dalam penelitian dilakukan untuk mengungkapkan
isi sebuah buku yang menggambarkan situasi penulis dan mesyarakatnya pada waktu
buku itu ditulis”. (Soedjono, 1999: 14).
Burhan Bungin mendefinisikan analisis isi (content analyst) adalah”teknik
penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel),
dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan
dengan komunikasi atau isi komunikasi”. (Bungin, 2007: 231). Dalam penelitian
kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana penulis melihat keajegan
isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana penulis memaknakan isi
komunikasi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2007: 232).
Pada hakikatnya, analisis isi adalah salah satu model analisis yang
digunakan penulis dalam mengungkap, mengetahui, dan memahami isi dari literatur
yang sudah dibaca, dengan begitu penulis akan dengan mudah menempatkan data
mana yang sesuai dengan kebutuhan penulis dan penelitian.
Jadi,
dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan tiga fase analisis data interaktif
model of analyst sebagaimana yang dijelaskan oleh Husni Thoyyar (2007, 127),
yaitu sebagai berikut:
1.
Fase reduksi data. Dalam fase
ini penulis memilih dan memilah data yang dihasilkan dari pengumpulan data yang
dianggap penting sesuai dengan fokus penelitian dan rumusan masalah. Penulis mencermati fenomena-fenomena yang terjadi pada kehidupan Kholil
baik saat beliau sedang mengajar maupun saat bermasyarakat yang berkaitan
dengan materi yang sedang diteliti yaitu Akhlak.
2.
Fase penyajian data. Dalam fase
ini, penulis memaparkan data yang diperoleh pada fase pertama sesuai dengan
rumusan masalah dan sub pokok pembahasan agar dapat dipahami secara sistematis.
3.
Fase penarikan kesimpulan. Dalam
fase ini, data dari hasil fase kedua kemudian dilakukan abstraksi. Abstraksi
merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan
yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Biografi Syekh Kholil Bangkalan
1.
Kelahiran dan Kehidupan Syekh Kholil Bangkalan
Syekh Kholil Bangkalan lahir di Martapuri Kabupaten
Bangkalan pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H dan wafat pada tanggal 29
Ramadhan 1343 H (1925 M) Semasa hidup, beliau mengenyam pendidikan di pondok
pesantren, seperti di Langitan Tuban, Bangil dan Kebon Candi Pasuruan, juga
beliau pernah mengenyam pendidikan di Makkah Al-Mukarramah. (Rozaki, 2004: 3).
Selama menjalani masa pendidikannya, baik di Indonesia
maupun di Makkah Al-Mukarramah, beliau dikenal tekun, ulet dan juga cerdas. Sehingga
tidak heran jika beliau selama nyantri di Indonesia sudah mampu untuk
membiayai sendiri hingga sampai pembiayaan pergi ke Makkah. Di Makkah, beliau menekuni
berbagai macam bidang keagamaan, baik yang bersifat eksoterik (ilmu lahiriyah) maupun esoterik (ilmu batiniyah) (Rozaki, 2004: 3).
Ketekunanya dalam mempelajari ilmu keagamaan, terutama
semenjak belajar di Makkah Al-mukarramah membuatnya memiliki berbagai macam
karamah, yakni suatu kekuatan di luar kebiasaan manusia pada umumnya yang
dimiliki oleh seseorang karena ketakwaannya terhadap sang pencipta, Allah Swt. Predikat
waliyyullâh pun disandangnya, dan derajat sufi serta dunia mistik ada
pada diri beliau. (Rozaki, 2004: 4).
Pada suatu saat di Masjidil Haram para ulama berdiskusi
mencari jawaban tentang hukum memakan kepiting dan rajungan. Diskusi
berlangsung panas, bahkan sesekali terjadi perdebatan dan adu mulut. Melihat
itu semua Kholil hanya diam dan sesekali tersenyum. Sudah berjalan cukup lama, tetapi
kesimpulan hukum tak kunjung disepakati. Dalam suasana yang menegangkan itu
Syekh Kholil Bangkalan peka terhadap alasan kenapa tak kunjung mendapatkan
kesimpulan. Beliau pun ijin untuk berpidato dan menyampaikan pendapatnya, lalu
beliau menunjukkan bahwa masalahnya ada pada sebagian ulama yang tidak
mengetahui kepiting dan rajungan. Para ulama pun membenarkan perkataan Kiai
Kholil. Lalu secara ajaib Syekh Kholil Bangkalan mempertontonkan secara
langsung sosok kepiting dan rajungan dalam kondisi masih hidup dan segar seakan
baru diambil dari laut dihadapan para ulama itu. Akhirnya permasalahan mengenai
hukum memakan kepiting dan rajungan pun menemui penyelesaian. (Wajdi, 2016: 75).
Sepulang dari Makkah Al-Mukarramah, beliau mendirikan
pesantren di desa Cengkebun, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa
kelahirannya di Senenan Bangkalan. (Rozaki, 2004: 5).
Hari demi hari santripun berdatangan untuk belajar kepada
beliau. Namun setelah beliau menjadi mertua dari Kiai Muntaha, suami Siti
Khatimah putrinya, beliau menyerahkan lembaga tersebut untuk dilanjutkan oleh
menantunya itu. Kemudian beliau pindah dan mendirikan pondok pesantren lagi di
desa Demangan, 200 meter arah barat alun-alun kota Bangkalan. Di pesantren
beliau yang baru, santri pun banyak berdatangan tidak hanya dari desa tetangga,
melainkan juga dari pulau Jawa seperti Kiai Hasyim Asy’ari Jombang. (Rahman, 1999: 5).
Kiai Kholil, yang sudah menghafal Alquran 30 Juz sejak di
Indonesia itu, dikenal sebagai ahli fiqih, ilmu alat (Gramatikal Bahasa Arab, penerjemah)
dan tarekat. Beliau juga terkenal dengan karomah waskita nya, weruh
sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi/ Mukâsyafah) Dalam hal
yang terakhir ini (karomah) nama Syekh Kholil Bangkalan lebih dikenal. Jejak
dan langkah Syekh Kholil Bangkalan kini tetap menjadi monumen yang mengalir hidup melalui perjuangan penerus
dan pengikutnya. (Rahman, 1999: 5).
Di Indonesia terdapat kurang lebih 6. 000 pesantren lebih
yang terus berkhidmah dalam kehidupan bangsa dan agama. Sebagian besar pengasuh
pesantren itu mempunyai sanad (persambungan) dengan beliau. Muhammad
Hasyim Asy’ari (1871-1947), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) Kiai Bisri Syamsuri
dan Kiai-Kiai besar lainnya di Jawa. Padahal mereka semua adalah murid Syekh
Kholil artinya kebanyakan Kiai yang ada sekarang ini mempunyai sanad
sampai ke Syekh Kholil Bangkalan, muara yang penuh misteri. (Rahman, 1999: 6).
Sebagai seorang ulama besar dan kharismatik, Syekh Kholil
Bangkalan juga ikut mewarnai dalam proses Islamisasi di pulau Madura. Beliau
juga seorang pejuang kemerdekaan dalam melawan penjajahan kolonial waktu itu. Perjuangan
dan pergerakan beliau dalam upaya melawan penjajah tidak dengan pergerakan masa
yang anarkis, namun beliau menggunakan pendekatan diplomatik dengan kaum
penjajah. (Rahman, 1999: 6).
Cara yang ditempuh oleh Syekh Kholil Bangkalan untuk
menarik simpati rakyat Bangkalan, ialah berbaur dengan masyarakat. Selain
melaksanakan visi dan misi utamanya, yaitu menyebarkan agama Islam yang tidak
beliau lakukan di dalam pesantrennya saja, namun juga turun ke desa-desa dan
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat setempat. Seperti
yang terlihat dari jejak langkah peninggalan beliau di desa Telaga Biru, di
desa ini mata pencaharian masyarakatnya adalah melaut, sebagai nelayan atau
sebagai saudagar dan pedagang. (Rahman, 1999: 7).
Di desa itu proses pergaulan yang dibangun Syekh Kholil
Bangkalan adalah dengan cara melakukan proses kebersamaan, beradaptasi dengan
para masyarakat pesisir setempat, sampai pada akhirnya Syekh Kholil Bangkalan
membuat sebuah perahu layar dengan tujuan perdagangan antar pulau. Beliau
mengajarkan nilai-nilai sosial yang baik dan pendalaman aqidah Islamiyah.
(Rahman, 1999: 7).
Sebagai penganut faham Sunni, beliau senantiasa
memberikan pengajaran di bidang keagamaan melalui rujukan kitab-kitab madzhab
Syafi’iyyah. Hal ini beliau lakukan karena latar belakang dari masyarakatnya
adalah Syafi’iyah termasuk ajaran yang ditanamkan oleh ayah beliau sendiri
sebagai guru pertamanya sebelum berpetualang mencari ilmu pengetahuan keluar
Madura. (Rahman, 1999: 8).
Kekaromahan Syekh Kholil Bangkalan yang dilaluinya lewat
sulûk al tasawuf kini hanya sebuah cerita dari mulut ke mulut yang nantinya
akan berakhir dengan hilangnya mutiara kisah tentang beliau. Walaupun ada
beberapa buku yang memuat kisah – kisah tentang beliau, seperti Surat kepada
Anjing Hitam, Biografi dan Karomah Kiai Kholil, karangan Saifur
Rachman, terbitan pustaka Ciganjur, juga buku dengan judul Syaichona Cholil
Bangkalan, Ulama Legendaris dari Madura, karangan Mokh. Syaiful
Bahri, terbitan Cipta Pusaka Utama, Pasuruan. (Rahman, 1999: 8).
Namun setelah
penulis teliti dan pelajari ternyata tidak sepenuhnya memuat dan membahas
tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia kema’rifatan beliau mulai
beliau menapaki tangga-tangga sebagai perambah jalan tasawuf hingga beliau
sampai pada tingkatan ma’rifat/waliyullâh. Sejarah perjalanan dan
pemikiran murid-murid Syekh Kholil Bangkalan sudah terdokumentasikan, namun
sejarah perjalanan, apalagi pemikiran dan ajaran Syekh Kholil Bangkalan sendiri,
yang pada umumnya adalah guru para deklarator NU dan Kiai-Kiai besar lainnya di
Jawa dan luar Jawa sekalipun sangatlah minim. (Ma’sum, 1998: 10-11).
Maka dari itu untuk memperkuat bukti literatur dalam
penelitian ini, penulis juga mengambil hasil sumber data-data yang lain yang
menguatkan literatur atau perjalanan kholil bangkalan dalam menguatkan
argumentasi dari sumber data-data lain. Keberadaan Syekh Kholil Bangkalan
sebagai seorang sufi, telah banyak meninggalkan kenangan yang hingga kini masih
terasa di tengah-tengah masyarakat. Ajaran-ajaran beliau masih banyak diikuti
oleh para pengikutnya secara turun temurun hingga seperti sekarang ini.
2.
Nasab Syekh Kholil Bangkalan
Menurut KH. Abdullah Sachal, silsilah Syekh Kholil Bangkalan bersambung
kepada Rasulullah Saw. sebagai berikut: Kiai Muhammad Kholil Bangkalan bin Kiai
Abdul Lathif bin Hamim bin Asror bin Abdullah bin Sayyid Sulaeman bin Syarif
Hidayatullah bin Maulana Umdaduddin Abdullah bin Maulana Ali Nuruddin bin
Maulana Jamaluddin Akbar bin Sayyidina Ahmad Syah Jalal bin Sayyidina Abdullah
Adhimah Khan bin Sayyidina Abdul Malik bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Muhammad
Shahib Mirbad bin Sayyidina Ali Kholil Qosim bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Muhammad
bin bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Abdullah bin Sayyidina Ahmad Muhajir Bin
Sayyidina Isa bin Sayyidina Muhammad Tsaqib bin Sayyidina Ali Al-Uraidi bin
Sayyidina Ja’far Shodiq bin Sayyidina Muhammad Baqir bin Sayyidina Ali Zainal
Abidin bin Sayyidina Husain bin Fatimah binti Rasulullah Saw. (Rahman, 1999: 5-7).
3.
Karya Tulis Syekh Kholil Bangkalan
Pada mulanya Syekh Kholil membuat
karya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ketika menimba ilmu di Mekkah
karena beliau tidak menggantungkan hidupnya dari kiriman orang tuanya di tanah
air. Hasil karyanya terutama yang berupa kitab, kemudian dijual dengan harga
200 Real per kitab. Selain menulis risalah Syekh Kholil juga mendapatkan
penghasilan dari menjual kaligrafi.
Dari sekian banyaknya karya beliau namun hanya sebagian kecil karya beliau
yang bisa dilacak, diantaranya: a. Silah fi Bayani Nikah; b. Terjemah
Alfiyah; c. Shalawat Kiai Kholil Bangkalan; d. Wirid – wirid Kiai
Kholil Bangkalan; d. Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ; e. Aqidah Wasthiyyah; f. Al-awrat Thariqah Mu’tabarah
Qadiriyah Wa Naqsyabandiyyah; g. Miftahul Lisan fii Tazkiratil Ihkwan;
h. Anwar Tinajud Durari ala Matnil Bajuri. (Fatimah, 2011: 57).
Dalam bidang karya sedikit sekali literatur
yang menyebutkan karya Syekh Kholil, editor buku karya Bakhri (2016: xiii)
berkata”Habib Lutfi menceritakan, saat KH. Hasyim Asy’ari meminta restu dari
Habib Hasyim dan Mbah Cholil, kalimat yang disampaikan oleh dua tokoh besar
tersebut hampir sama: ”Laksanakanlah niatmu membentuk wadah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah. Saya rela, tapi tolong saya jangan ditulis.”Dari ucapan
editor di atas dapat diketahui bahwa Syekh begitu rendah hati sehingga beliau
jarang muncul di dalam karya tulis. Beliau akan selalu dikenang lewat
pesantren-pesantren yang didirikannya dan dari murid didikannya.
Selain di bidang karya tulis, Syekh Kholil
lebih dikenal sebagai tokoh yang turut melakukan pengembangan pendidikan
pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Banyak
santri Syekh Kholil yang setelah lulus, kemudian mendirikan pesantren dan
organisasi besar. Dari murid-murid Syekh Kholil tersebut pesantren tumbuh
dengan pesat layaknya jamur di musim hujan. Kini terdapat kurang lebih 6000
pesantren di Indonesia. Sebagian besar pengasuh pesantren mempunyai sanad
(persambungan) dengan para murid Syekh Kholil yang mempunyai ta’alluq bathiniyyah
dengan beliau. Syekh Kholil juga meninggalkan kader-kader bangsa dan agama yang
berhasil ia didik menjadi tokoh pembaharu dan pemimpin umat. Hal yang menonjol
dari metode yang digunakan Syekh Kholil adalah seperti yang dilakukan Para Wali
Songo yaitu lebih mementingkan praktek daripada teori.
4.
Murid Syekh Kholil Bangkalan
Menurut Rahman yang dikutip oleh Mokh Syaiful Bakhri (2016: xix), hampir
Ulama Besar pengasuh pesantren di Madura dan Jawa adalah murid dari Syekh
Kholil Bangkalan. Berikut adalah murid Syekh Kholil yang mudah dikenal saat ini:
a. KH. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai pendiri organisasi NU; b. KH. As’ad Syamsul
Arifin, pengasuh ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo; c. KH. Wahab Hasbullah,
Pengasuh Ponpes Tambak Beras, Jombang; d. KH. Bisri Syamsuri, pengasuh ponpes
Denanyar, Jombang; e. KH. Maksum, pengasuh ponpes Rembang, Jawa Tengah; f. KH. Bisri
Mustofa, pengasuh ponpes Rembang; g. KH. Muhammad Siddiq, pengasuh ponpes
Siddiqiyah, Jember; h. KH. Nawawi, pengasuh ponpes Sidogiri, Pasuruan. ; i. Soekarno,
Presiden pertama dan Proklamator Kemerdekaan RI, dll. (Haqiqi, 2009: 36).
Sebagian sumber mengatakan bahwa Soekarno bukan murid Syekh Kholil secara
langsung, hal ini sebagaimana yang dituturkan Fatimah bahwa KH. As’ad Syamsul
Arifin pernah berkata bahwa Soekarno adalah teman dekatnya, meski Bung Karno
tidak resmi sebagai murid, namun ketika sowan (berkunjung) ke Bangkalan,
Syekh Kholil memegang kepala Soekarno dan meniup ubun-ubunnya. (Fatimah, 2011: 54).
B.
Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil
Bangkalan
Menurut Syekh
Kholil Bangkalan Pendidikan Akhlak sangatlah penting, namun
bagi Syekh Kholil Bangkalan pondok pesantren bukan sekadar tempat untuk
mempelajari ilmu-ilmu agama, tetapi juga tempat untuk membumikan pesan-pesan
Islam sehingga berdampak secara dalam masyarakat. Dengan
adanya Pendidikan Akhlak akan menghantarkan masyarakat yang berakhlak buruk
menjadi lebih baik, dan yang baik menjadi lebih baik lagi. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut
maka konsep Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan meliputi:
1.
Pengertian Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil Bangkalan
Banyak sekali pandangan atau pendapat Syekh Kholil Bangkalan tentang
pengertian Pendidikan Akhlak, pengertian Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil
Bangkalan adalah pendidikan
mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabi’at
yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai
ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan
kehidupan. (Salim, 2001: 56-58).
Sedangkan
pendidikan Islam menurut Syekh Kholil Bangkalan adalah sarana dan upaya yang
strategis yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mencapai kemanusiaanya, sehingga
mampu mengetahui hakikat penciptaannya, penciptanya dan tugas serta tanggung
jawab manusia sebagai khalifah di bumi yang kemudian bertujuan agar dengan
pendidikan Islam, manusia mampu mendekatkan diri pada Allah Swt. , sehingga
mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat yang juga tetap melandaskan pada
Alquran dan Hadist. (Salim, 2001: 56-58).
Dari definisi
di atas dapat diketahui bahwa Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan
adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan Islam dalam rangka mencapai
kemanusiaannya, sehingga mampu mengetahui hakikat penciptaannya sampai dengan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Pendidikan Akhlak
merupakan suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram
dalam jiwa yang berlandaskan Alquran dan Al-Hadits yang daripadanya timbul
perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa dipikirkan terlebih
dahulu. Kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan
kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu
pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan
yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela.
2.
Tujuan
Pendidikan Akhlak menurut
Syekh Kholil Bangkalan
Tujuan dari Pendidikan Akhlak Menurut Syekh
Kholil Bangkalan adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan,
sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat
bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci yang berlandasan
Alquran dan Hadistt. (Salim, 2001: 56-58).
Dengan
kata lain tujuan Pendidikan Akhlak bukan hanya mengetahui pandangan atau teori,
bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita
supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan
memberi faedah kepada sesama manusia. Maka dari itu akhlak berupaya untuk
mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil
kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia. Syekh Kholil Bangkalan mengemukakan dua tujuan diberikannya pendidikan Islam bagi manusia, yaitu: a. Menjadi insan purna
yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt. ; b. Menjadi insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. (Salim, 2001: 56-58).
Syekh juga dikenal di dunia tasawuf, ada sebuah ujaran
yang sangat masyhur, ”Barang siapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah
Swt. akan menganugrahkan kepadanya ilmu yang tidak pernah ia ketahui”, dan
seringnya Syekh Kholil dalam menjawab atau memberikan solusi kepada masyarakat
adalah dengan menggunakan bait-bait Alfiyah karena alasan ini pula lah
beliau menjadi sosok yang ahli hikmah. (Bakhri, 2016: 53).
Dari kisah di atas terasa sangat kental sekali nuansa
teologi atau ketauhidan dari pemikiran Syekh Kholil Bangkalan. Tidak hanya
ditujukan dalam aktivitas kesehariannya, bahkan sampai merembet kepada
pemikiran pendidikannya. Di atas juga sudah dipaparkan mengenai definisi
pendidikan Islam yang sangat kental sekali nilai-nilai Ilahiyahnya. (Salim, 2001: 56-58).
Kemudian merumuskan tujuan pendidikan Islam juga
mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Dengan mengedepankan nilai-nilai tersebut,
harapan semua manusia yang melaksanakan dan ikut dalam proses pendidikan selalu
menjadi insan purna yang bertujuan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. sehingga
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Salim, 2001: 56-58).
Disamping itu, dalam Islam, tujuan pendidikan yang dikembangkan adalah
mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti dan akhlak
merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna
adalah tujuan yang sesungguhnya dari proses pendidikan. Pemahaman ini tidak
berarti bahwa pendidikan Islam tidak memperhatikan terhadap pendidikan jasmani,
akal, dan ilmu pengetahuan (science). Namun, pendidikan Islam
memperhatikan segi Pendidikan Akhlak seperti memperhatikan segi-segi lainnya. (Salim, 2001: 56-58).
3.
Dasar Pendidikan Islam menurut Syekh Kholil Bangkalan
Bertolak dari tujuan Pendidikan Akhlak yang telah
dipaparkan, di sini juga dijelaskan tentang dasar-dasar pendidikan Islam
menurut Syekh Kholil Bangkalan. Menurutnya, menjadi sebuah kewajiban untuk
dapat memahami sumber utama ajaran Islam yakni Alquran dan Al-Hadist, karena
hanya dengan mampu memahami secara menyeluruh teks sumber utama ajaran Islam
itulah manusia akan mendapatkan khazanah keilmuan yang luas dan tanpa
keluar dari jalur yang sudah tetera dalam ajaran Islam, terlebih-lebih tentang
pendidikan Islam. (Bakhri, 2006: 67-73).
Sejalan dengan apa yang sudah dijelaskan di atas, bahwa
Alquran dan Sunnah Rasulullah Saw. (hadist) menjadi dasar utama dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam, karena menurutnya hanya berlandaskan Alquran
dan Al-Hadist proses berjalannya pendidikan Islam pada suatu lembaga pendidikan.
Dalam paragraf di bawah ini akan sedikit dipaparkan terkait dasar atau landasan
yang digunakan sebagai acuan dan rujukan dalam proses penyelenggaraan
pendidikan Islam yang sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Syekh
Kholil Bangkalan:
a.
Alquran
Alquran adalah firman Allah Swt. berupa wahyu yang disampikan oleh Jibril
kepada Rasulullah Saw. di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat
dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran
yang terkandung dalam Alquran itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang
berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang
berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah. (Bakhri, 2006: 67-73).
Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak begitu
banyak dibicarakan dalam Alquran, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan
amal perbuatan. Hal ini menunjukkan amal yang seharusnya banyak dilakukannya, sebab
semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt. dengan dirinya
sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungnnya, dengan
makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh (syari’ah). (Bakhri,
2006: 67-73).
Pendidikan Akhlak, karena termasuk ke dalam usaha atau
tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah,
Pendidikan Akhlak sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk
amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Di dalam Alquran
terdapat banyak ajaran yang berisikan tentang prinsip-prinsip berkenaan dengan
kegiatan atau usaha pendidikan. (Bakhri, 2006: 67-73).
Sebagai contoh dapat dibaca kisah Luqman mengajari
anaknya. Dalam Alquran Luqman ayat 12-19. Cerita ini menggariskan prinsip
materi ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai
suatu kegiatan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan Islam harus
mendukung tujuan hidup tersebut. (Bakhri, 2006: 67-73).
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus menggunakan Alquran sebagai sumber
utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam. Dengan kata
lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Alquran yang penafsirannya
dapat dilakukan berdasarkan ijtihad yang disesuaikan dengan perubahan dan
pembaharuan. (Bakhri, 2006: 67-73).
b.
Sunah
Sunah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasulullah Saw. yang
dimaksud dengan pengakuan itu adalah kejadian atau perbuatan orang lain yang
diketahui oleh Rasulullah Saw. dan beliau membiarkan saja kejadian atau atau
perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah Alquran. Seperti
Alquran, Sunnah juga berisi tentang aqidah dan syari’ah. Sunnah
berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. (Bakhri, 2006: 67-73).
Oleh karena itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi
cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan
penafsiran yang berkembang, itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan
dalam memahaminya termasuk Sunnah yang berkaitan dengan pendidikan. (Bakhri, 2006:
67-73).
Di dalam Alquran banyak sekali ayat-ayat yang
memerintahkan kita untuk melaksanakan pendidikan, selain itu di dalamnya banyak
pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah-kisah para Rasulullah Saw., sahabat
dan lain sebagainya. Selain itu Sunah juga mempunyai fungsi yang sama. Selain
Alquran dan Sunah, Syekh Kholil Bangkalan juga mengunakan dasar tentang
pendidikan Islam adalah Qaul ulama’ (Ijma ataupun Qiyas). (Bakhri, 2006:
67-73).
Pada dasarnya
Alquran masih memerlukan penafsiran-penafsiran kembali untuk merelevankan
dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada kehidupan manusia, tidak luput
juga dalam dunia pendidikan. Alquran dan Sunah merupakan sumber hukum Islam dan
merupakan pokok dari dasar pendidikan. Dari sinilah banyak para tokoh-tokoh
pendidikan yang mengunakan Alquran dan Sunah sebagai dasar pendidikan Islam, salah
satunya adalah Syekh Kholil Bangkalan. (Bakhri, 2006: 67-73).
C. Sistem Pendidikan Menurut
Syekh Kholil Bangkalan
Dalam bidang Pendidikan Akhlak, Syekh Kholil
Bangkalan telah mendirikan beberapa pesantren dan pengajian-pengajian di
tiap-tiap cabang dan ranting. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada
masa penguasa Jepang, K. H Kholil Bangkalan tetap memajukan pesantren-pesantren
serta mengadakan tabligh dan pengajian-pengajian. Hal itu berkat adanya
sistem Pendidikan Akhlak yang digunakan oleh Syekh Kholil Bangkalan, sistem
Pendidikan Akhlak yang digunakan Syekh Kholil Bangkalan adalah menggunakan
metode akhlak seorang Akhlak Murid dalam Belajar, Akhlak Murid kepada Guru, dan
Guru dalam mengajar, antara lain:
1.
Akhlak Murid dalam Belajar
Di usianya yang belia, Syekh
Kholil Bangkalan belajar di pesantren yang diasuh oleh ayahnya, KH. Abdul
Latief yang mana masih menerapkan pendidikan ma’hadiyah (pendidikan asli pesantren) yang menggunakan kurikulum salafiyah (tradisional) yang
menitikberatkan pada penguasaan ilmu-ilmu diniyah
keagamaan. (Bakhri, 2016: 13).
Semasa kecil Syekh Kholil
Bangkalan dididik oleh ayahnya dengan materi spriritual dahulu sebelum materi
yang lainnya. Ketika Syekh Kholil Bangkalan beranjak dewasa sebagian besar
ditentukan oleh pendidikan yang ia terima sewaktu kecil. Jika masa kecilnya
sudah dididik dengan ilmu keagamaan maka tidak dapat dipungkiri jika nantinya
ia akan menjadi sosok manusia yang taat kepada Allah Swt. Selain itu peran
orang tua juga sangat penting sebab orang tua adalah sekolah pertama bagi
anak-anaknya.
Senada dengan pendapat
Ulwan (2007: 184) ia mengatakan bahwa agar anak senantiasa mengingat Allah Swt.,
hendaknya anak ditekankan untuk mempelajari pemikiran-pemikiran yang dapat
mendekatkan dirinya kepada penciptanya. Cara pengajaran seperti ini telah
diterapkan oleh salaf zaman dahulu dalam mengajarkan anak-anak mereka. Jika
para pendidik, ayah atau ibu menerapkan cara dan dasar pendidikan ini, tidak
mustahil bila dalam waktu yang relatif singkat mereka sudah dapat menciptakan
suatu generasi muslim yang militan, bangga dengan agamanya, sejarah dan para
pahlawannya yang mulia. Sehingga tercipta suatu masyarakat yang bersih dari
kekufuran, kedengkian, dan tindak kejahatan yang penuh dengan dosa.
Pendidikan Kholil kecil
didapat dari didikan ayahnya, yang mana seorang ayah adalah keluarga yang
termasuk ke dalam salah satu faktor yang dapat memberi pengaruh kepada
kepribadian anak. sebagaimana yang diutarakan Yaqub
(1983: 67), manusia yang berasal dari satu keturunan di mana dan pembawaan yang
bersamaan, misalnya bentuk badan, perasaan, akal dan pemikiran. Dengan
sifat-sifat manusia yang diwariskan dari satu nenek moyang, maka manusia dapat
menundukkan alam, sedangkan keistimewaan itu tidak diwariskan (diturunkan)
kepada hewan karena berlainan keturunan.
Dalam Alquran dikemukakan:
$pkr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qà)®?$#
ãNä3/u
Ï%©!$#
/ä3s)n=s{
`ÏiB
<§øÿ¯R
;oyÏnºur
t,n=yzur
$pk÷]ÏB
$ygy_÷ry
£]t/ur
$uKåk÷]ÏB
Zw%y`Í
#ZÏWx.
[ä!$|¡ÎSur
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
Swt. menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah Swt. memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. An-Nisa, 4: 1).
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa materi pembelajaran yang
pertama kali Syekh Kholil dapatkan dari didikan sang ayah adalah ilmu-ilmu diniyyah atau ilmu-ilmu keagamaan. Diantara
ilmu yang diterima Syekh Kholil saat kecil adalah Fiqih, Tauhid, Akhlak, Tajwid,
Tahsin, Nahwu dan Sharaf. Selain ilmu keagamaan juga beliau dibekali ilmu
Matematika dan Sejarah (Tarikh). (Bakhri, 2015: 13).
Bukan hanya didikan secara teori yang diterima Syekh Kholil tetapi juga
dengan praktek, ayahnya sering mengajak Kholil kecil dalam acara Diba’an
walaupun Kholil kecil masih belum paham artinya, dan ditumbuhkan rasa cinta
kepada Rasulullah Saw. Saw,. sebagaimana diutarakan Bakhri bahwa sejak kecil, Syekh
Kholil sering diajak ayahnya menghadiri acara Diba’an yaitu sejarah ringkas mengenai keluhuran Rasulullah Saw. dan
keluarganya melalui gubahan puitis. (Bakhri, 2015: 7).
Didikan yang diterima Syekh Kholil dari ayahnya saat masih kecil adalah
berupa ilmu-ilmu keagamaan, karena sebagaimana Firman Allah Swt.:
öãBù&ur
y7n=÷dr&
Ío4qn=¢Á9$$Î/
÷É9sÜô¹$#ur
$pkön=tæ
( w
y7è=t«ó¡nS
$]%øÍ
( ß`øtªU
y7è%ãötR
3 èpt6É)»yèø9$#ur
3uqø)G=Ï9
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah
yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa. (QS. Thaha, 20: 132)
Begitupula dengan hadits Rasulullah Saw. yang
artinya, ”Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan shalat pada saat usia
mereka tujuh tahun dan pukulah mereka pada saat telah mencapai usia sepuluh
tahun dan pisahkanlah antara mereka dalam ranjang tidur mereka”. (HR. Sunan Abu
Daud).
Dalil di atas menunjukkan bahwa Allah Swt. menyuruh untuk mendirikan shalat
kepada keluarga. Sebelum melakukan shalat tentunya harus dibarengi dengan ilmu
yaitu Ilmu Fiqih dan pendidikan yang diterima Syekh Kholil sudah sesuai dengan
firman Allah Swt. tersebut.
Mendengar cerita kealiman Kiai Abu Dzarrin, terlebih beliau sangat
menguasai ilmu Nahwu dan Sharaf, dengan mantap beliau melangkahkan kaki dari
pesantren Langitan ke Winongan. (Bakhri, 2015: 17).
Dari cerita di atas kita dapat melihat bahwa Syekh Kholil Bangkalan sangat
haus akan ilmu terbukti ketika ia berangkat ke Winongan hanya untuk belajar
ilmu yang sebenarnya sudah ia pelajari di Pesantren Langitan. Syekh Kholil
betul-betul mengamalkan nasihat, ”Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai masuk
liang lahat”. (Mahfudzot).
Kemudian diperkuat dengan perkataan Imam Syafi’i dari Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi: Wahai saudaraku kamu tidak akan
mendapatkan Ilmu kecuali dengan 6 perkara; Pertama, Kecerdasan, Ketamakan
dengan Ilmu, Kesungguhan, Harta, Bergaul dengan Guru, Waktu yang Luang. (HR. Muslim).
Oleh karena, itu kehausan Syekh Kholil Bangkalan terhadap ilmu tidak akan
pernah puas karna bagi Syekh Kholil Bangkalan jikalau seseorang puas terhadap
ilmu yang dimiliki maka seseorang tersebut akan merasa dirinya paling hebat
terhadap ilmu yang dimiliki, itulah sebabnya kenapa Rosulullah SAW. mengajarkan
kita untuk tidak pernah puas terhadap ilmu karna ilmu itu sangat bermanfaat
bagi krhidupan masa depan seorang muslim. maka dari itu Syekh Kholil Bangkalan
selalu belajar dari berbagai tempat yang berbeda, diantaranya: Pesantren
Langitan, Pesantren Keboncandi, Sidogiri, Rumah Bujuk Ronggo (Sayyid Ahmad Syarifuddin), Pesantren Cangaan Bangil,
dilanjutkan ke Pesantren Minhajul Tullab, pada usia 40 tahun Syekh Kholil
berangkat untuk menuntut ilmu di Mekkah. Sikap beliau yang meluaskan tempat
atau majlis dalam mencari ilmu ini sesuai dengan Firman Allah Swt. Swt:
Dan dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11, Allah Swt. berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
@Ï%
öNä3s9
(#qßs¡¡xÿs?
Îû
ħÎ=»yfyJø9$#
(#qßs|¡øù$$sù
Ëx|¡øÿt
ª!$#
öNä3s9
( #sÎ)ur
@Ï%
(#râà±S$#
(#râà±S$$sù
Æìsùöt
ª!$#
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
öNä3ZÏB
tûïÏ%©!$#ur
(#qè?ré&
zOù=Ïèø9$#
;M»y_uy
4 ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
×Î7yz
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: ”Berlapang-lapanglah
dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah Swt. akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: ”Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah Swt. akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah
Swt. Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah, 58: 11).
Saat Syekh Kholil sampai di Winongan untuk belajar kepada Abu Dzarrin, Syekh
Kholil malah mendapat kabar duka bahwa Kiai Dzarrin yang hendak ia tuju untuk
belajar telah meninggal dunia. Akhirnya ia hanya bisa berziarah, ia i’tikaf di surau yang berada di dekat
makam Kiai Abu Dzarrin. Selama i’tikaf
ia banyak mengisi waktunya dengan shalat, berdzikir, dan membaca Alquran. Selain
itu beliau bertawasul secara khusus kepada Kiai Dzarrin dan mendo’akannya
(Bakhri, 2015: 17)
Keinginan yang luar biasa Syekh Kholil untuk belajar telah membuatnya rela
menempuh perjalanan yang jauh. Sebagai seorang manusia biasa, Syekh Kholil
tidak bisa melawan takdir yang sudah ditentukan oleh Allah Swt. terhadap Kiai
Abu Dzarrin, di tengah kegalauannya ini, Syekh Kholil menyikapi hal tersebut
dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. untuk mencari ketenangan. Sebagaimana
Allah Swt. berfirman:
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
ûÈõuKôÜs?ur
Oßgç/qè=è%
Ìø.ÉÎ/
«!$#
3 wr&
Ìò2ÉÎ/
«!$#
ûÈõyJôÜs?
Ü>qè=à)ø9$#
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah Swt.. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah Swt.-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’du, 13: 28).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ust. Abdullah
Taslim, M. A. yang dikutip dari kitab Igaatsatul
lahfaan karangan Imam Ibnu Qayyim. Beliau berkata,
Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka
(pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan
kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Maka ditanya, ”Apakah kenikmatan
yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab, ”Cinta kepada Allah Swt.,
merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, serta dengan merasa bahagia
ketika berdzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya. (Taslim, 2010).
Sebagaimana yang Allah Swt. SWT dijanjikan dalam QS. Al-Baqarah. 153, Allah
Swt. SWT berfirman:
¨bÎ)
©!$#
yìtB
tûïÎÉ9»¢Á9$#
ÇÊÎÌÈ
“Sesungguhnya
Allah Swt. SWT menyukai orang”yang bersabar”. (QS. Al-Baqarah, 2: 153).
Kemudian ditambahkan oleh ijma para ulama yang berbunyi”barang siapa yang bersabar maka ia akan beruntung”.
Maka benarlah, karena setelah beliau i’tikaf
di sana selama 40 hari. Pada malam hari ke-41 beliau bermimpi bertemu Kiai
Abu Dzarrin seraya berkata kepada Kholil muda, ”Karena niatmu untuk belajar
kepadaku begitu kuat, maka aku berikan kepadamu sebagian dari ilmuku”. Anehnya
ketika terbangun Kholil Muda telah hafal di luar kepala beberapa kitab
diantaranya ‘Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah.
Meski keinginannya untuk belajar kepada Abu Dzarrin tidak terwujud, semangatnya
untuk menuntut ilmu tetap menyala. Kesempatan selama masih berada di Winongan, Kholil
muda nyantri di Pesantren Keboncandi
dan menyempatkan diri untuk belajar kepada Kiai Noer Hasan bin Noer Khotim yang
membuka pengajian kitab-kitab besar seperti Ihya
Ulumuddin, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim. (Bakhri, 2015: 20).
Diceritakan bahwa dalam perjalanan Keboncandi-Sidogiri berjarak sekitar
sembilan kilometer, Syekh Kholil menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki
karena pada waktu itu kendaraan satu-satunya adalah dokar atau delman belum ada
kendaraan bermesin seperti sekarang. Pada perjalanannya Kholil menamatkan QS. Yasin
sebanyak 41 kali begitu pula sewaktu dalam perjalanan pulang. (Bakhri, 2015: 21).
Tirakat dalam bahasa Arab disebut Riyadhah,
atau dalam bahasa Indonesia disebut batin, yaitu suatu usaha mengolah batin
seseorang dengan jalan laku ritual tertentu supaya apa yang dicita-citakan
diberi kemudahan atau keberhasilan. Tujuan tirakat dalam supranatural adalah
mengasah. Jika diibaratkan do’a adalah pisau, maka semakin diasah semakin tajam
juga do’a tersebut. Untuk menajamkan do’a itu ada amalan-amalan tertentu yang
perlu dilakukan dan itulah yang disebut tirakat.
Beberapa ulama mengatakan bahwa tirakat dengan surah Yasin memiliki keistimewaan salah satunya seperti yang dikutip
Bakhri (2015: 21), dari kitab Tafsir Ibn
Katsir”Jika surah Yasin dibaca ketika menghadapi kesulitan maka Allah Swt.
akan mempermudahnya. Jika surah Yasin dibacakan untuk orang yang menghadapi
sakaratul maut, maka turunlah rahmat dan berkah serta dapat mempermudah
keluarnya ruh dari jasad”. (Bakhri, 2015: 21).
Mengenai dalil tentang tirakat dengan QS. Yasin ini penulis menemui kesulitan
karena banyaknya hadits palsu dan lemah mengenai itu. Namun ada salah satu
hadits shahih mengenai QS. Yasin, yaitu: bahwa Rasulullah Saw. menyatakan
Yasin adalah hatinya Alquran, jadi menurut penulis wajar bila QS. Yasin
ini dijadikan amalan untuk tirakat karena keutamaannya ini, dan selanjutnya
menurut penulis kembalikan lagi, faedah tirakat dengan surah Yasin ini
kepada niat orang yang mengamalkannya, karena Allah Swt. melihat seseorang
karena niatnya.”Hanyalah pekerjaan itu (tergantung)
kepada niat. Dan sesungguhnya setiap manusia memproleh apa yang diniatkannya”. (HR.
Bukhari).
Selain itu, taat kepada Allah Swt. ditegaskan
dalam firman-Nya:
(#qãèÏÛr&ur
©!$#
tAqߧ9$#ur
öNà6¯=yès9
cqßJymöè?
Dan taatilah Allah Swt. dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali
Imran, 3: 132).
Dalam surah lainnya:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah Swt. dan
taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Swt. (Alquran) dan
Rasulullah Saw. (Sunnah nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa, 4: 59).
Selama hidup di Pesantren, Syekh Kholil terkenal sebagai santri yang rajin
dan sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau
nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai, makan pun kadang harus
memakan nasi basi atau kulit semangka. Walaupun beliau menjalani kehidupan yang
memprihatinkan, namun tidak bagi dirinya sendiri, karena beliau memiliki
kebanggaan dan kenikmatan lezat melebihi makanan dan hidup mewah yaitu
kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. (Haqiqi, 2009: 39).
Syekh Kholil telah sempurna menjalani kesufiannya sehingga dunia bagi
dirinya sudah tiada artinya lagi, makan minum dan berpakaian beliau hanya
seperlunya saja sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada tahap ini, Syekh
Kholil telah menguasai dua fase dalam istilah tasawuf disebut takhalli atau mengosongkan diri dan tahalli (menghias diri). Melalui dua
jalan ini seorang sufi akan mencapai apa yang disebut tajalli atau tampak berbagai rahasia ketuhanan yang tidak dirasakan
oleh manusia pada umumnya. (Bakhri, 2015: xxvii).
Rasulullah Saw. bersabda, ”lihatlah orang yang di bawah kalian dan
janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak
bagi kalian agar kalian tidak memandang hina nikmat Allah Swt. yang dilimpahkan
kepada kalian”. (Muttafaq ‘Alaih)
Allah Swt. Berfirman:
bÎ)ur
y7ó¡|¡ôJt
ª!$#
9hÛØÎ/
xsù
y#Ï©%2
ÿ¼ã&s!
wÎ)
uqèd
( cÎ)ur
x8÷Ìã
9ös¿2
xsù
¨!#u
¾Ï&Î#ôÒxÿÏ9
4 Ü=ÅÁã
¾ÏmÎ/
`tB
âä!$t±o
ô`ÏB
¾ÍnÏ$t6Ïã
4 uqèdur
âqàÿtóø9$#
ÞOÏm§9$#
Jika Allah Swt. menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu,
maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah Swt.
menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus, 10: 107).
Selain mendalami ilmu fiqih, Syekh Kholil juga mendalami ilmu tasawuf, kegemarannya
dapat terlihat ketika beliau nyantri di
Sidogiri untuk mengaji Kitab Tasawuf paling populer, Ihya Ulumuddin, karangan Al-Ghazali kepada Kiai Noerhasan bin
Noerchotim. (Bakhri, 2016: 30).
Karena kegemarannya dalam belajar Ilmu Fiqih dan Tasawuf, Syekh Kholil
menjadi ahli di bidang itu. Dalam dunia psikologi, apabila seseorang melakukan
sesuatu karena rasa suka maka otaknya akan mudah mengingat hal yang disukainya
itu.
Agar bisa semangat dalam belajar, kita perlu tau apa-apa saja penyebabnya, adapun
menurut penulis adalah karena: a. ‘Azzam, apabila seseorang telah ber’azzam
maka tak ada yang bisa menghalangi kemauannya itu, seperti kata Mahfudzot, ”Siapa
yang bersungguh-sungguh pasti akan dapat”; b. Niat, Jika seseorang niat karena Allah
Swt. maka hal-hal yang dapat melemahkan semangat belajar akan hilang; c. Tahu
manfaat dan balasan ilmu bagi seseorang, apabila seseorang telah mengetahui
manfaat dari berilmu maka motivasi untuk belajar akan tinggi. Menurut penulis, pengaruh
yang paling terlihat dari diri Syekh Kholil Bangkalan adalah ‘azzamnya
karena didukung oleh kedua faktor lainnya.
Keinginan/kehendak yang dipilih inilah yang disebut kecenderungan/kemauan
atau iradah. Dengan kata lain iradah atau kehendak atau kemauan
ialah keinginan/kecenderungan yang dipilih di antara kecenderungan yang banyak
setelah bimbang. (Dzatnika, 1996: 51).
Berbeda dengan Amin (1995: 48-49), ia mengemukakan bahwa kehendak ialah
manusia daripadanya timbul segala perbuatan yang hasil dari kehendak dan segala
sifat manusia dan kekuatannya seolah-olah tidur nyenyak sehingga dibangunkan
oleh kehendak. Para ahli berpendapat bahwa keinginan yang menang ialah yang
alamnya lebih kuat, meskipun ia bukan keinginan yang lebih kuat, keinginan yang
menang ialah disebut Rohbah lalu datang ‘azzam atau niat berbuat.
(Amin, 1995: 48-49).
‘Azzam yaitu kemauan keras yang harus dimiliki seorang murid dalam
belajar. Allah Swt. berfirman:
÷É9ô¹$$sù
$yJx.
uy9|¹
(#qä9'ré&
ÏQ÷yèø9$#
z`ÏB
È@ß9$#
wur
@Éf÷ètGó¡n@
öNçl°;
4 öNåk¨Xr(x.
tPöqt
tb÷rtt
$tB
crßtãqã
óOs9
(#þqèVt7ù=t
wÎ)
Zptã$y
`ÏiB
¤$pk¨X
4 Ô÷»n=t/
4 ö@ygsù
à7n=ôgã
wÎ)
ãPöqs)ø9$#
tbqà)Å¡»xÿø9$#
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan
hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan
(azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka
(merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.
(inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan
melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46:
35). (Yaqub, 1983: 160).
Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku manusia adalah
kemauan keras. Itulah yang menggerakan manusia berbuat dengan sungguh-sungguh. (Yaqub,
1983: 73).
Apabila seseorang telah ber’azzam, maka seberat apapun akan ia
lakukan karena dorongannya yang kuat itulah dia jadi terlihat hebat karena
perbuatan yang di’azzamkan biasanya adalah perbuatan yang membutuhkan
perjuangan untuk dilakukan. Misalnya, seseorang yang rela bekerja hingga larut
malam demi cita-citanya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. (Dzatnika, 1996: 48).
Kehidupan para Rasul adalah contoh yang baik dalam ber’azzam. Allah
Swt. berfirman:
÷É9ô¹$$sù
$yJx.
uy9|¹
(#qä9'ré&
ÏQ÷yèø9$#
z`ÏB
È@ß9$#
wur
@Éf÷ètGó¡n@
öNçl°;
4 öNåk¨Xr(x.
tPöqt
tb÷rtt
$tB
crßtãqã
óOs9
(#þqèVt7ù=t
wÎ)
Zptã$y
`ÏiB
¤$pk¨X
4 Ô÷»n=t/
4 ö@ygsù
à7n=ôgã
wÎ)
ãPöqs)ø9$#
tbqà)Å¡»xÿø9$#
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai
keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta
disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan
kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat
pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan
melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46: 35).
Saat Syekh Kholil masih belajar di Pesantren Minhajul Tullab, sudah sejak
lama bercita-cita untuk melanjutkan belajar di Mekkah. Beliau sadar akan
biayanya keberangkatannya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Oleh karena itu, Syekh
mengumpulkan biaya dari upah sebagai pemetik kelapa dengan upah 80 pohon
mendapat 3 sen. (Haqiqi, 2015: 39).
Meskipun sebenarnya Kholil muda berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomian yang cukup berada, ayahnya terbilang sukses dalam usaha pertanian.
Namun beliau tetap saja menjadi oran yang mandiri dan tidak mau merepotkan
orang tuanya. (Wajdi, 2016: 17).
Dari dua keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Syekh Kholil
adalah seseorang yang mandiri, untuk memenuhi keinginannya Syekh Kholil lebih
suka mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja keras. Apa yang beliau lakukan
ini sesuai dengan pengamalan hadits yang artinya, ”Sebaik-baik nafkah adalah
yang berasal dari usahanya sendiri”. (HR. Bukhari). Oleh karena itu, jika apa
yang kita makan atau kita usahakan berasal dari sumber yang baik dan halal, maka
baik pula apa yang ada di dirinya, Allah Swt. Swt berfirman:
$ygr'¯»t
â¨$¨Z9$#
(#qè=ä.
$£JÏB
Îû
ÇÚöF{$#
Wx»n=ym
$Y7ÍhsÛ
wur
(#qãèÎ6®Ks?
ÏNºuqäÜäz
Ç`»sÜø¤±9$#
4 ¼çm¯RÎ)
öNä3s9
Arßtã
îûüÎ7B
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah,
2: 168).
Ketika Syekh Kholil berusia 40 tahun dan tabungannya telah cukup untuk
perbekalan berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu, Syekh Kholil mengutarakan
niatnya tersebut kepada orang tuanya terlebih dahulu. (Bakhri, 2015: 26).
Derajat orang tua begitu tinggi hingga keridhaan Allah Swt. bergantung
dari ridha Orang Tua. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: ”Ridha Allah
Swt. tergantung pada ridha Orang Tua dan murka Allah Swt. tergantung pada murka
orang tua”. (HR. Hasan At-Tirmidzi).
Dalam Alquran Allah Swt. berfirman:
4xsù
@à)s?
!$yJçl°;
7e$é&
wur
$yJèdöpk÷]s?
@è%ur
$yJßg©9
Zwöqs%
$VJÌ2
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan”ah”dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (QS. Al-Isra’, 17: 23).
Perjalanan Syekh Kholil Bangkalan ke Mekah adalah untuk menuntut ilmu, perjalanan
ke Mekkah zaman dulu tidak seperti sekarang yang hanya bisa ditempuh dalam
waktu 10 sampai 11 hari menggunakan pesawat terbang. Sementara zaman Syekh
Kholil hanya ada kapal laut dan itu membutuhkan waktu 3 – 4 bulan, supaya
tujuannya tercapai maka Syekh Kholil memperbanyak puasa sunnah dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah Swt.. (Bakhri, 2015: 28)
Setelah beberapa tahun Syekh Kholil belajar di Mekkah, Syekh berniat untuk
mengamalkan ilmunya (sebagian pendapat mengatakan bahwa kepulangan Syekh Kholil
adalah suruhan gurunya untuk mengamalkan ilmu di tanah air dan suruhan itu
berlaku kepada dua teman Kholil yang lain namun hanya Kholil yang patuh kepada
gurunya sedangkan dua temannya melanjutkan belajar ke Mesir. Akhirnya, Ilmu dua
orang yang tidak patuh kepada gurunya menjadi tidak bermanfaat sedangkan Kholil
telah menjadi Ulama Besar). Menurut Usman yang dikutip oleh Bakhri, Syekh
Kholil tidak langsung mengajar akan tetapi masih memikirnya caranya mengajarkan
ilmu kepada masyarakat, karena itu, sambil mencari peluang untuk mengamalkan
ilmu, ia bekerja sebagai penjaga di kantor Adipati sebagai penjaga malam. Syekh
Kholil memiliki banyak waktu luang yang dimanfaatkannya untuk membaca kitab, akhirnya
dikenal sebagai seseorang yang ahli membaca kitab. (Bakhri, 2015: 37).
Niat mengajar sepulangnya dari pencarian ilmu yang dilakukan Syekh Kholil
sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS. At-Taubah: 122, Allah Swt. berfirman:
$tBur
c%x.
tbqãZÏB÷sßJø9$#
(#rãÏÿYuÏ9
Zp©ù!$2
4 wöqn=sù
txÿtR
`ÏB
Èe@ä.
7ps%öÏù
öNåk÷]ÏiB
×pxÿͬ!$sÛ
(#qßg¤)xÿtGuÏj9
Îû
Ç`Ïe$!$#
(#râÉYãÏ9ur
óOßgtBöqs%
#sÎ)
(#þqãèy_u
öNÍkös9Î)
óOßg¯=yès9
crâxøts
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122).
Dari ayat ini jelas bahwa
setiap yang menuntut ilmu ada kewajiban untuk mengamalkan ilmunya dan
menyampaikannya kepada orang lain.
Syekh Kholil bukanlah seseorang yang terburu-buru untuk mengajarkan ilmunya
melainkan dicari dulu ilmunya agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal
ini sesuai dengan hadits: ”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka
wajib baginya memiliki ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan
akhirat maka wajib baginya memiliki ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan
keduanya, maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Tirmidzi). Juga hadits
tentang terburu-buru adalah sifat setan, ”Tergesa-gesa adalah termasuk
perbuatan syetan”. (HR. Thirmidzi).
2.
Akhlak Murid kepada Guru
Untuk belajar dari seseorang Syekh Kholil tidak sembarangan
memilih guru, itu terbukti dari guru-guru yang dipilihnya seperti Abu Dzarrin, Kiai
yang dikenal alim dan pakar tata bahasa Arab, Kiai Noerhasan bin Noerkhotim
seorang alim pengajar Kitab besar seperti Kitab Ihya Ulumuddin, Shahih Bukhari,
dan Shahih Muslim. (Bakhri, 2016: 16,
20).
Rasulullah
Saw. bersabda yang artinya, ”Sesungguhnya di antara tanda hari kiamat adalah, ilmu
diambil dari orang – orang kecil (yaitu ahli bid’ah)”(HR. Ibnul Mubarak).
Berikut adalah perkataan ulama yang dikutip oleh Atsari (2009) yang berkaitan
dengan hal tersebut: Ali bin Abi Thalib berkata, ”Perhatikan dari siapa kamu
mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama”. Abdullah bin Mas’ud
juga mengatakan, ”Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu
mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad dan dari orang-orang besar (tua)
mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah)
mereka, dan hawa nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa”.
Ketika berada di perantauan
(Mekkah) saat menuntut ilmu, Pemikiran dan cara hidup Syekh Kholil banyak
dipengaruhi oleh ajaran sufi Imam Al-Ghazali, seorang sufi yang dikaguminya. Selama
Syekh Kholil menimba ilmu di Mekkah, Syekh Kholil mengamalkan ajaran ngerowot (vegetarian) yang juga
dipraktekkan oleh Al-Ghazali, Syekh Kholil menghindari makan daging dan hanya
makan buah-buahan. (Bakhri, 2015: 30).
Sebagaimana yang dikutip
Bakhri dari Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa murid
harus menanggalkan pikirannya sendiri demi mematuhi petunjuk sang guru, khususnya
mengenai hal-hal yang terkait dengan metode pembelajaran dan penempaan diri. Jika
guru memberi petunjuk mengenai cara belajar, maka ikutilah dan tinggalkan
pikiranmu sendiri. Kesalahan guru pembimbing lebih bermanfaat bagi murid
daripada pendapatnya sendiri meskipun benar”. (Bakhri, 2016: xxx).
Ibnu Qayyim menjelaskan
bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah Swt. hanya satu, yaitu
sebagaimana Firman Allah Swt. Swt:
`tBur
È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$#
.`ÏB
Ï÷èt/
$tB
tû¨üt6s?
ã&s!
3yßgø9$#
ôìÎ6Ftur
uöxî
È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR
$tB
4¯<uqs?
¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_
( ôNuä!$yur
#·ÅÁtB
Dan Barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa, 4: 115).
Dan dalam
Firman Allah Swt. yang lain:
÷bÎ*sù
(#qãZtB#uä
È@÷VÏJÎ/
!$tB
LäêYtB#uä
¾ÏmÎ/
Ïs)sù
(#rytG÷d$#
( bÎ)¨r
(#öq©9uqs?
$oÿ©VÎ*sù
öNèd
Îû
5-$s)Ï©
( ãNßgx6Ïÿõ3u|¡sù
ª!$#
4 uqèdur
ßìÏJ¡¡9$#
ÞOÎ=yèø9$#
ÇÊÌÐÈ
Maka jika
mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka
telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada
dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah Swt. akan memelihara kamu
dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2: 137).
Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa jalan itu hanya sattu
dan jalan yang lain adalah bid’ah. Wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti
cara dan jalannya orang beriman. Berdasarkan pemaparan di atas bahwa Syekh
Kholil mengikuti jejak Al-Ghazali yang mana ia telah adalah seorang sufi. Maka
mengikutinya telah selaras dengan Alquran dan Hadits.
Selama belajar, Syekh Kholil yang memiliki sikap Tawaddhu’
kepada guru. Guru termasuk seseorang yang harus dimuliakan sehingga ia rela
jadi pembantu untuk gurunya, apa yang ia lakukan kepada gurunya, maka kebaikkan
itu akan kembali kepada dirinya, disamping mencari kebarokahan dalam menuntut
ilmu beliau juga mengharapkan keridhaannya. Sebagaimana dalam hadits Rasulullan
Saw. artinya, ”Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang
lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama”. (HR.
Ahmad dan dishahihkan Al-Bani dalam Shahih
Jami’).
Syekh Kholil adalah putra
dari ulama ternama di Madura yaitu KH. Abdul Latief, ditempatnya Syekh Kholil
dipanggil dengan panggilan istimewa”Lora”,
namun Syekh Kholil sadar bahwa dalam menuntut ilmu tidak akan berhasil tanpa
bersikap Tawaddhu’ kepada gurunya. Maka ia rela menjadikan dirinya Khadam atau pembantu bagi gurunya dan
melepaskan”Lora”nya. (Bakhri, 2015: 57).
Merendahkan diri di
hadapan guru atau ahli ilmu (ulama) merupakan salah satu tatakrama yang harus
dipegang oleh orang yang sedang menuntut ilmu. Sayyidina Ali bin Abi Thalib
pernah berkata, ”Engkau harus hormat dan takzim
kepada orang-orang alim dengan niat ikhlas untuk Allah Swt.”. Seorang yang
ingin mendapatkan ilmu ia harus merendahkan hati, sebab jika ia merasa tinggi, maka
ia enggan untuk mempelajari apapun dari orang lain.”Ilmu tidak bisa didapat
kecuali dengan cara merendahkan hati”, demikian kata Al-Ghazali. (Bakhri, 2015:
61).
Seperti yang disampaikan Wajdi (2016: 71), ”Hampir seluruh umurnya ia
habiskan untuk berdakwah dan mengajar para santri, karena keikhlasannya
menyebarkan ilmu agama, Allah Swt. mengangkat derajatnya dan mengaruniainya
berbagai kenikmatan”.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa seseorang akan memperoleh
apa yang diniatkannya dan niat mengajar Kholil adalah mengharapkan keridhaan Allah
Swt., karena niat itulah Syekh menjadi seorang Waliyullah dan hamba yang
disayangi Allah Swt.. WAllah Swt.u’alam.
3.
Akhlak Sebagai Guru
Syekh Kholil memberikan metode atau cara mengajar yang mudah dipelajari
oleh orang yang belajar kepadanya bahkan terkesan sepele. Ini terjadi ketika
Syekh Kholil sedang mengajarkan kitab Jurmiyah
kepada santrinya, hal tak terduga terjadi ketika tiba-tiba datang para
petani mereka mengeluh seraya berkata, ”Tolonglah Kiai, berikan kami do’a agar
kami tahu apa penyebab hilangnya timun-timun itu!”, mata Syekh Kholil mengarah
kepada suatu kalimat dari kitab yang baru diajarkannya dan mendapati kata”Qaama Zaidun”yang artinya Zaid berdiri. Kemudian
Syekh Kholil berkata, ”Karena pelajaran kita telah sampai pada qaama zaidun,
maka do’anya ini saja”. Para petani pun wirid dengan do’a itu meskipun tidak
mengerti apa arti kalimat ini. Esoknya, mereka menyaksikan pencuri timun itu
sudah berdiri kaku di tempat masing-masing. (Wajdi, 2016: 69-70).
Dari peristiwa di atas ketika Syekh Kholil sedang sibuk mengajar maka
didatangi para petani. Memperhatikan apa yang dikeluhkan petani menunjukkan
kepeduliannya terhadap masyarakat dan meskipun beliau berilmu tinggi, namun
beliau memberikan solusi yang mudah dilakukan bagi para petani tersebut.
Beliau mengamalkan apa yang disabdakan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan
oleh Muslim: ”mudahkanlah, janganlah mempersulit dan berikanlah kabar gembira
dan janganlah membuat manusia lari”, dan hadits lain”Barang siapa yang
melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah Swt. akan melepaskan
darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah
urusan orang lain, pasti Allah Swt. akan memudahkannya di dunia dan di akhirat”(HR.
Muslim).
Begitupun dalam firman Allah Swt.:
. .
. . . . 3 ßÌã
ª!$#
ãNà6Î/
tó¡ãø9$#
wur
ßÌã
ãNà6Î/
uô£ãèø9$#
(#qè=ÏJò6çGÏ9ur
no£Ïèø9$#
(#rçÉi9x6çGÏ9ur
©!$#
4n?tã
$tB
öNä31yyd
öNà6¯=yès9ur
crãä3ô±n@
. . . . . Allah Swt. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah Swt. atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah, 2: 185).
Suatu ketika saat Syekh Kholil menyuruh seseorang untuk
menjemput tamu yang terjebak hujan lebat dan tamunya itu tidak bisa berjalan. Namun
seseorang yang disuruh itu tidak mau melakukannya, berbeda dengan Hasyim
Asy’ari yang merupakan salah satu murid Syekh Kholil, setelah Hasyim mendengar
kabar itu, ia mengajukan diri kepada Syekh Kholil untuk menjemput tamunya itu
dan menggendongnya. Lalu Syekh Kholil berkata, ”Ilmu saya nantinya akan
digendong oleh Hasyim Asy’ari ke Jombang”. (Bakhri, 2015: 44).
Ilmu yang diajarkan Syekh Kholil bukan saja ilmu teori akan tetapi juga
beliau mendidik sikap sosial kepada muridnya. Kepatuhan seorang santri dan rasa
sosial yang diajarkan Syekh Kholil telah melekat dalam diri Santrinya tentu
bukan hal yang mudah sehingga Hasyim memiliki rasa sosial yang tinggi, menurut
saya kepatuhan dan rasa sosial yang dimiliki seorang murid tidak lepas dari
akhlak gurunya yang telah memberikan suri tauladan yang baik. Dalam Islam
sendiri akhlak disejajarkan dengan Islam, bukan Islam namanya apabila ilmu yang
ia miliki hanya sebatas teori tanpa pengamalan.
Allah Swt. berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
zNÏ9
cqä9qà)s?
$tB
w
tbqè=yèøÿs?
ÇËÈ uã92
$ºFø)tB
yYÏã
«!$#
br&
(#qä9qà)s?
$tB
w
cqè=yèøÿs?
2.
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak
kamu kerjakan?. 3. Amat besar
kebencian di sisi Allah Swt. bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan. (QS. Ash-Shaff, 61: 2-3).
Islam adalah agama akhlak bukan agama teori, bila seseorang memiliki ilmu
tanpa diamalkan maka tak ada bedanya dengan orang yang tak berilmu, dan ilmunya
menjadi sia-sia. Rasulullah Saw. Saw, bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR.
Ahmad).
Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya, ”Siapa yang tidak mempunyai rasa
kasih sayang kepada manusia, niscaya tidak pula dikasihi oleh Allah Swt. (HR. Bukhari
dan Muslim). (Yaqub, 1983: 158).
Dalam mengajar, Syekh Kholil menggunakan metode yang ketat sebagaimana
seperti yang diungkapkan Bakhri bahwa Syekh Kholil tidak memperkenankan
santrinya untuk pulang kampung sebelum hafal seribu bait nadzam Alfiyah. (Bakhri, 2015: 48).
Dibalik ketatnya pendidikan yang diberikan Syekh Kholil kepada anak
didiknya seperti ada rasa tanggung jawab pada diri Syekh Kholil terhadap
pendidikan anak didiknya, yang santri lakukan hanya harus patuh kepada gurunya,
karena guru pasti mempunyai tujuan yang baik meskipun santri tidak tahu maksud
dibalik tujuannya itu. Meski tidak diketahui tujuan pasti, cara mendidik Syekh
Kholil itu telah melahirkan banyak santri yang hebat. Syekh Kholil sebagai guru
bertanggung jawab kepada anak didiknya sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., ”Tiap-tiap
kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas
kepemimpinannya”. (Baqi, 1993: 562-563).
Syekh juga adalah seorang yang penuh hikmah sebagaimana diceritakan oleh
Wajdi bahwa suatu ketika ada seorang santri yang tidak melaksanakan Shalat
Subuh, lalu Syekh Kholil mencarinya. Setelah ditemukan santri tersebut, tanpa
ditanya terlebih dahulu (karena sudah tahu) santri tersebut langsung dihukum
agar mencari dua rumpun bambu dengan menggunakan pisau kecil. Santri itu pun
menuruti perintah kiainya, setelah selesai menyelesaikan hukumannya, Syekh
kemudian menghukum kembali dengan mengharuskan santri tersebut menghabiskan
senampan nasi. Setelah semua hukuman selesai dilaksanakan Syekh Kholil berkata,
”Aku telah memberikan sebagian ilmuku kepadamu, sekarang pulanglah”. Ajaibnya, tidak
lama setelah itu santri tersebut menjadi kiai yang alim di kampungnya. (Wajdi, 2016:
97).
Dari kisah di atas Syekh Kholil mengajarkan kepada kita bahwa untuk menjadi
guru yang bijak tidak selalu menghukum dengan hal yang berat akan tetapi bisa
juga dengan memberi makanan kepada murid yang sedang kita hukum, dan mendo’akan
hal yang baik-baik kepada santri tersebut.
Firman Allah Swt.:
äí÷$#
4n<Î)
È@Î6y
y7În/u
ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
( Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd
ß`|¡ômr&
4 ¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr&
`yJÎ/
¨@|Ê
`tã
¾Ï&Î#Î6y
( uqèdur
ÞOn=ôãr&
tûïÏtGôgßJø9$$Î/
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q. S An-Nahl, 16: 125).
Sehubungan dengan ayat ini, khatib perlu berlaku bijaksana dalam
berdakwah, antara lain: menyederhanakan perkataan sehingga mudah dimengerti, sopan,
ringkas dan tepat dalam pembicaraan. (Yaqub, 1983: 159).
Dalam mengajar, Syekh Kholil tidak hanya mengajarkan ilmu eksoterik atau lahiriyah, tetapi Syekh
Kholil juga mendidik santrinya dengan ilmu esoterik
atau batiniyah. Ilmu batin yang
dimaksud di sini bukanlah ilmu kanuragan melainkan ilmu tasawuf. Sebagaimana
diketahui, selain memiliki kecenderungan mendalami ilmu fiqih dan Ilmu Tata
Bahasa Arab, beliau juga memiliki kecenderungan terhadap ilmu tasawuf, karena
itu Syekh juga mendidik batin santrinya dengan membiasakan santrinya untuk
bangun malam untuk melaksanakan istighasah
yang diisi dengan berbagai macam aktifitas seperti shalat malam, dzikir, dan
membaca Alquran.
Dari cerita di atas terlihat jelas bahwa Syekh Kholil Bangkalan mengajarkan
ilmu dengan seimbang antara ilmu lahiriyah dengan bathiniyah. Ilmu lahiriyah
bisa juga berarti ilmu-ilmu yang nampak atau bersifat duniawi sedangkan ilmu
batiniyah adalah ilmu-ilmu yang tak terlihat tetapi bisa dirasakan di dalam
hati, ilmu batiniyah bisa juga berarti ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akhirat.
Sebagaimana Firman Allah Swt. :
Æ÷tGö/$#ur
!$yJÏù
9t?#uä
ª!$#
u#¤$!$#
notÅzFy$#
( wur
[Ys?
y7t7ÅÁtR
ÆÏB
$u÷R9$#
( `Å¡ômr&ur
!$yJ2
z`|¡ômr&
ª!$#
øs9Î)
( wur
Æ÷ö7s?
y$|¡xÿø9$#
Îû
ÇÚöF{$#
( ¨bÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Swt.
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
Swt. telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. (QS. Qashash, 28: 77).
Addariny berpendapat bahwa Allah Swt. memerintahkan
kita agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah Swt. berikan, untuk meraih
kemuliaan akhirat. Simpelnya: Korbankanlah duniamu, untuk meraih akhiratmu. Lalu
Allah Swt. mengatakan jangan lupakan bagianmu, yakni bagian kecil dari dunia. Jelaslah
bahwa kita harusnya mementingkan akhirat bukan dunia. Makanya Allah Swt.
berfirman:
$tBur
àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56).
Sebagai guru yang melahirkan banyak tokoh Ulama di Indonesia, Syekh Kholil
Bangkalan memiliki metode pendidikan yang unik. Terkadang metode tersebut
diterapkannya tidak bisa dinalar. Namun, cara tersebut sukses melahirkan hasil
yang hebat. Santri-santri yang mematuhi apa yang beliau perintahkan biasanya
kelak menjadi ulama hebat yang memiliki pengaruh yang besar di masyarakat. Syekh
Abdul Qadir Jailani pernah berkata”Barang siapa ingin menjadi baik, maka
jadilah tanah di bawah telapak kaki para guru”tentunya bukan guru sembarangan, di
sini Syekh mengibaratkan murid dengan tanah, maksudnya adalah bahwa guru
sebagai pembimbing harus memberikan arahan kepada muridnya dan murid harus
patuh kepada guru karena guru yang baik tidak akan pernah menjerumuskan. (Bakhri,
2016: xxx-xxxi)
Dikisahkan Syekh Kholil Bangkalan sedang berjalan-jalan menyusuri jalanan
di Madura. Ketika itu Syekh Kholil melihat seseorang terkapar di tepi jalan. Orang-orang
yang melihat tidak ada yang mau menolong karena laki-laki itu adalah seorang
pemabuk. Mengetahui hal itu, Syekh menolong laki-laki itu seraya berkata, ”Orang
ini bukan mabuk, tetapi jadzab kepada
Allah Swt.”. (Bakhri, 2015: 63).
Jadzab atau dalam arti lain yaitu suatu kondisi di mana orang sedang mabuk
kepayang kepada Allah Swt.. Sikap Syekh Kholil tak terduga karena ia bersikap
beda dari kebanyakan orang. Ketika orang yang mabuk dianggap sedang mabuk
kepayang kepada Allah Swt. di situlah kita bisa melihat kesucian hati beliau
dari sifat-sifat iri, dengki, atau merasa paling suci, ia menyerahkan urusan
hati kepada Allah Swt. sebagai manusia yang ia lakukan adalah bersikap
manusiawi terhadap manusia. Allah Swt. Swt berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qç7Ï^tGô_$#
#ZÏWx.
z`ÏiB
Çd`©à9$#
cÎ)
uÙ÷èt/
Çd`©à9$#
ÒOøOÎ)
( wur
(#qÝ¡¡¡pgrB
wur
=tGøót
Nä3àÒ÷è/
$³Ò÷èt/
4 =Ïtär&
óOà2ßtnr&
br&
@à2ù't
zNóss9
ÏmÅzr&
$\GøtB
çnqßJçF÷dÌs3sù
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
4 ¨bÎ)
©!$#
Ò>#§qs?
×LìÏm§
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah Swt.. Sesungguhnya
Allah Swt. Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Hujurat, 49: 12).
Dari ayat di atas Allah
Swt. memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka, karena sebagian
dari prasangka itu adalah dosa, maka jauhilah prasangka dalam rangka
kehati-hatian. Dalam hadits Rasulullah Saw. bersabda, ”Cukuplah seseorang dari
kejelekkan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim bagi
muslim lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah Swt.
melihat ke tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke
hati-hati dan amalan kalian”. (HR. Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482).
Dikutip dari kitab Tafsir Ibnu Katsir (t.t.: 291), bahwa Amirul
Mukminin Umar bin Khatab Ra. beliau berkata, ”Jangan sekali-kali engkau
berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu
yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut”.
D. Materi Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan
Menurut Syekh Kholil Bangkalan, materi
pengajaran yang diberikan di pesantren Tebuireng adalah lebih menitikberatkan
kepada ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Namun setelah ada perubahan sistem
pendidikan yang ada di pesantren Bangkalan Madura, maka materi yang
diajarkan dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Materi-materi yang bersifat keagamaan dengan mengunakan
buku-buku yang ditulis dengan bahasa Arab atau bahasa Alquran, misalnya seperti
Alquran, Nahwu Sharaf, Ushul fiqh, Hadits, Kitab Kuning, dan lain-lain yang
berhubungan dengan materi-materi keagamaan.
2.
Kedua adalah materi yang
bersifat umum, Syekh Kholil tidak lepas dari belajar Ilmu Umum sebagaimana yang
diterangkan Bakhri bahwa ilmu yang dipelajari Syekh Kholil sejak remaja misalnya
Matematika, Sejarah, Tata Cara Menulis Huruf Arab. (Bakhri, 2015: 13).
Dimasukkannya Ilmu Umum
dalam belajar itu kemudian diikuti oleh murid Syekh Kholil yaitu Kiai Hasyim
Asy’ari dalam mengembangkan Pesantren Tebuireng pada tahun 1929 yang pada waktu
itu belajar ilmu umum dianggap sebagai kemungkaran, budaya Belanda dan semacamnya.
Namun, madrasah ini tetap berjalan karena beranggapan bahwa Ilmu umum akan
sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren. (Wikipedia, 2017).
Hal ini diperkuat oleh
Bruinessen bahwa materi-materi yang digunakan oleh Syekh Kholil yang berupa non-keagamaan
yaitu buku-buku yang ditulis dengan bahasa latin, misalnya seperti membaca dan
menulis bahasa latin, bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah Indonesia, dan ilmu
hitung. (Bruinessen,
1995: 126-128).
Selain membekali santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik)
yang sangat ketat- santrinya juga tidak diperbolehkan boyong (pulang
kampung) sebelum hafal seribu nadzam Alfiyah Ibn Malik. Dalam
setiap dakwahnya maupun dalam menerima pengaduan permasalahan selalu dikaitkan
dengan bait Alfiyah Ibn Malik, jika seseorang menanyakan soal aqidah,
maka Syekh Kholil menjawab dengan bait Alfiyah, begitupun dengan
permasalah tasawuf dan fiqih beliau menjawab dengan bait-bait Alfiyah. Bahkan
pernah terjadi suatu ketika Syekh Kholil berada dalam suatu undangan, beliau
memakan makanan langsung menggunakan tangannya tanpa menggunakan sendok lantas
menuai kritikkan dari orang lain, langsung saja dengan senyuman Syekh
menjawabnya dengan bait-bait Alfiyah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
isi dari Alfiyah bisa mencakup berbagai solusi dari berbagai masalah
yang timbul kehidupan mulai dari masalah yang sepele sampai yang rumit
sebagaimana yang dicontohkan dalam kehidupan Syekh Kholil Bangkalan. Selain itu,
beliau juga menggembleng santrinya dengan ilmu batin (Esoterik). (Bakhri,
2015: 80).
E. Analisis Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan
Tentang Pendidikan Akhlak dan Relevansinya dalam Pengembangan Pendidikan Akhlak.
Pada dasarnya Pendidikan bukan hanya proses
transfer ilmu pengetahuan saja yang menciptakan peserta didik yang mampu
mengembangkan sisi kognitif-nya saja, tetapi juga pendidikan bertugas
untuk mampu mengembangkan kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Serta yang
paling penting dalam Pendidikan Agama Islam adalah mampu membuat peserta didik mengetahui
hakikat penciptaannya sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah hanya
kepada Allah Swt. Swt yang dibuktikan dengan perilaku yang baik, baik itu
kepada Allah Swt. Swt, Rasulullah Saw. Saw, Dirinya sendiri, Sesama Manusia dan
Makhluk lainnya.
Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi
hamba Allah Swt. yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri
kepadanya. (Athoullah, 2005: 68-71).
Sementara itu Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, mengatakan bahwa
pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah
menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah tujuan sebenarnya
dari pendidikan. Selanjutnya Al-Attas mengatakan bawa tujuan pendidikan Islam
adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa
pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah Swt..
Dari tujuan
pendidikan tersebut di atas, dapat digaris bawahi bahwa salah satu tujuan
pendidikan adalah untuk menjadikan peserta didik memiliki akhlak yang mulia. Itu
artinya diharapkan setelah peserta didik menyenyam pendidikan akan tercipta
perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sebagai cerminan tujuan pendidikan
yang paling utama yaitu iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Ilmu
pendidikan dalam berbagai
literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan
tercapainya tujuan pendidikan. Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan akhlak tersebut, maka seluruh aspek pendidikan lainnya,
yakni materi pelajaran, guru, metode, sarana dan sebagainya harus berdasarkan
ajaran Islam.
1.
Analisis Pemikiran
Syekh Kholil Bangkalan Tentang Pendidikan Akhlak
Secara keseluruhan Akhlak
Syekh Kholil Bangkalan sesuai dengan pendapat Consuelo dan Umary mengenai
Akhlak Mahmudah dalam Pendidikan yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Akhlak
dalam Belajar, Akhlak Murid Kepada Guru, dan Akhlak Guru dalam mengajar. Adapun
rinciannya Akhlak Syekh Kholil adalah sebagai berikut:
a.
Akhlak Murid
dalam Belajar: 1) Niat karena Allah Swt.; 2) Belajar dengan kurikulum Salafiyah;
3) Memiliki semangat yang tinggi dalam belajar; 4) Membersihkan hati dari
berbagai gangguan keimanan dan keduniawian; 5) Pelajari pelajaran yang telah
diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); 6) Tidak menunda-nunda kesempatan
belajar; 7) Sabar dan Qana’ah; 8) Menyederhanakan makan dan minum; 9)
Bersikap hati-hati (wara’); 10)
Mandiri;
b.
Akhlak Murid
kepada Guru: 1); Berhati-hati dalam memilih guru; 2) Patuh kepada Guru;
3) Mengikuti jejak guru; 4) Memuliakan guru; 5) Memperhatikan apa yang menjadi
hak guru; 6) Menjadi pembantu Guru.
c.
Akhlak Seorang
Guru: 1) Berniatlah ibadah ketika dalam mengajar ilmu kepada anak didik; 2)
Menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah Swt. dan Rasulullah; 3) Biasa
menambah ilmu dengan membaca Kitab; 4) Ramah, lemah lembut, jelas, tegas dan
lugas serta tidak diskriminasi; 5) Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam; 6) Menghindari ketidak ikhlasan
dan mengejar keduniawian; 7) Menggunakan metode yang mudah dipahami oleh murid;
8) Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; 9) Memberikan
latihan-latihan yang bersifat membantu. 10) Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah
Swt. (taqarrub ila Allah Swt. ); 11) Senantiasa takut kepada Allah Swt. ;
12) Senantiasa tenang dan khusu’; 13) Tidak menggunakan ilmunya untuk
meraih keduniawian semata; 14) Ketat dan tanggung jawab; 15) pemaaf.
Dari sekian banyak Akhlak
mulia Syekh Kholil di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa Pemikiran Syekh
Kholil tentang Pendidikan Akhlak ada dua yaitu pertama, Syekh Kholil menerapkan
Belajar sepanjang hayat, dan kedua adalah Integritas atau teladan, yaitu
bersatunya antara ilmu yang dimilikinya dengan perilakunya, singkatnya apa yang
Syekh Kholil lakukan selalu sesuai dengan apa yang diucapkannya.
2.
Relevansi Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak
terhadap Pendidikan Kontemporer
Dalam perkembangan
Pendidikan Akhlak menurut penulis pemikiran Syekh Kholil
Bangkalan sangat relevan sekali atau sangat keterkaitan dengan Pendidikan
Akhlak, karena
tokoh tersebut bukan hanya berpandangan tentang Pendidikan Akhlak saja tapi
lebih secara keseluruhan atau menyeluruh mulai dari Definisi Pendidikan Akhlak,
Tujuan Pendidikan Akhlak, Dasar Pendidikan
Akhlak, Sistem Pendidikan Akhlak, dan materi Pendidikan Akhlak.
Dilihat dari segi nilai Tujuan Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan
selalu mengedepankan kepada akhlak yang bermoral baik, keras kemauan, sopan
dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna,
sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci yang berlandasan Alquran dan Hadist.
Dari segi nilai Dasar Pendidikan Akhlak lebih kepada Alquran dan Sunah
karena menurut Syekh Kholil Bangkalan Alquran dan Sunah adalah sumber kebaikan
manusia untuk melakukan budi pekerti yang baik, moral yang baik, dan sopan
santun yang baik dengan adanya Alquran dan Sunah selalu dituntut untuk
melakukan kebaikan dan dituntut untuk tidak melakukan sesuatu yang menyimpang
dari ajaran Islam itulah sebabnya Alquran dan Sunah dijadikan sumber pokok dari
ilmu pendidikan akhlak oleh Syekh Kholil Bangkalan.
Dilihat dari segi Sistem Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan lebih
menitikberatkan kepada Akhlak Murid dalam Belajar, Akhlak Murid terhadap Guru
dan Akhlak seorang Guru yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kemudian dilihat dari segi Materi Pendidikan Akhlaknya lebih kepada
bersifat keagamaan dengan mengunakan buku-buku yang ditulis dengan bahasa Arab
atau bahasa Alquran, misalnya seperti Alquran, bahasa Arab, Ushul Fiqh, Hadits,
Kitab kuning dan lain-lain yang berhubungan dengan materi-materi keagamaan.
Menurut penulis
pandangan tokoh tersebut dalam pendidikan akhlak patut untuk di pedomani, karena
pandangan tokoh tersebut dalam pendidikan akhlak sesuai dengan syariat Islam
atau dengan Alquran dan Sunah. Dari definisi pendidikan akhlak dari pandangan
Syekh Kholil Bangkalan menurut penulis itu sangat patut kita teladani karena
pandangan tokoh tersebut mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan akhlak
karena jikalau tidak ada beliau yang
menyebarkan pendidikan akhlak melalui murid-muridnya maka tidak ada
tokoh-tokoh pembaharu yang menyebarkan pendidikan akhlak karena tokoh-tokoh
pembaharu yang menyebarkan pendidikan akhlak di negara Indonesia adalah
murid-muridnya Syekh Kholil Bangkalan, salah satu
muridnya yang biasa kita kenal adalah KH. Hasyim Asy’ari seorang juru kunci lahirnya NU, Ormas Islam terbesar di
Indonesia.
Lebih lanjut lagi selain itu, fungsi dan tujuan
pendidikan tertuang dalam Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3
yaitu:
Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang martabat, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Sedangkan menurut Tatang Syarifudin (2006: 34), mengatakan:
”tujuan pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Berakhlak Mulia, Sehat, Cerdas, Berperasaan, Berkemauan dan mampu
mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya”.
Dalam perkembangan pendidikan akhlak Syekh Kholil Bangkalan menurut penulis
sangat kuat sekali keterkaitannya dengan pendidikan akhlak kontemporer karena
sudah jelas dengan penjelasan di atas. Bahwa tokoh tersebut tidak hanya
berpandangan tentang pendidikan akhlak saja tapi lebih secara keseluruhan atau
menyeluruh mulai dari definisi pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, dasar
pendidikan akhlak, sistem pendidikan akhlak, dan materi pendidikan akhlak.
Dari kelima konsep
pendidikan akhlak tersebut, sudah dipastikan bahwa pandangan tokoh tersebut
dapat dikembangkan menjadi pendidikan akhlak yang
universal atau secara keseluruhan. Oleh karena itu, penulis
membuat
judul skripsi ini, karena akhlak di jaman modern sekarang sudah semakin memudar,
dimulai dari pelecehahan, tindakan kriminal, pencurian, korupsi, terorisme, bahkan ada yang rela menjual harga dirinya
sendiri demi kepuasan sendiri atau uang.
Lalu
kenapa hal itu bisa terjadi, bukankah sekarang sudah banyak pesantren-pesantren
atau sekolah-sekolah madrasah yang akan memicu timbulnya akhlak kebaikan di dalam
hati seorang muslim? Itulah lemahnya pendidikan Islam di Indonesia, kenapa hal
itu bisa terjadi karena para orang tua hanya menyerahkan pendidikan anak-anaknya
kepada suatu lembaga, pesantren-pesantren atau sekolah-sekolah saja padahal
yang lebih penting untuk mendidik seorang anak agar menjadi anak yang ber-akhlakul
karimah
adalah orang tuanya itu sendiri.
Karena di
lembaga - lembaga, sekolah-sekolah atau pesantren-pesantren
hanya memfasilitasi saja, setelah itu terserah muridnya mau memilih
jalan kebaikan atau keburukan, itulah kenapa penulis mengatakan lemahnya
pendidikan akhlak di Indonesia ke pada seorang anak karena di Indonesia sangat
kurang pengawasan terhadap peserta didik oleh guru
maupun orang tuanya sendiri.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian akhirnya
mendapatkan hasil sebagaimana diuraikan dalam kesimpulan berikut:
1.
Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pendidikan
Akhlak adalah sebagai berikut:
a.
Menuntut Ilmu Sepanjang Hayat, yaitu Syekh Kholil rajin
menuntut ilmu sejak kecil bahkan ketika sudah tua tetap menuntut ilmu dengan
mengikuti pengajian murid-muridnya yang telah menjadi Ulama;
b.
Integritas atau keteladanan, yaitu kesesuaian antara yang
dilakukan dengan apa yang diucapkan sehingga beliau menjadi teladan bagi santri
dan masyarakat di sekitar Bangkalan.
2.
Relevansi Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pendidikan
Akhlak terhadap Pendidikan Islam Kontemporer sangat kuat sekali keterkaitannya karena tokoh tersebut bukan hanya
berpandangan tentang Pendidikan Akhlak saja tetapi dari secara keseluruhan
mulai dari definisi Pendidikan Akhlak, Tujuan, Dasar, Sistem, dan Materi
Pendidikan Akhlak selalu
berlandaskan pada Alquran dan Hadits sehingga pemikiran tokoh tersebut dapat
dikembangkan untuk meningkatkan kualitas akhlak manusia.
B.
Saran-saran
Riwayat hidup
seorang tokoh merupakan pelajaran penting bagi kita semua, khususnya penuli
pribadi, dalam meniti jejak yang mereka ambil sehingga bisa mencapai puncak
kejayaan dan mampu memberikan manfaat untuk orang lain. sehingga ketika mereka
meninggal dunia, maka jasa-jasamya akan selalu masih dalam kenangan, namanya
akan selalu harum di belahan dunia ini. Maka oleh karena itu patutlah bagi kita,
generasi muda yang tangguh, kuat mampu mengambil pelajaran yang amat berharga
dan sangat penting.
Tokoh tersebut
merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam Pendidikan Akhlak di Indonesia.
Pemikiran tokoh tersebut menggambarkan totalitas dalam mendidik manusia, totalitas
dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam maupun ilmu-ilmu non-keagamaan
patutlah kiranya sedikit melirik tentang hasil pemikirannya yang cemerlang
sehingga kita bisa meniru dan meniti buah pikirannya itu, terutama tentang
Pendidikan Akhlak.
Penulis
ingin mengucapkan alhamdulillah kepada Allah Swt. yang telah memberikan jalan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
selalu tercurah kepada Rasulullah Saw. Saran dari penulis adalah jangan lupakan
sejarah dan kisah para leluhur kita yang telah banyak berjasa agar kita bisa
terus mengambil pelajaran dan sisi positif darinya sehingga bisa dijadikan
pedoman untuk perbaikan di masa mendatang serta agar generasi penerus dapat
mengetahui bahwa mereka pernah ada dengan berjuta kisah inspiratifnya.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya untuk penulis dan umumnya
kepada semua yang membacanya, semoga bisa dijadikan bahan bandingan, dan acuan
untuk mencapai suatu pendidikan yang berkualitas. Penulis menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu pantas kiranya
mengharapkan kritik dan saran pembaca dalam rangka perbaikan karya ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Ibnu Rusn (1998). Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Achmadi, Abu (2008). Ideologi
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al Atsari, Abu Isma’il Muslim (2009). Jangan Mengambil
Ilmu Dari Ahli Bid’ah. http: //almanhaj. or. id/2601-jangan-mengambil-ilmu-dari-ahli-bidah.
html. diakses tanggal 30 Agustus 2017
Amin,
Ahmad (1995).
Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Anonimous (2003). Undang-undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kloang Klede Putra Timur.
Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Asmaran (1994). Pengantar
Studi Akhlak. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Athoullah,
Ahmad (2005). Antara
Ilmu Akhlak dan
Tasawuf. Banten: Rajawali Pers.
Bakhri, Mokh. Syaiful
(2015). Maha
Guru Pesantren, kisah perjalanan
hidup ulama lagendaris. Madura: Erlangga.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul (1993). Al-Lu’lu’ Wal Marjan. Semarang: Ar-Ridha.
Bungin, Burhan (2007). Metodologi
Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Consuelo G. Sevilla (1993). Pengantar Metode Penelitian, Penerjemah alimudin Tuwu, Jakarta: UI-Press.
Departemen Agama RI (2004).
Alquran dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro.
Dzatnika,
Rahmat (1992). Sistem Ethika Islami Akhlak Mulia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Dzatnika, Rahmat (1996). Sistem Etika
Islam. Bandung: Panjimas.
Fatimah, Siti (2011). Skripsi Peran KH. Muhammad
Cholil Dalam Mengembangkan Islam di Madura. Jakarta: UIN Syarif
hidayatullah.
Haqiqi, Muhammad Al-Fitra (2009). 50 Ulama’ Agung
Nusantara: Potret Keteladanan & Ketokohan bagi Umat dan Bangsa. Jombang:
Darul Hikmah
Ichazo, Oscar (t. t. ). 4 Dasar
kepribadian dalam Akhlak. Jakarta: Pustaka Indo.
Kafie, Jamaluddin
(1993). Psikologi
Dakwah. Surabaya: PT. Indah
Surya.
Kamil. M. A. Quasem (1975). Etika Al-Ghazali, Etika
Majemuk di dalam Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014
LPP IAID (2001). Panduan Penyusunan
Skripsi di Lingkungan Institut Agama Islam Darussalam. Ciamis.
Ma’sum, Saifullah (1998). Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan
Mudjib, Abdul dan Mudzakir (2008). Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Munawwir, Ahmad Warson (1989). Kamus
al-Munawwir. Yogyakarta: PT Al Munawwir.
Nasir, Sahilun
A. (1980). Etika dan
Problematikanya Dewasa Ini. Bandung,: PT. Al-Ma’arif.
Nata, Abuddin (1997). Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Ngalim, Purwanto (1995). Ilmu Pendidikan Islam dan Teoritis Praktis. Bandung:
Rosda Karya.
Prastowo, Andi (2011). Metode
Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Rahman, Saifur (1999). Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan,
Surat kepada Anjing Hitam. Jakarta: Pustaka
Ciganjur.
Ramayulis (1994). Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Jakarta of Chicago Press.
Rasyiddin, Nizar (2005). Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Ciputat Press.
Rozaki, Abdul (2004). Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar
di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Sa’aduddin, Iman
Abdul Mukmin (2006). Al-Akhlak fil
Islami. Bandung: PT. Rosdakarya.
Salim, Agus (2001). Teori dan
Paradigma Penelitian Sosial.
Jogjakarta: PT. Tiara Wacana.
Singarimbun, Masri (2009). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Soebahar, Abd. Halim
(2002). Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Soedjono, Abdurrahman (1999). Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Surakhmad, Winarno (1990). Dasar
dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: PT. Remaja
Rosydakarya.
Suryabrata, Sumadi (2004). Metodologi
Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syarifudin, Tatang (2006).
Landasan Pendidikan. Bandung: UPI Press.
Taslim, Abdullah
(2010). Keutamaan Cinta Akhirat
dan Zuhud dalam Kehidupan Dunia. Diambil
dari http: //muslim. or. id/5177-keutamaan-cinta-akhiran-dan-zuhud-dalam-kehidupan-dunia.
html
Thoyyar,
Husni (2007). Panduan Penyusunan Skripsi. Ciamis: LPP
IAID.
Thoyyar, Husni (2015). Pedoman Penulisan
Skripsi dan Artikel Ilmiah. Ciamis: Institut Agama Islam Darussalam.
Tim penyusun Kamus Pusat
Pembinaan Bahasa (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Ukkasyah, Sa’id Abu
(2015). Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (1): Ilmu Fadhu’ain. Diambil
dari https://muslim.or.id/24642-skala-prioritas-dalam-belajar-agama-islam-1-ilmu-fardhu-ain.html
Ukkasyah, Sa’id Abu
(2015). Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam 2-Ilmu-Fardhu ‘Ain dan Ilmu
Fardu Kifayah. Diambil dari https://muslim.or.id/24689-skala-prioritas-dalam-belajar-agama-islam-2-ilmu-fardhu-ain-dan-ilmu-fardu-kifayah.html
Umary, Barmawie (1983). Materia
Akhlak. Solo: Ramadhani.
Bruinessen, Martin Van (1995). Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung:
Mizan.
Wajdi, Muhammad Farid (2016). Karamah
Tiga Sufi. Jakarta: Qalam Publishing.
Wikipedia (2017). Pondok
Pesantren Tebuireng. Diambil dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/pondok_pesantren_tebuireng.html
Yaqub, Hamzah (1983). Etika Islam. Bandung: Cv. Diponegoro.
Yunus (1998). Ilmu Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Yusuf, M. Zein (1993). Akhlak-Tasawuf. Semarang: Al-Husna.