topbella

Jumat, 24 Desember 2021

 

ABSTRAK

 

KRIDA  SALSABILA. “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan Tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak”. Skripsi Program Sarjana (S1). Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis Tahun 2017.

Skripsi: Program Studi PAI, Fakultas Tarbiyah, IAID, 2017.

 

Dalam perjalanan panjang usia kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu selama 72 tahun, ancaman disintegrasi bangsa masih terus mendera. Kerusuhan sosial silih berganti, Kalianda Lampung terus bergolak, Papua tidak pernah sunyi dari kerusuhan. Bahkan isu terorisme tak kunjung usai, yang setiap saat mungkin dapat meledakkan kerusuhan sosial. Pada kenyataan di lapangan usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan mulai berbagai macam metode terus dikembangkan, sebagian ulama modernisasi di Negara Indonesia ada yang membangun pendopo-pendopo, langgar-langgar, atau pesantren-pesantren tempat di mana orang-orang muslim belajar agama atau belajar ngaji yang bertujuan untuk membentuk akhlak seseorang. Sehingga pesantren-pesantren yang dibangun oleh para ulama modernisasi terdahulu bisa lebih berkembang pesat sampai sekarang ini. Hal itu dapat berkembang karena adanya salah satu tokoh  yang selalu berjuang mengembangkan pendidikan akhlak kepada masyarakat. Oleh sebab itu kajian dalam penelitian ini, dikembangkan dalam Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan Tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak.

Bertitik tolak dari deskripsi di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1. Bagaimana Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang pengembangan Pendidikan Akhlak? 2. Bagaimana Relevansi Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan terhadap Pendidikan Islam Kontemporer? Penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian kualitatif deskriptif, dalam penelitian ini tidak bermaksud untuk menguji hipotesis, dalam arti hanya mengembangkan dan menganalisis secara kritis terhadap suatu permasalahan. Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan (Library research).

Dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan tiga fase analisis data interaktif model of analyst, yaitu sebagai berikut: 1. Fase reduksi data, Penulis memilih dan memilah sumber data yang dianggap penting sesuai dengan fokus penelitian dan rumusan masalah; 2. Fase penyajian data. Penulis memaparkan data yang diperoleh pada fase pertama sesuai dengan rumusan masalah dan sub pokok pembahasan agar dapat dipahami secara sistematis; 3. Fase penarikan kesimpulan. Pada fase ini, data dari hasil fase kedua kemudian dilakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.

Hasil analisis penelitian, memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang pengembangan Pendidikan Akhlak merupakan pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabi’at yang harus dimiliki dan dijadikan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seorang yang telah siap mengarungi kehidupan. 2. Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang pendidikan Islam memberikan pengertian bahwa Islam pada saat ini harus berupaya kepada pendidikan Islam yang lebih strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berfikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis. Oleh sebab itu pemikiran Syekh Kholil Bangkalan selalu diterapkan oleh para ulama-ulama modernisasi sekarang ini dan masyarakan sekitarnya.


 

PERSETUJUAN PEMBIMBING

 

Skripsi dengan judul “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak” telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing dan layak untuk diajukan pada ujian skripsi.

 

Pembimbing I,

Memberikan persetujuan pada tanggal................................

 

 

Dr. Hj. Chusna Arifah, M.Pd.I

 

 

 

Pembimbing II,

Memberikan persetujuan pada tanggal................................

 

 

Anis Husni Firdaus, S.Th.I., M.Pd.I


 

PENGESAHAN

 

Skripsi berjudul “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak” telah dipertanggungjawabkan dalam Sidang Munaqasah pada tanggal 21 September 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.

 

Sidang Munaqasyah:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dekan,

 

 

Anis Husni Firdaus, S.Th.I., M.Pd.I


 

PERNYATAAN

 

Yang bertanda tangan di bawah ini:

                                              

Nama                   :  Krida Salsabila

Tempat lahir        :  Ciamis

Tanggal lahir       :  26 Januari 1995

NPM                    :  13.03.2889

Program Studi     :  Pendidikan Agama Islam

Alamat                 :  Jln. Wastu Kencana Rt 05/Rw. 06, Dusun Banjarwaru, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, 46253.

 

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak” adalah asli, tidak mengandung unsur plagiasi, fabrikasi, dan falisifikasi.

 

Apabila dalam skripsi karya saya ini mengandung unsur-unsur plagiasi, fabrikasi, dan falisifikasi; maka saya bersedia untuk dihadapkan pada sidang etik yang dibentuk khusus untuk itu.

 

                                                                                            Ciamis, 26 Agustus 2017

                                                                                            Penulis,

 

 

 

                                                                                            KRIDA SALSABILA


 

RIWAYAT HIDUP

 

Penulis bernama lengkap Krida Salsabila dilahirkan di Ciamis pada tanggal 26 Januari 1995, anak  kedua dari tiga bersaudara dari pasangan suami istri bernama Bapak Komarudin dan Ibu Lis Suryani. Penulis tinggal di Dusun Banjarwaru Rt. 05/ Rw. 06, Desa/Kec. Kawali, Kabupaten Ciamis 46253, Jawa Barat.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Persatuan Umat Islam  Pogorsari - Kawali Mukti lulus tahun 2007, Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Kawali yang sekarang sekolah tersebut berganti nama menjadi Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Ciamis lulus tahun 2010, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Kawali dengan mengambil jurusan Rekayasa Perangkat Lunak lulus tahun 2013, setelah itu penulis melanjutkan  studi ke Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (S1).


 

MOTTO

 

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ للِنَّاسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”

 

 

Jika di dunia ini hanya ada penderitaan, mengapa aku bertahan hidup?

Jika di dunia ini hanya ada kesenangan, mengapa aku merindukan surga?

Hidup ini apa yang kucari? Jika siangku hanya mengantarkan malam.

Kahlil Gibran

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dengan ucapan alhamdulillah,  skripsi ini kupersembahkan untuk:

v Kedua Orang Tuaku, kakak, adik dan keluargaku tercinta

v Para Guru yang telah memberikan ilmunya, semoga menjadi amal jariyah

v Seseorang yang senantiasa memberikan dukungan dan makna dari kesabaran

v Sobat 5 sekawan (Gina, Hana, Enok, dan Ilma), terimakasih atas motivasinya

v Teman-teman seperjuangan PAI B , semoga silaturahmi kita tetap terjaga


 

KATA PENGANTAR

 

ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt. tuhan yang mengusai seluruh alam semesta. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis masih diberikan kesehatan dan kemampuan dalam melaksanakan penelitian serta menyelesaikan proses pembuatan skripsi yang berjudul “Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Akhlak” tidak lupa pula shalawat dan salam penulis panjatkan kepada baginda sang pejuang Nabi besar umat Islam Muhammad Saw. yang selalu memberikan inspirasi dan teladan dalam kehidupan kita di dunia ini, semoga kita mendapat syafa’atnya pula di hari akhir. Aamiin

Penulis melakukan penelitian ini tujuan utamanya adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kependidikan (S.Pd) di jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.

Dalam proses pelaksanaannya peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis menemui tak sedikit hambatan dan tantangan, dalam pelaksanaan penelitiannya penulis tentu membutuhkan bantuan materi dan non-materi agar segala proses penelitian dapat berjalan dengan lancar.

Maka dari itu, sebagai ungkapan rasa syukur penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah turut membantu penulis baik selama kuliah di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis maupun di luar perkuliahan, terutama kepada:

1.        Yth. Dr. KH. Fadlil Munawwar Manshur, M.S., selaku Pembina Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis, sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren Darussalam Ciamis, yang telah membimbing penulis selama kuliah di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis;

2.        Yth. Ibu Hj. N. Hani Herlina, S.Ag., M.Pd.I., selaku Rektor Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis;

3.        Yth. Bapak Anis Husni Firdaus, S.Th.I., M.Pd.I., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis, sekaligus Pembimbing II dalam penyusunan skripsi; dan sebagai Dosen Pembimbing Akademik (DPA) yang telah memberikan bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis;

4.        Yth. Bapak Dr. Abdul Aziz, M.Pd.I., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis;

5.        Yth. Ibu Dr. Hj. Chusna Arifah, M.Pd.I., selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran, dan arahan dalam penyusunan skripsi ini;

6.        Orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan do’a dan dukungannya yang sangat berharga dan dibutuhkan oleh penulis;

7.        Rekan-rekan seperjuangan PAI 8 B, yang telah bersama-sama melalui suka duka sejak awal masuk perkuliahan sampai sekarang, semoga silaturahmi kita selalu terjaga; dan

8.        Semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Jazakallahu khairan katsiraa, semoga Allah Swt. memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka di dunia maupun di akhirat.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat umumnya bagi para pembaca, bagi instansi dan kalangan pendidikan, dan khususnya bagi peneliti di masa yang akan datang.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan masukkan yang membangun sangat penulis harapkan dan akan penulis terima dengan hati terbuka demi perbaikan di masa yang akan datang.

                                                                                                 Ciamis, Agustus 2017

                                                                                                

 Penulis


DAFTAR ISI

 

ABSTRAK..................................................................................................................... ........ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................................. ....... ii

PENGESAHAN............................................................................................................. ...... iii

PERNYATAAN............................................................................................................. ...... iv

RIWAYAT HIDUP........................................................................................................ ....... v

MOTTO................................................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR.................................................................................................... ..... vii

DAFTAR ISI.................................................................................................................. ....... x

DAFTAR TABEL.......................................................................................................... .... xvi

BAB I      PENDAHULUAN......................................................................................... ....... 1

A.       Latar Belakang Masalah......................................................................... ....... 1

B.       Rumusan Masalah................................................................................... ....... 7

C.       Tujuan Penelitian.................................................................................... ....... 7

D.       Kegunaan Penelitian............................................................................... ....... 7

BAB II    LANDASAN TEORI..................................................................................... ....... 9

A.       Pendidikan.............................................................................................. ....... 9

1.   Pengertian Pendidikan........................................................................ ....... 9

2.   Tugas dan Fungsi Pendidikan............................................................ ..... 11

3.   Tujuan Pendidikan............................................................................. ..... 12

B.       Akhlak..................................................................................................... ..... 14

1.   Pengertian Akhlak.............................................................................. ..... 14

a.    Akhlak menurut Bahasa................................................................ ..... 14

b.    Akhlak menurut Istilah.................................................................. ..... 15

c.    Perbedaan Akhlak, Etika, dan Moral.................................................. 17

2.   Dasar - dasar Ilmu Akhlak................................................................. ..... 18

a.    Alquran.......................................................................................... ..... 19

b.    Al-Hadits....................................................................................... ..... 19

c.    Al-Aqlu (Akal)............................................................................... ..... 20

3.   Tujuan Kajian Ilmu Akhlak............................................................... ..... 21

4.   Ruang Lingkup Ilmu Akhlak.............................................................. ..... 21

5.   Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu - Ilmu Lainnya........................ ..... 23

a.    Hubungan dengan Ilmu Tasawuf................................................... ..... 23

b.    Hubungan dengan Ilmu Tauhid..................................................... ..... 23

1)   Dilihat dari segi obyek pembahasannya................................... ..... 24

2)   Dilihat dari segi fungsinya........................................................ ..... 24

c.    Hubungan dengan Ilmu Hukum.......................................................... 25

d.    Hubungan dengan Ilmu Jiwa......................................................... ..... 25

e.    Hubungan dengan Ilmu Pendidikan.............................................. ..... 28

f.     Hubungan dengan Ilmu Filsafat.................................................... ..... 29

g.    Hubungan dengan Ilmu Masyarakat................................................... 29

C.       Pendidikan Akhlak.................................................................................. ..... 31

1.   Pengertian Pendidikan Akhlak........................................................... ..... 31

2.   Dasar - Dasar Pendidikan Akhlak...................................................... ..... 32

3.   Tujuan Pendidikan Akhlak................................................................. ..... 33

a.    Tujuan Umum................................................................................ ..... 33

b.    Tujuan Khusus............................................................................... ..... 34

4.   Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak................................................... ..... 34

a.    Akhlak kepada Allah Swt.............................................................. ..... 34

1)   Taat........................................................................................... ..... 34

2)   Tawaddhu’...................................................................................... 34

3)   Tawakkal........................................................................................ 35

4)   Taubat............................................................................................. 35

5)   Tasyakur......................................................................................... 36

b.    Akhlak kepada Dirinya.................................................................. ..... 36

1)   Memelihara Kesucian Diri............................................................. 36

2)   Memelihara Kerapihan Diri...................................................... ..... 37

3)   Berlaku Tenang......................................................................... ..... 37

4)   Menambah Pengetahuan........................................................... ..... 37

5)   Membina Disiplin Diri.............................................................. ..... 38

c.    Akhlak Perguruan.......................................................................... ..... 38

1)   Akhlak Murid dalam Belajar.................................................... ..... 38

a)      Membersihkan Niat.................................................................. 39

b)      Memperhatikan Ilmu yang Bersifat Fardhu’ain dan Ilmu Pendukung Fardhu’ain............................................................................... 39

c)      Tidak menunda-nunda kesempatan belajar.............................. 40

d)      Bersabar.................................................................................... 41

e)      Qana’ah.............................................................................. ..... 41

f)       Adanya Keinginan/kehendak.............................................. ..... 42

g)      Mencari Ridha Allah........................................................... ..... 43

h)      Tirakat dan Mendekatkan Diri kepada Allah........................... 44

i)       Mandiri..................................................................................... 45

j)       Mengamalkan Ilmu............................................................. ..... 45

2)   Akhlak Murid kepada Guru............................................................ 45

a)      Memilih Guru yang Wara’ disamping Professional................ 46

b)      Mengikuti Jejak Guru............................................................... 46

c)      Patuh dan Hormat kepada Guru.......................................... ..... 47

3)   Akhlak Seorang Guru............................................................... ..... 47

a)      Berniat Ibadah..................................................................... ..... 48

b)      Menggunakan Metode yang Mudah dipahami Peserta Didik                 48

c)      Tanggung Jawab....................................................................... 48

d)      Hikmah Kebijaksanaan............................................................ 49

e)      Mendidik dengan Keterampilan Eksoterik......................... ..... 49

f)       Memilih Waktu yang Tepat................................................ ..... 50

g)      Memberi Teladan................................................................ ..... 50

d.    Akhlak kepada Sesama Manusia................................................... ..... 50

1)   Akhlak kepada Rasulullah Saw................................................ ..... 51

2)   Akhlak kepada Orang Tua........................................................ ..... 51

3)   Akhlak kepada Tetangga dan Masyarakat................................ ..... 52

4)   Akhlak kepada Lingkungan...................................................... ..... 53

5.   Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak....................................... ..... 53

a.    Faktor Eksternal............................................................................. ..... 53

1)   Keturunan................................................................................. ..... 54

2)   Lingkungan............................................................................... ..... 54

3)   Pendidikan................................................................................ ..... 55

4)   Penguasa/Pemimpin.................................................................. ..... 55

b.    Faktor Internal............................................................................... ..... 56

1)   Insting....................................................................................... ..... 56

2)   Kebiasaan.................................................................................. ..... 57

3)   Suara Hati (Hati Nurani)........................................................... ..... 57

6.   Metode Pendidikan Akhlak..................................................................... 58

7.   Materi Pendidikan Akhlak................................................................. ..... 59

a.    Akhlak Mahmudah........................................................................ ..... 59

b.    Akhlak Madzmumah...................................................................... ..... 60

D.       Kerangka Berfikir................................................................................... ..... 61

BAB III   METODOLOGI PENELITIAN..................................................................... ..... 63

A.       Waktu Penelitian..................................................................................... ..... 63

B.       Jenis Penelitian....................................................................................... ..... 64

C.       Teknik Pengumpulan Data..................................................................... ..... 64

D.       Sumber Data........................................................................................... ..... 64

1.   Sumber Data Primer................................................................................ 65

2.   Sumber Data Sekunder............................................................................ 65

3.   Sumber Data Tersier................................................................................ 65

E.        Analisa Data............................................................................................ ..... 65

1.   Analisis Deskriptif................................................................................... 66

2.   Analisis Isi............................................................................................... 67

BAB IV   PEMBAHASAN............................................................................................ ..... 69

A.       Biografi Syekh Kholil Bangkalan........................................................... ..... 69

1.   Kelahiran dan Kehidupan Syekh Kholil Bangkalan................................ 69

2.   Nasab Syekh Kholil Bangkalan............................................................... 73

3.   Karya Tulis Syekh Kholil Bangkalan...................................................... 73

4.   Murid Syekh Kholil Bangkalan............................................................... 74

B.       Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan........................... ..... 75

1.   Pengertian Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan.... ..... 75

2.   Tujuan Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan.......... ..... 76

3.   Dasar Pendidikan Islam menurut Syekh Kholil Bangkalan............... ..... 78

a.    Alquran.......................................................................................... ..... 78

b.    Sunah............................................................................................. ..... 80

C.       Sistem Pendidikan menurut Syekh Kholil Bangkalan............................ ..... 81

1.   Akhlak Murid dalam Belajar.............................................................. ..... 81

2.   Akhlak Murid kepada Guru................................................................ ..... 93

3.   Akhlak Sebagai Guru......................................................................... ..... 96

D.       Materi Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan............... ... 102

E.        Analisis Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak dan Relevansinya dalam Pengembangan Pendidikan Akhlak................ ... 103

1.   Analisis Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang pengembangan Pendidikan Akhlak                                                                                                             ... 104

2.   Relevansinya dalam Pengembangan Pendidikan Akhlak.................. ... 105

BAB V    PENUTUP...................................................................................................... ... 109

A.       Kesimpulan............................................................................................. ... 109

B.       Saran-saran............................................................................................. ... 109

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... ... 111

LAMPIRAN – LAMPIRAN


 

DAFTAR TABEL

 

Tabel 1    Kerangka Pemikiran....................................................................................... ..... 62

Tabel 2    Waktu Penelitian............................................................................................ ..... 63

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.      Latar Belakang Masalah

Dalam perjalanan panjang usia kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu selama 72 tahun, ancaman disintegrasi bangsa masih terus mendera. Kerusuhan sosial silih berganti, Kalianda Lampung terus bergolak, Papua tidak pernah sunyi dari kerusuhan. Bahkan isu terorisme tak kunjung usai, yang setiap saat mungkin dapat meledakkan kerusuhan sosial. Dalam kaitan yang lebih luas nampak pula bahwa hubungan antara aspek moral dengan kemajuan bangsa dikemukakan oleh Thomas Lickona. Dalam hal ini Lickona mengemukakan bahwa ada 10 tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai berkenaan dengan pembentukkan akhlak. Jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti satu bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Adapun tanda-tanda tersebut yaitu: 1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; 3. Pengaruh teman sebaya yang kuat dalam tindak kekerasan; 4. Meningkatkan perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas (perkosaan); 5. Semakin kaburnya pedoman moral yang baik dan buruk; 6. Menurunnya etos kerja; 7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; 9. Membudayakan ketidak jujuran (KKN dan lain sebagainya); 10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).

Kesepuluh tanda-tanda tersebut nampak semakin banyak terjadi di negeri ini. Bahkan ada sebagian yang sangat mencemaskan orang tua dan masyarakat. Seperti halnya, dari hasil survey Komnas Perlindungan Anak, PKBI, BKKBN tentang perilaku remaja yang telah melakukan hubungan seks pranikah di perkotaan, diperoleh data sebagai berikut: 67, 7% siswa SMP pernah melakukan hubungan seks pranikah, 21, 2 % pernah aborsi, 93, 7 % remaja SMP dan SMA pernah melakukan ciuman dan oral seks, 97 % siswa remaja SMP pernah menonton video porno. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).

Orang-orang yang mendidik mereka seakan sudah kehabisan akal untuk mengatasi krisis akhlak pada remaja. Jika terus dibiarkan dan tidak segera diatasi, maka bagaimana nasib masa depan negara dan bangsa ini, sebab akhlak remaja saat ini adalah cerminan suatu peradaban 20 hingga 30 tahun mendatang. Siapa lagi yang akan meneruskan perjuangan kalau bukan generasi mudanya. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).

Sepertinya pendidikan konvensional yang mengabaikan aspek internal individu anak yang terlalu sibuk dengan mengisi aspek kognitif saja menyebabkan pendidikan masih kurang bermakna dalam konteks kepribadian bangsa. Disebabkan, pengembangan sisi kemanusiaan kerap kali kurang terbina, pengabaian perilaku ini kemudian berakibat pada lupanya orang tua atau guru untuk menghiasi dirinya dengan perbuatan yang dapat diteladani. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).

 Masalah lain adalah orientasi pendidikan negeri yang terjebak padakebiasaan” zaman kolonial. Bahwa bersekolah adalah upaya menaikkan harkat dan martabat sosial. Bersekolah adalah cara untuk menaikkan derajat diri, dari orang biasa menjadi pamong pradja, menjadi pamong pradja berarti menjadi bangsawan baru. Inilah yang membuat orientasi sekolah berfokus pada ijazah, sehingga pembentukkan karakter menjadi terabaikan. (Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014).

Apabila seseorang telah meninggal maka seseorang itu akan meninggalkan warisan, ada yang berupa materi ataupun non-materi. Akhlak merupakan salah satu bentuk warisan yang berwujud non-materi. Sehingga orang meninggal itu akan dikenang orang serta dijadikan teladan. Dan apabila ia pernah membantu orang lain maka kemungkinan orang yang mendapatkan bantuannya itu akan mendo’akan dan/atau membantu keluarganya yang ditinggalkan.

Oleh karena itu, pendidikan akhlak menjadi keniscayaan yang perlu dilaksanakan secara maksimal sehingga masa depan bangsa semakin terjamin. Akhlak itu sendiri adalah berbuat baik, karena perbuatan baik bukan saja bermanfaat bagi orang lain tetapi juga akan berakibat baik kepada diri sendiri. (Umary, 1983: 87).

Pendidikan akhlak merupakan bagian yang sangat penting dalam tujuan Pendidikan Nasional. Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa, “Tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. (Anonimous, 2003: 6).

Dari tujuan pendidikan di atas, dapat digaris bawahi bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan peserta didik memiliki akhlak yang mulia. Itu artinya diharapkan setelah peserta didik menyenyam pendidikan akan tercipta perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sebagai cerminan tujuan pendidikan yang paling utama yaitu iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Ini pada posisi yang sangat penting, bahkan membina akhlak merupakan inti dari ajaran Islam. Rasulullah Saw. bersabda, yang diriwayatkan oleh Ahmad yang artinya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad).

Akhlak teladan Rasulullah Saw. ini juga diperkuat dalam Alquran:

y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã

Dan Sesungguhnya kamu (ya Muhammad Saw.) benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (QS. Al-Qalam, 68: 4).

 Menurut pendapat Yaqub mengutip pendapatnya Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlak, merumuskan pengertian akhlak sebagai berikut, “Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”. (Yaqub, 1983: 12).

Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,

akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia, karenanya perilaku yang bersifat refleks dan timbul tanpa berpikir terlebih dahulu itulah yang disebut akhlak. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk”. (Yaqub, 1983: 92).

 

Pada kenyataan di lapangan usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan mulai dari berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukan bahwa akhlak memang perlu dibina dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu-bapaknya dan bermanfaat bagi lingkungan di mana ia berada.

Berkat para pembaharu tokoh-tokoh lama Indonesia yang mengembangkan pendidikan akhlak hingga sampai sekarang. Maka dari itu kita patut bersyukur dengan kehadiran mereka, akhlak masyarakat muslim semakin membaik, apalagi dengan kehadiran para tokoh-tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang kian terus berjuang untuk memperbaiki akhlak pada masyarakat waktu itu.

 Saat agama Islam masih menjadi minoritas di Indonesia, akhlak masyarakat pada waktu itu sangatlah buruk, mereka yang belum memeluk agama Islam biasanya terjebak dalam kegiatan yang sia-sia ditambah lagi diantara mereka ada yang menyembah pohon, patung, bahkan ada yang menyembah Tuhannya dengan cara pesugihan atau pertumbalan, sehingga para tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam bergerak demi memberantas penyimpangan akhlak di masyarakat.

Perjuangan para tokoh Islam bukan saja hanya memberantas penyimpangan akhlak tetapi juga berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda dan Jepang hingga akhirnya kemerdekaan dapat diraih dengan bersatunya para pemimpin bangsa dan para tokoh pembaharu seperti Soekarno, Soeharto, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Kapten Pattimura beserta tokoh dari kaum penjajah sendiri yang menentang penindasan yang dilakukan bangsanya kepada rakyat Indonesia.

Termasuk juga tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Halim Majalengka, dan lain sebagainya, mereka itu adalah salah satu tokoh pembaharu dalam Islam di Indonesia bahkan mereka juga pendiri ormas pada masa itu hingga sampai sekarang, seperti: Ormas Muhammadiyah, NU, Persis, sampai dengan PUI.

Tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam itu yang mendirikan Ormas adalah mereka yang berjuang memperbaiki akhlak-akhlak masyarakat di Indonesia agar menjadi lebih baik lagi sehingga para orang tua, anak didik, dan lain sebagainya memiliki akhlak atau budi pekerti yang mulia kepada sesama umat muslim maupun non-muslim karena kita ini semuanya adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa.

Para tokoh-tokoh Ulama Islam di Indonesia tidak akan ada, jika tidak ada yang mengajari mereka tentang pendidikan akhlak. Maka dari itu, awal mulanya pendidikan akhlak muncul berkat adanya salah satu tokoh ulama terbesar bahkan beliau diberikan gelar oleh pemerintah Indonesia dengan sebutan Syaikhona, yang artinya Maha Guru atau biasa disebut gurunya para ulama.

Kemudian Syekh Kholil Bangkalan memiliki murid-murid terkemuka, salah satunya yaitu KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), Soekarno (Presiden pertama Indonesia) dan KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah). Pada kenyataannya masih banyak para pakar, tokoh, dan penulis yang banyak mengungkapkan sisi pemikiran tokoh ini, maka dengan demikian pemaparan di atas merupakan sedikit tentang Pemikiran Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan, yang berusaha untuk menganalisa pendidikan Islam dari sudut pandangan tokoh tersebut.

Berdasarkan pengamatan penulis di lingkungan anak remaja saat ini, mereka rajin sekali pergi sekolah, mengikuti kegiatan belajar dengan sangat baik dari awal kegiatan pembelajaran hingga selesai, dengan istilah populernya disiplin. Konsentrasinya, perhatian, minat untuk memahami pelajaran sangat antusias tetapi akhlak mereka dalam kehidupan sehari-hari masih ada siswa yang berakhlak jelek. Misalnya masih ada siswa yang berkata kotor, merayakan kelulusan dengan mencoret-coret seragam atau berpesta pora.

Fenomena empirik di atas menunjukkan adanya kesenjangan, yaitu di satu sisi mereka rajin dan disiplin belajar di sekolah hingga mereka bisa lulus merupakan hal yang positif. Namun di sisi lain masih banyak siswa yang berakhlak jelek setelah mereka lulus. Mereka pintar namun menyalah gunakan kepintaran mereka untuk mencurangi dan merugikan orang lain. Misalnya para koruptor, mereka adalah orang-orang berpendidikan tinggi sehingga bisa mendapatkan posisi jabatan sebagai wakil rakyat, namun ilmu yang dimilikinya tidak barokah, meskipun pintar mereka berani memakan harta yang bukan haknya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang: Bagaimana Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan Tentang Pendidikan Akhlak? Bagaimana Relevansi Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan Terhadap Pendidikan Islam Kontemporer? untuk menjawab masalah tersebut, maka penulis merumuskan dalam sebuah judul penelitian: “PEMIKIRAN SYEKH KHOLIL BANGKALAN TENTANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AKHLAK”.

B.       Rumusan Masalah

Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang permasalahan yang diteliti, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1.        Bagaimana Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pendidikan Akhlak?

2.        Bagaimana Relevansi Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan terhadap Pendidikan Islam Kontemporer?

 

C.      Tujuan Penelitian

Adapun penulis mengadakan penelitian ini adalah bertujuan:

1.        Untuk mengetahui Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pendidikan Akhlak?

2.        Untuk mengetahui Relevansi Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan terhadap Pendidikan Islam Kontemporer?

 

D.       Kegunaan Penelitian

Arikunto (2006: 32) mengemukakan bahwa syarat terpenting dalam penelitian adalah penelitian itu memberikan hasil yang berguna. Penelitian adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya. Sesuatu akan menjadi hal yang sia-sia jika seseorang melakukan penelitian yang hasilnya tidak memiliki kegunaan.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LPP) IAID Ciamis (2001: 9) mengemukakan bahwa, “kegunaan penelitian menyatakan kemungkinan pemanfaatan yang bisa dipetik, dan secara umum diarahkan pada dua jenis kegunaan yang bersifat ilmiah dan kegunaan bersifat praktis”.

Kegunaan Penelitian secara Ilmiah, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1.        Menambah khazanah keilmuan dalam masalah Pendidikan Agama Islam, khususnya dalam Pendidikan Akhlak;

2.        Dapat dijadikan teoritis dalam memahami pemikiran tokoh tersebut;

3.        Dapat dijadikan landasan teori yang dapat terus diuji validitasnya sehingga ditemukan generalisasi-generalisasi baru yang dapat mendeskripsikan pemikiran tokoh tersebut dengan relevansinya pengembangan pendidikan akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan.

Kegunaan Penelitian Secara Praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukkan bagi berbagai pihak terkait, antara lain:

1.        Bagi para guru/ustadz, dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukkan dalam memecahkan masalah-masalah akhlak yang berkaitan dengan pengembangan pendidian akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan, bahwa pendidikan akhlak merupakan salah satu dasar penunjang untuk menumbuhkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dan Rasulullah Saw.

2.        Bagi orang tua, dari penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman kepada orang tua bahwa pendidikan akhlak bukan semata-mata tugas para pendidik atau pengajar sekolah melainkan orang tua sebagai pusat utamanya, agar dapat mencontohkan apa yang dilakukan Syekh Kholil Bangkalan dalam pengembangan pendidikan akhlak.

3.        Bagi peserta didik, semoga hasil penelitian ini menyadarkan mereka bahwa dengan adanya pendidikan akhlak dapat menjadikan dirinya insan kamil, sehingga dalam kesehariannya selalu dicintai Allah Swt. dan Rasul-Nya.


 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

 

A.      Pendidikan

1.        Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang mengandung arti “pelihara dan latih”. (Tim penyusun, 2005: 263). Konsep pendidikan dalam bentuk praktik mengarah pada pengertian pendidikan sebagai suatu proses. Sedangkan pengertian dilihat dari historisnya, “Pendidikan berasal dari kata yunani paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak”. (Ramayulis, 1994: 1).

Berdasarkan Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab I, bahwa

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Anonimous, 2003: 3).

 

Sedangkan dalam bahasa Arab, kata pendidikan berasal dari kata rabba-yurabbi-tarbiyatan, yang berarti mendidik, mengasuh dan memelihara. (Munawwir, 1989: 504). “Dalam bahasa Arab pendidikan sering diambil dari kata ‘allama dan addaba. Kata ‘allama berarti mengajar (menyampaikan pengetahuan), memberitahu, mendidik. Sedangkan kata addaba lebih menekankan pada melatih, memperbaiki, penyempurnaan akhlak (sopan santun) dan berbudi baik”. (Munawwir, 1989: 461). Namun kedua kata tersebut jarang digunakan untuk diterapkan sebagai wakil dari kata pendidikan, sebab pendidikan itu harus mencakup keseluruhan, baik aspek intelektual, moralitas atau psikomotorik dan afektif.

Ada tiga istilah pendidikan dalam Islam yang digunakan untuk mewakili kata pendidikan, yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Kaitannya dengan hal tersebut, kata tarbiyah dipandang tepat untuk mewakili kata pendidikan, karena kata tarbiyah mengandung arti memelihara, mengasuh, dan mendidik yang ke dalamnya sudah termasuk makna mengajar atau ‘allama dan menanamkan budi pekerti (addaba)”. (Soebahar, 2002: 25).

Secara terminologi, ada beberapa pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya:

1.     Al-Syaibani, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah “proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai aktifitas asasi dan profesi dalam masyarakat”.

2.     Muhammad Fadhil Al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dalam kehidupan yang mulia, dengan proses tersebut diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatan”.

3.     Ahmad D. Marimba, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh peserta didik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil).

4.     Ahmad tafsir, mendefinisikan pendidikan sebagai”bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam”. (Rasyiddin, 2005: 31-32).

 

Adapun menurut Ngalim Purwanto, mengemukakan bahwa “Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”. (Purwanto, 1995: 11). Adapun arti pendidikan menurut Imam Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn, yaitu:

Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah Swt. sehingga menjadi manusia sempurna. (Abidin, 1998: 56).

 

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Achmadi tentang pengertian Pendidikan sebagai berikut:

Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia yang sesuai dengan norma Islam. Adapun pengertian pendidikan Agama Islam ialah usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keagamaan (religiousitas) subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. (Achmadi, 2008: 29).

 


 

2.        Tugas dan Fungsi Pendidikan

Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. (Rasyidin, 2005: 32).

Menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan Al-Kailani, ”Tugas Pendidikan Islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabi’at peserta didik”. (Mudjib, 2008: 51).

Berkenaan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam, Djawad Dahlan (1993) berpendapat bahwa dalam ajaran Islam terdapat dua konsep ajaran Rasulullah Saw. yang maknanya sangat padat dan memiliki kaitan erat dengan tujuan dan pendidikan Islam yaitu iman dan takwa. Kedua konsep ini tidak bisa dipisahkan. Untuk itu pendidikan Islam bertujuan untuk mencapai derajat iman dan takwa. (Syahidin, 2005: 14).

 

Lebih lanjut Abdul Mudjib (2008: 52) menyatakan untuk menelaah tugas-tugas pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu: a. Pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi; b. Pendidikan dipandang sebagai pewaris budaya; c. Pendidikan dipandang sebagai interaksi antara pengembangan potensi dan pewarisan budaya.

Menurut Achmadi berpendapat bahwa ada tiga fungsi pendidikan diantaranya:

1.     Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinyadan alam sekitarnya sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan kreatifitas dan produktifitas.

2.     Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun kehidupannya sehingga keberadaannya baik secara individual maupun sosial lebih bermakna.

3.     Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun sosial. ( Achmadi, 2008: 33)

 

Selanjutnya Achmadi mengungkapkan bahwa ada tiga fungsi pendidikan Islam yakni:

1.     Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitar, dan mengenai kebesaran Ilahi, sehingga tumbuh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan, serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Adanya kemempuan ini, akan menumbuhkan kretifitas dan produktifitas sebagai implementasi identifikasi diri pada Tuhan (pencipta).

2.     Membebaskan manusia dari segala analisir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia) baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.

3.     Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun sosial. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menurut sinyal yang diberikan Alquran, sebagaimana tersebut pada butir pertama di atas, hendaknya dimulai dengan memahami fenomena alam dan kehidupan dengan pendekatan empirik, sehingga mengetahui hukum-hukumnya (Sunnah Allah Swt.). (Achmadi, 2008: 36).

 

Menurut Kursid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam ialah: a. Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkatan-tingkatan kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, seta ide-ide masyarakat dan bangsa; b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan yang secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi. (Mudjib, 2008: 69).

 

3.        Tujuan Pendidikan

Sikun Pribadi, yang dikutip Achmadi (2008: 90) bahwa tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh aspek pedagogik. Hal ini tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan.

Suatu rumusan tujuan pendidikan akan tepat apabila sesuai dengan fungsinya. Oleh karena itu, perlu ditegaskan lebih dahulu apa fungsi pendidikan itu. Diantara para pendidik professional, ada yang berpendapat bahwa fungsi tujuan pendidikan ada tiga yang semuanya bersifat normatif sebagaimana Achmadi kemukakan sebagai berikut:

1.     Memberikan arahan bagi proses pendidikan sebelum kita menyusun kurikulum perencanaan pendidikan dan berbagai aktifitas pendidikan. Langkah yang harus dilaksanakan pertama kali ialah merumuskan tujuan pendidikan. Tanpa kejelasan tujuan, seluruh aktifitas pendidikan akan kehilangan arah, kacau bahkan menemui kegagalan.

2.     Memberikan motivasi dalam aktifitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dan diinternalisasikan pada anak atau subjek pendidikan.

3.     Tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan. (Achmadi, 2008: 90).

 

Lebih lanjut Achmadi merumuskan, ada tiga tahapan tujuan pendidikan, yakni:

1.     Tujuan tertinggi dan terakhir, tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi dan terakhir ini pada dasarnya sesuai dengan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah Swt., yaitu: a) menjadi hamba Allah Swt. yang bertakwa; b) mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Allah Swt. di bumi) yang mampu memakmurkannya, c) memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat.

2.     Tujuan umum, berbeda dengan tujuan tertinggi dan terakhir yang lebih mengutamakan pendekatan filosofis, tujuan umum bersifat empirik dan realistik. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.

3.     Tujuan khusus, ialah pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi dan terakhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga memungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi dan tujuan umum. Pengkhususan tujuan tersebut didasarkan pada: a) kultur dan cita-cita suatu bangsa di mana pendidikan itu dilaksanakan, b) minat, bakat, dan kesanggupan subjek didik, c) tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu. (Achmadi, 2008: 95).

 

Selain itu, fungsi dan tujuan pendidikan tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, yaitu

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang martabat, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Anonimous, 2003: 6).

 

Sementara Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. (Yunus, 1998: 165).

Menurut Tatang Syarifudin (2006: 34), mengatakan: ”Tujuan pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berperasaan, berkemauan, dan mampu berkarya, mampu memenuhi berbagai kebutuhannya secara wajar, mampu mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya”.

Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah manusia, agar setelah tercapai kematangan itu, ia mampu memerankan diri sesuai dengan amanah yang disandangnya, serta mampu mempertanggung jawabkan pelaksanaan kepada Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia. (Dzatnika, 1992: 26).

 

B.       Akhlak

1.        Pengertian Akhlak

a.         Akhlak Menurut Bahasa

Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari kata”khuluq”(خلوق) secara bahasa kata ini memiliki arti perangai atau yang mencakup diantaranya: sikap, prilaku, sopan, tabi’at, etika, karakter, kepribadian, moral dll. Menurut Mukhtar Ash Shihah akhlak berarti watak. Sementara menurut Al-Firuzabadi akhlak adalah watak, tabi’at, keberanian, dan agama. (Asmaran, 1994: 3-4).

Kemudian, dalam Bashaa-ir Dzawi Al Tamyiz fi Lathaa- if Al Kitab Al Aziz Baashiroh fi Akhlak adalah pikiran yang lurus. Kata al-khuluqu digunakan pula dalam menciptakan sesuatu yang tanpa permulaan dan tanpa meniru. Pada dasarnya al khulqu dan al kholqu sama, hanya saja al kholqu itu khusus tertuju pada tingkah - tingkah atau keadaan dan bentuk - bentuk yang bisa dilihat dengan mata, sedangkan khulqu khusus pada kekuatan dan tabi’at yang ditembus dengan hati. Ibnu Abbas Ra. berkata”maksudnya benar - benar beragama yang agung, agama yang paling kucinta dan tak ada agama yang aku ridhai selain agama itu adalah Islam”. Kemudian, Alhasan berkata, ”maksudnya etika Alquran “kemudian Qotadah berkata “maksudnya sesuatu yang diperintahkan Allah Swt. dan yang dilarang-Nya”. (Asmaran, 1994: 3-4).

Adapun maknanya adalah “sesungguhnya kamu benar – benar berakhlak yang telah dipilih Allah Swt. untukmu dalam Alquran. Dalam Ash-Shohihain dikatakan, bahwa Hisyam bin Hakim bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah Saw., kemudian Aisyah menjawab, ”akhlak beliau adalah akhlak Alquran”. Menurut pendapat saya jika dilihat dari berbagai uraian diatas dapat diambil kesimpulan akhlak menurut bahasa adalah tabi’at atau tingkah laku, dan akhlak yang baik adalah tingkah laku yang sesuai dengan Alquran. (Asmaran, 1994: 3-4).

b.        Akhlak Menurut Istilah

Menurut Ahmad Amin yang dikutip oleh Ahmad Athoullah mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan pada sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Contohnya bila kehendak memberi itu dibiasakan seseorang, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan. Sedangkan menurut Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawiy dalam kitabnyaMurooqiyul ‘Ubudiyah”Akhlak adalahkeadaan di dalam jiwa yang mendorong perilaku yang tidak terpikir dan tidak ditimbang. (Athoullah, 2005: 23-24).

 Dalam buku lain dijelaskan bahwasanya akhlak menurut terminologi adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: ”Gambaran batin seseorang”. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran:

1)        Gambaran dzahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah Swt. jadikan padanya sebuah tubuh. Dan gambaran dzahir tersebut diantaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan diantara keduanya atau biasa-biasa saja.

2)        Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan - perbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak. (Athoullah, 2005: 23-24).

Menurut Imam Maskawih akhlak adalah suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan - tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi menjadi dua: ada yang berasal dari tabi’at aslinya, dan ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang - ulang. Boleh jadi pada mulanya tindakan - tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus - menerus maka jadilah suatu bakat dan akhlak. (Athoullah, 2005: 23-24).

Kemudian Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam - macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Dari dua definisi di atas, kita dapat memahami beberapa hal, diantaranya:

a)        Akhlak itu suatu keadaan bagi diri, maksudnya ia merupakan suatu sifat yang dimiliki aspek jiwa manusia, sebagaimana tindakan merupakan suatu sifat bagi aspek tubuh manusia.

b)        Sifat kejiwaan mesti menjadi bagian terdalam, maksudnya keberadaan sifat itu tidak terlihat. Ia diwujudkan pada orangnya sebagai kebiasaan yang terus - menerus selama ada kesempatan. Oleh karena itu, orang kikir yang hanya bersedekah sekali selama hidupnya belum disebut pemurah.

c)        Sifat kewajiban yang merupakan bagian terdalam itu melahirkan tindakan - tindakan dengan mudah. Maksudnya, tindakan itu tidak sulit dilakukan. Oleh karena itu, orang jahat yang bersikap malu, tidak disebut pemalu.

d)        Munculnya tindakan - tindakan dari keadaan jiwa atau bakat kejiwaan itu tanpa dipikir atau dipertimbangkan lebih dahulu. Maksudnya, tanpa ragu – ragu dan tanpa memilih waktu yang cocok. Akhlak itu sudah menjadi adat dan kebiasaan maka tindakan itu dilakukan tanpa berpikir, meskipun pemikirannya aktif dalam mempertimbangkan dari berbagai segi. Orang dermawan misalnya, ia tidak ragu – ragu untuk memberi dan berkorban, tetapi ia hanya mempertimbangkan dari segi kebaikan, jenis kebaikan itu atau sifat pribadi yang suka memberi. Jadi pemikirannya itu hanya diarahkan pada segi kebaikan dan aspek – aspeknya saja.

e)        Dari akhlak itu ada yang bersifat dan tabi’at dan alami. Maksudnya, bersifat fitrah sebagai pembawaan sejak lahir, misalnya sabar, cinta, dan malu.

f)         Dari akhlak juga ada hasil yang diupayakan, yakni lahir dari kebiasaan, latihan dan lingkungan, misalnya takut dan berani.

g)        Kata akhlak dipakai untuk perbuatan terpuji dan perbuatan tercela. Oleh karena itu, akhlak memerlukan batasan, agar dikatakan akhlak terpuji dan akhlak tercela.

h)        Akhlak yang didahului tindakan – tindakan kejiwaan, ia menjadi langkah terakhir dari tindakan – tindakan itu. (Athoullah, 2005: 23-24).

Yang pertama kali datang pada hati manusia adalah ide yakni perkataan diri. Setelah itu, diri manusia berbicara kepada hati tentang berbagai hal, maka hati itu cenderung pada salah satu hal tersebut. Kecenderungan adalah tujuannya seseorang pada salah satu ide yang tergambar dalam hati dan ingin mencapai tujuan dan ide tersebut. Jika salah satu kecenderungan mengalahkan kecenderungan - kecenderungan yang lainnya, kecenderungan itu menjadi harapan. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).

Harapan adalah menangnya salah satu kecenderungan atas semua kecenderungan dalam hati seseorang. Jika orang itu memikirkan dan mempertimbangkan harapan ini secara matang, lalu membulatkan tekad kepadanya, harapan ini menjadi suatu keinginan. Keinginan adalah sifat diri yang telah membulatkan tekad terhadap salah satu harapan di atas untuk dapat dibuktikan. Jika keinginan itu terus – menerus dan berulang – ulang maka jadilah suatu adat dan kebiasaan. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).

c.         Perbedaan Akhlak, Etika, dan Moral

Pengertian Akhlak menurut Yaqub (1983: 12) mengutip pendapat Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlaq merumuskan pengertian Akhlak sebagai berikut: ”Akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”.

Pengertian Etika menurut Yaqub (1983: 13) mengutip dari Ilmu Filsafat, ”Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Perbedaannya dengan Akhlak adalah pada titik tolaknya dan ruang lingkupnya, akhlak bertitik tolak pada Alquran dan hadits dan kebenaran antara baik dan buruknya dapat diterima secara universal. Sedangkan Etika bertitik tolak pada akal manusia dan ruang lingkup baik dan buruknya terbatas karena etika di tiap wilayah bisa berbeda-beda.

Pengertian Moral menurut Yaqub (1983: 14) adalah adat kebiasaan yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan arti susila. Sementara menurut istilah, Moral adalah Tindakan yang umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Perbedaannya dengan Etika adalah etika bersifat teori sedangkan moral bersifat praktis.

Selain yang telah di jelaskan di atas, Bahasa Indonesia juga mempergunakan kata-kata yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama dengan perkataan akhlak, yaitu: Susila, Kesusilaan, Tata Susila, Budi Pekerti, Kesopanan, Sopan Santun, Adab, Perangai, Tingkah Laku, Perilaku, dan Kelakuan. (Yaqub, 1983: 15).

 

2.        Dasar – Dasar Ilmu Akhlak

Menolong orang lain, suka memberi, adil, dermawan, mengapa beberapa perbuatan tersebut dinilai sebagai kebaikan? Dan mengapa juga kebohongaan, kezaliman, kekerasan dinilai sebagai keburukan? Untuk menjawab pertanyaan yang muncul tersebut harus dijawab dengan argumen yang kuat dan mempunyai dasar. Perbuatan-perbuatan yang mempunyai nilai baik dan buruk, mempunyai dasar-dasar yang jelas. Pada pembahasan sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada ilmu yang membahas dan memberikan klarifikasi pada persoalan baik dan buruk, itulah Ilmu Akhlak. Tentunya ilmu tersebut mempunyai dasar. Adapun dasar-dasar Ilmu Akhlak adalah sebagai berikut:

a.        Alquran

Alquran sebagai dasar (rujukan) Ilmu Akhlak yang pertama, hal ini dinilai karena keotetikannya yang lebih tinggi, dibandingkan dengan dasar-dasar yang lain. Mengingat Alquran merupakan firman Tuhan, sehingga tidak ada keraguan baginya untuk dijadikan sebagai dasar atau asas. Dan tidak akan dibahas di sini, karena ada ilmu khusus yang membahasnya. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).

Nilai-nilai yang ditawarkan oleh Alquran sendiri sifatnya komprehensif. Perbuatan baik dan buruk sudah dijelaskan di dalamnya. Hanya saja, ada yang perlu diperhatikan. Mengingat ada banyak ayat-ayat Alquran yang membutuhkan penafsiran. Sehingga untuk memudahkan, orang-orang akan merujuk kepada Al-Hadits (sebagai Asbabun Nuzul suatu ayat) dan Al-Aqlu (penalaran akal). Sejauh manakah campur tangan kedua dasar tersebut pada persoalan Ilmu Akhlak? Pastinya Al-Hadits dan Al-Aqlu tidak akan merubah pesan yang ingin disampaikan oleh Alquran.

 

b.        Al-Hadits

Asbabul Wurud suatu hadits berbeda-beda. Ada hadits yang dikeluarkan oleh Rasulullah Saw. karena seorang sahabat bertanya kepadanya, karena Rasulullah Saw. menegur seorang sahabat, karena peringatan, dan penjelasan Rasulullah Saw. terhadap Alquran. Dalam riwayat Aisyah pernah ditanya oleh seseorang tentang akhlak Rasulullah Saw. Aisyah menjawab akhlak Rasulullah Saw. adalah Alquran.

Dengan demikian, Rasulullah Saw. merupakan interpretasi yang hidup terhadap Alquran. Karena segala ucapan (Qauliyah), perbuatan (Fi’liyah), dan penetapan (Taqririyah) merupakan sebuah wahyu dari Allah Swt., dan apa-apa yang datang dari Rasulullah Saw. senantiasa terjaga. Dapat disimpulkan bahwa Alquran dan Al-Hadits berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Swt. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).

Di dalam Alquran telah dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. itu pribadi yang agung, karena memang pada dirinya terdapat suri tauladan yang baik. Keistimewaan tersebut, tidak hanya diakui oleh umat Islam saja, akan tetapi non-muslim pun mengakui hal tersebut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Machael H. Hart tentang 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah, dia menuliskan nama Rasulullah Saw., yaitu Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muthalib di posisi pertama. Jelaslah bahwa tidak ada kecacatan dalam pribadi Rasulullah Saw., karena memang tugas diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak. (Sa’aduddin, 2006: 27-28).

 

c.         Al-Aqlu (Akal)

Salah satu anugrah Tuhan kepada manusia yang menjadi esensi dari dirinya adalah akal. Dengannya manusia dapat berfikir secara rasional, membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Jika manusia dimuliakan oleh Allah Swt. karena mempergunakan akalnya dengan baik, maka Allah Swt. akan memberikan ganjaran atas perbuatan baik yang telah dilakukan. Kedudukan manusia di mata Allah Swt. akan melebihi malaikat apabila mereka dapat menggunakan potensi yang telah diberikan dengan baik. Dan begitu pun sebaliknya, orang yang tidak menggunakan potensinya dengan baik, maka derajatnya lebih rendah dibandingkan dengan binatang. (Nasir, 1980: 96).

Mereka yang dapat selamat dari kesesatan adalah orang-orang yang senantiasa mempergunakan akalnya dengan baik. Kita lihat orang-orang yang tercerahkan sebelum datangnya Alquran, apa yang mereka jadikan dasar, tidak lain adalah akal mereka. Apakah Phytagoras, Anaximenes, Aristoteles, Plato, Socrates, Plotinus, dan beberapa filsuf lainnya berpegang teguh dan senantiasa mengamalkan Alquran, tentu tidak, Islam saja belum ada di zaman mereka. Tapi mereka terkenal sebagai orang-orang yang bijak. (Nasir, 1980: 96).

3.        Tujuan Kajian Ilmu Akhlak

Setelah mengetahui definisi dan dasar Ilmu Akhlak, maka akan dibahas tujuan dari pada Ilmu Akhlak ini sendiri. Guna memberikan kejelasan lanjutan, maka ada dua tujuan utama Ilmu Akhlak, yaitu: Tujuan Imu Akhlak adalah untuk menyempurnakan perilaku manusia dengan menyodorkan kebaikan. Dalam pembahasan Ilmu Akhlak dipaparkan tentang hal-hal yang baik dan buruk, guna memahamkan kita dalam bertingkah laku agar tidak salah mengambil langkah yang akan merugikan diri sendiri, maupun orang lain dalam lingkungan bermasyarakat. Pada dasarnya ada dua persoalan yang dibicarakan, yaitu pemaparan tentang kebaikan dan keburukan. Namun terdapat perbedaan, mempelajari kebaikan untuk mengerjakannya namun mempelajari keburukan untuk meninggalkannya, serta memberikan kecenderungan untuk berperilaku baik. (Kafie, 1993: 56).

 

4.        Ruang Lingkup Ilmu Akhlak

Ruang lingkup Ilmu Akhlak adalah membahas tentang perbuatan-pebuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Akhlak sebagai suatu disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya, seperti Tafsir, Tauhid, Fiqh, Sejarah Islam, dll.

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut, "Bahwa objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan tersebut ditentukan baik atau buruk. (Yusuf, 1993: 88-92).

Kemudian menurut Imam Al-Ghazali, akhlak menurutnya bahwa kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Dalam masyarakat Barat kata akhlak sering diidentikkan dengan etika, walaupun pengidentikkannya ini tidak sepenuhnya tepat. Mereka yang mengidentikkan akhlak dengan etika mengatakan bahwa etika adalah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia. Namun perlu ditegaskan kembali bahwa yang dijadikan objek kajian Ilmu Akhlak disini adalah perbuatan akhlak yang memiliki ciri-ciri dilakukan atas kehendak dan kemauan, sebenarnya mendarah daging dan telah dilakukan secara kontinyu atau terus-menerus dalam kehidupannya. (Yusuf, 1993: 88-92).

Imam Al-Ghazali membagi tingkatan keburukan akhlak menjadi empat macam, yaitu: a. Keburukan akhlak yang timbul karena ketidak sanggupan seseorang mengendalikan nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jahil (الخاهل); b. Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa meninggalkannya karena nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga pelakunya disebut al-jahil al-dhollu (الجاهل الضّالّ); c. Keburukan akhlak yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik. Maka pelakunya disebut al-jahil al-dhollu al-fasiq ( الجاهل الضّالّ الفاسق); d. Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada umumnya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan pengorbanan yang lebih hebat lagi. Orang yang melakukannya disebut al-jahil al-dhollu al-fasiq al-syarir ( الجاهل الضّالّ الفاسق الشّرير). (Yusuf, 1993: 88-92).

Menurut Imam Al-Ghazali, tingkatan keburukan akhlak yang pertama, kedua, dan ketiga masih bisa dididik dengan baik, sedangkan tingkatan keempat sama sekali tidak bisa dipulihkan kembali. Karena itu, agama Islam membolehkannya untuk memberikan hukuman mati bagi pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Sebab kalau dibiarkan hidup, besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang banyak.

5.        Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu – Ilmu Lainnya

a.         Hubungan dengan Ilmu Tasawuf

Antara Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf memiliki hubungan yang berdekatan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesama makhluk-Nya, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertikal antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak. Pengertian Ilmu Tasawuf adalah Ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa.

Para ahli ilmu tasawuf membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yaitu Tasawuf Falsafi, Tasawuf Akhlaki dan Tasawuf Amali. Ketiga macam ini mempunyai tujuan sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian, dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. (Yusuf, 1993: 88-92).

b.        Hubungan dengan Ilmu Tauhid

Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid merupakan hubungan yang bersifat berdekatan, sebelum membahas lebih jauh apa hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid terlebih dahulu kita mengingat kembali apa pengertian Ilmu Akhlak dan Ilmu Tauhid. Menurut Ibn Maskawih Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. (Yusuf, 1993: 88-92).

 Sedangkan Ilmu Tauhid adalah Ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan sebagai salah satu sifat yang terpenting diantara sifat Tuhan lainnya. Ilmu Tauhid dengan segala nama lainnya (Ushul al-Din, al-‘Aqaid), ilmu ini sangatlah penting yang tidak boleh dibuka atau dilepaskan begitu saja karena bahayanya sangat besar bagi kehidupan manusia. Selain itu Ilmu Tauhid juga disebut Ilmu Kalam. Dalam ilmu ini menimbulkan pertentangan yang cukup keras dalam umat Islam. Sebagian berpendapat kalam Tuhan itu adalah makhluk, sebagian berpendapat kalam Tuhan adalah qadim.

Hubungan Ilmu antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid dapat dilihat melalui beberapa analisis:

1)        Dilihat dari segi obyek pembahasannya, Ilmu Tauhid sebagaimana diuraikan di atas membahas masalah Tuhan baik dari segi dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan sehingga perbuatan yang dilakukan manusia semata-mata karena Allah Swt. Dengan demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia.

2)        Dilihat dari segi fungsinya, Ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Misalnya jika seseorang beriman kepada malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sifat-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Allah Swt. Percaya kepada malaikat juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan. (Yusuf, 1993: 88-92).

Dengan cara demikian percaya kepada malaikat akan membawa kepada perbaikan akhlak yang mulia. Dari uraian yang agak panjang lebar ini dapat dilihat dengan jelas adanya hubungan yang erat antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan perbuatan baik yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan bahasan terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Tauhid tampil memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak akan ada artinya dan akhlak yang mulia tanpa Tauhid tidak akan kokoh. Selain itu Tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut. Disinilah letaknya hubungan yang erat dan dekat antara Tauhid dan Akhlak. (Yusuf, 1993: 88-92).

c.         Hubungan dengan Ilmu Hukum

Antara Etika dan Hukum memiliki hubungan yang erat, karena pembahasannya sama-sama berkisar pada masalah perbuatan manusia. Tujuannya pun sama yakni mengatur perbuatan manusia demi terwujudnya keserasian, keselarasan, keselamatan dan kebahagiaan mereka. Bagaimana seharusnya bertindak, terdapat dalam kaidah-kaidah hukum dan kaidah-kaidah akhlak. Bedanya Hukum memberikan putusan hukuman perbuatan berupa sanksi-sanksi yang harus diterima pelaku sedangkan Etika menilai baik atau buruknya. (Yaqub, 1983: 19).

Dalam hukum Islam yang lengkap dan sempurna, perbuatan baik dan buruknya dinilai oleh akhlak, dan pasti ada kepastian hukumnya. Misalnya menyingkirkan duri di jalan, etika menilainya sebagai kelakuan baik, sedangkan dalam hukum Wadl’i tiada arti apa-apa. Namun dalam hukum Islam dinyatakan sebagai perbuatan yang dihukumkan sunat, yakni kalau dikerjakan mendapat pahala, bila tidak dikerjakan tidak berdosa. (Yaqub, 1983: 19).

d.        Hubungan dengan Ilmu Jiwa

Ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental yang terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ilmu ini meneliti tentang peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara hati (dhamir), kemauan (iradah), daya ingat, hafalan, prasangka (waham), dan kecenderungan-kecenderungan (awathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa yang menggerakkan perilaku manusia. (Sa’aduddin, 2006: 98-99).

Yaqub berpendapat bahwa,

Psikologi tidak dapat dilepaskan dari etika, karena etika sangat membutuhkannya. Psikologi membahas masalah kekuatan yang terpendam dalam jiwa, perasaan, faham, pengenalan, ingatan, kehendak dan sebagainya yang kesemuanya merupakan faktor-faktor penting dalam etika. Masalah-masalah kejiwaan itulah yang mempengaruhi dan melahirkan akhlaq dalam kehidupan manusia. (Yaqub, 1983: 20).

 

Ahmad Luthfi berpendapat, “ilmu akhlak tidak akan bisa dijabarkan dengan baik tanpa dibantu oleh ilmu jiwa (psikologi)”. Itulah yang menyebabkan Imam Al-Ghazali sebelum mengajar ilmu akhlak, beliau mengajarkan terlebih dahulu kepada muridnya mengenai ilmu jiwa, dan itulah mengapa Imam Al-Ghazali menyusun kitab Ma’arijul Qudsi Fi Madaariji Ma’riftin Nafsi. (Sa’aduddin, 2006: 98-99).

Ilmu jiwa mengarahkan pembahasan pada aspek batin yang di dalam Alquran diungkapkan dengan istilah insan. Dimana istilah ini berkaitan erat dengan kegiatan manusia yaitu kegiatan belajar, tentang musuhnya, penggunaan waktunya, beban amanah yang dipikulkan, konsekuensi usaha perbuatannya, keterkaitan dengan moral dan akhlak, kepemimpinannya, ibadahnya dan kehidupannya di akhirat. (Sa’aduddin, 2006: 98-99).

Quraish Shihab mengemukakan bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan sebaliknya. Dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi rohaniah secara lebih dalam dikaji dalam ilmu jiwa. Untuk mengembangkan ilmu akhlak kita dapat memanfaatkan informasi yang diberikan oleh ilmu jiwa. (Sa’aduddin, 2006, 98-99).

Dari nama-nama ilmu tentang tingkah laku manusia di atas beserta penjelasannya tak dapat dipungkiri bahwa seorang ahli bisa menggolongkan jenis kepribadian dasar manusia berdasarkan tingkah laku yang paling sering muncul dari seseorang, tujuannya adalah untuk memudahkan saling memahami dan bersikap antara manusia satu dengan manusia lainnya, diantara 4 jenis kepribadian dasar itu antara lain adalah:

1)        Sanguinis adalah kepribadian manusia dengan sifat suka bicara, sangat mudah bergaul, suka mengikuti trend, suka membesar-besarkan suatu hal, suara atau tawa yang terkadang berlebihan, mudah mengikuti suatu kelompok, sering terlambat, pelupa, sedikit kekanak-kanakan, egois, dan susah konsentrasi. Biasanya orang yang bertipe sanguinis akan terlihat mencolok dibandingkan anggota kelompok yang lain, meskipun ia bukan pemimpin kelompok tersebut.

2)        Koleris adalah kepribadian manusia dengan sifat suka memimpin, bisa membuat keputusan, dinamis, berkemauan keras, keras kepala, tidak sabaran, mudah emosi, suka pertentangan, bekerja keras, suka kebebasan, sulit mengalah, suka memerintah, produktif, suka kerja efisien, dan memiliki visi ke depan yang bagus. Orang yang berkepribadian koleris akan menjadi pemimpin dalam kelompoknya. Jika misalnya dalam kelompok tersebut sudah ada pemimpin, maka dia akan berani menentang pemimpin tersebut atau pergi membuat kelompok baru.

3)        Melankolis adalah kepribadian manusia dengan sifat analitis, sensitif, mau mengorbankan diri, pendendam, selalu melihat masalah dari sisi negatif, kurang bisa bergaul (bersosialisasi), tidak suka perhatian, hemat, perfeksionis, artistik, serius, sangat memperhatikan orang lain, kurang mampu menyatakan pendapat, dan lebih fokus pada cara dibandingkan tujuan. Internet adalah anugerah baginya, karena dari sanalah dia bisa mengatakan semua hal secara bebas (meskipun kadang kelewatan) Biasanya orang-orang seperti ini akan menjadi enterpreuneur yang hebat.

4)        Plegmatis adalah kepribadian manusia dengan sifat mudah bergaul, penyabar, selalu berusaha mencari jalan pintas, simpatik, sangat suka keteraturan, memiliki selera humor yang tinggi namun sarkastik (bersifat mengejek/menyinggung), kurang antusias pada hal baru, suka menunda, tidak suka dipaksa, lebih suka menonton daripada ikut terlibat, dan keras kepala. (Ichazo, 1950: 5-6).

Pemahaman seorang guru mengenai kepribadian dasar ini sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar, guru jadi tahu bagaimana harus bersikap kepada muridnya, dapat membimbing siswa dengan cara yang mampu mereka terima dan mengajarkan mereka sesuai dengan kondisi psikologis masing-masing anak sehingga kegiatan pembelajaran akan menjadi efektif.

Oleh karena itu, untuk membentuk kepribadian yang baik seorang anak atau seseorang dapat diketahui dari ke empat sifat tersebut jika seorang guru atau para orang tua bisa mendidik seseorang berdasarkan sifat kepribadian seorang anak maka anak tersebut akan menjadi anak yang berakhlak mulia, sopan santun, dan selalu mematuhi perkataan orang tuanya, tapi jika seorang anak dididik tidak berdasarkan sifat kepribadiannya maka akan sebaliknya.

e.         Hubungan dengan Ilmu Pendidikan

Ilmu pendidikan sebagai dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran kurikulum, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar mengajar dan lain sebagainya. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah Swt. yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepadanya. (Athoullah, 2005: 68-71).

Sementara itu Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya Al-Attas mengatakan bawa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah Swt. (Athoullah, 2005: 68-71).

Jika rumusan dari keempat tujuan pendidikan adalah terbentuknya seorang hamba Allah Swt. yang patuh dan tunduk melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusannya ini dengan jelas menggambarkan bahwa antara pendidikan Islam dengan ilmu akhlak ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak. Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, maka seluruh aspek pendidikan lainnya, yakni materi pelajaran, guru, metode, sarana dan sebagainya harus berdasarkan ajaran Islam. (Athoullah, 2005: 68-71).

f.          Hubungan dengan Ilmu Filsafat

Sebagaimana Ilmu Tasawuf, Ilmu Filsafat juga mempunyai hubungan yang berdekatan dengan Ilmu akhlak. Pengertian Ilmu Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Filsafat memiliki bidang-bidang kajiannya mencakup berbagai disiplin ilmu. Bagian-bagiannya meliputi: 1) Metafisika atau penyelidikan di balik alam yang nyata; 2) Kosmologia atau Penyelidikan tentang alam (filsafat alam); 3) Logika atau Pembahasan tentang cara berpikir yang cepat dan tepat; 4) Etika atau Pembahasan tentang tingkah laku manusia; 5) Theodicea atau Pembahasan tentang Ke-Tuhanan; 6) Antropologia atau Pembahasan tentang manusia. Dengan demikian, etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. (Yaqub, 1983: 20)

g.        Hubungan dengan Ilmu Masyarakat

Kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat tergantung dari perilaku individu sebagaimana diterangkan oleh Yaqub (1983: 20), bahwa Ilmu masyarakat (sosiologi) menerangkan perihal proses perkembangan masyarakat yang meliputi faktor-faktor pendorongnya sampai kepada tujuan gerakan-gerakan sosial. Demikian juga tentang faktor penghalang dan perintang tumbuhnya suatu masyarakat yang membuat keterbelakangnya dibandingkan dengan masyarakat lainnya yang telah maju. Mempelajari sosiologi menolong Ilmu Akhlak mendapatkan pengertian tingkah laku manusia dalam kehidupannya yang penting untuk menentukan penilaian baik buruknya tingkah laku itu.

Pokok utama kerasulan Rasulullah Saw. adalah menyempurnakan akhlak yang mulia. Mencakup semua bentuk sikap dan perbuatan yang terpuji dikalangan orang-orang (masyarakat) yang bertakwa. Di samping terpuji berdasarkan norma-norma yang ditetapkan Allah Swt. Akhlak mulia merupakan akhlak yang berlaku dan berlangsung di atas jalur Alquran dan perbuatan Rasulullah Saw. seperti di dalam Alquran surat Al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau Muhammad mempunyai akhlak yang mulia”. (Asmaran, 1994: 48-54).

Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk memelihara norma-norma (agama) di masyarakat terutama di dalam pergaulan sehari-hari baik keluarga rumah tangga, kerabat, tetangga dan lingkungan kemasyarakatan. Tolong-menolong untuk kebaikan dan takwa kepada Allah Swt. adalah perintah Allah Swt., yang dapat ditarik hukum wajib kepada setiap kaum muslimin dengan cara yang sesuai dengan keadaan objek orang bersangkutan, Allah Swt. berfirman dalam Alquran surat Al-Maidah, ayat 2:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$#

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah Swt., dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt., Sesungguhnya Allah Swt. amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah, 3: 2).

 

C.      Pendidikan Akhlak

1.        Pengertian Pendidikan Akhlak

Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabi’at yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. (Nata, 1997: 5-6).

Seorang anak yang berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah Swt. dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri hanya kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melakukan akhlak mulia. (Nata, 1997: 5-6).

Suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif, yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia, dimana dapat menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah tanpa harus direnungkan dan disengaja atau tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh yang indah dan perbuatan itu harus konstan (stabil) dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sering sehingga dapat menjadi kebiasaan. (Nata, 1997: 5-6).

 

2.        Dasar - dasar Pendidikan Akhlak

Dasar pendidikan akhlak adalah Alquran dan Al-Hadits, karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Alquran dan Al-Hadits sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Alquran sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah Saw. sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. Maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah Saw. sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-Qalam ayat 4:

y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (QS. Al-Qalam, 68: 4).

 

Bahwasannya Rasulullah Saw. dalam ayat tersebut dinilai sebagai seseorang yang berakhlak agung (mulia) Di dalam hadits juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya Rasulullah Saw. adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., bahwa: Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata, “menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin ‘Ijlan dari Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah Saw., ”Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad).

Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, dimana dengan pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan baik dan buruk, memilih satu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan. (Nata, 1997: 5-6).

 

3.        Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan menurut B. Umary, akhlak yang baik itu adalah salah satu tiang dari empat tiang pendidikan Islam. (Umary, 1983: 84).

Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan khusus, antara lain:

a.         Tujuan Umum

Menurut Barmawie Umary (1983: 87), bahwa tujuan pendidikan akhlak berlandaskan pada tujuan Islam. Sementara ajaran agama Islam mempunyai tiga tujuan, yaitu: a. Membangun persatuan umat secara teratur sesuai dengan perintah-perintah Allah Swt. dan ajaran-ajaran Rasulullah Saw. dalam segala aspek kehidupan, usaha, dan pergaulan; b. Memiliki segala syarat, sifat, kekuatan, kecakapan untuk memperoleh daya guna menyelamatkan bangsa dan negara; c. Menjaga tetap terpeliharanya hubungan baik, kerjasama, persatuan antara Umat Islam dengan golongan lain yang dapat diperoleh faedah, dan manfaatnya. Islam mempunyai prinsip, bahwa keutamaan, kebesaran, , kemuliaan, keberanian, hanya dapat dicapai karena “tauhid”, tegasnya menetapkan lahir batin: laa ilaaha illallah tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah Swt.

b.        Tujuan Khusus, yaitu diharapkan anak didik terbiasa berbuat baik, indah, mulia, serta menghindari yang jelek, hina, tercela.

 

4.        Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa dalam garis besarnya akhlak terbagi dalam dua bagian, pertama adalah akhlak kepada Allah Swt. /Khaliq (pencipta) dan kedua adalah akhlak kepada makhluknya (semua ciptaan Allah Swt.) dan ruang lingkup pendidikan akhlak, diantaranya adalah:

a.         Akhlak kepada Allah Swt.

Akhlak kepada Allah Swt. dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan yang Khaliq. Diantara akhlak kepada Allah Swt. adalah sebagai berikut.:

1)        Taat, perintah untuk taat kepada Allah Swt. ditegaskan dalam firman-Nya:

(#qãèÏÛr&ur ©!$# tAqߧ9$#ur öNà6¯=yès9 šcqßJymöè?

Dan taatilah Allah Swt. dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali Imran, 3: 132).

 

Dalam surah lainnya:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's?

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah Swt. dan taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Swt. (Alquran) dan Rasulullah Saw. (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa, 4: 59).

 

2)        Tawaddhu’

Tawaddhu’ adalah sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt., sebagaimana firman Allah Swt. :

ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# šcqàÊ̍÷èãB ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrߊ$yèø9$# ÇÐÈ

 

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, 2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, 3. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, 4. Dan orang-orang yang menunaikan zakat, 5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak terceIa. 7. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminun, 23: 1-7).

 

Untuk menumbuhkan sikap tawaddhu’, manusia harus menyadari asal kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf, ikhlas, bersyukur, sabar, dan sebagainya. (Kamil, 1975: 81-82).

3)        Tawakkal, yaitu mempercayakan hasil kepada-Nya dalam melaksanakan pekerjaan yang telah direncanakan dengan mantap firman Allah Swt. :

$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#

 

Maka disebabkan rahmat dari Allah Swt.-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali-Imran, 3: 159).

 

4)        Taubat, yaitu sikap menyesali perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dan berusaha menjauhinya, serta melakukan perbuatan baik. Firman Allah Swt. :

$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R 4Ó|¤tã öNä3š/u br& tÏeÿs3ムöNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6n=Åzôãƒur ;M»¨Zy_ ̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻yg÷RF{$#

 

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah Swt. dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Tuhanmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surganya yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (QS. At-Tahrim, 66: 8).

 

5)        Tasyakur, yaitu berterimakasih atas pemberian Allah Swt. dan merasa cukup atas pemberian-Nya. Firman Allah Swt. :

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=à2 `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB öNä3»oYø%yu (#rãä3ô©$#ur ¬! bÎ) óOçFZà2 çn$­ƒÎ) šcrßç7÷ès?

Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah Swt., jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah, 2: 172).

 

b.        Akhlak kepada Dirinya

1)        Memelihara kesucian Diri: Memelihara kesucian diri adalah menjaga kebersihan diri dari segi jasmani dan jauh dari najis. Kitab Fiqih umumnya membahas tentang masalah ini dalam bagian pertama yang disebut Thaharah. Allah Swt. memuji orang yang suka membersihkan diri:

Ÿw óOà)s? ÏmÏù #Yt/r& 4 îÉfó¡yJ©9 }§Åcé& n?tã 3uqø)­G9$# ô`ÏB ÉA¨rr& BQöqtƒ ,ymr& br& tPqà)s? ÏmÏù 4 ÏmÏù ×A%y`Í šcq7Ïtä br& (#r㍣gsÜtGtƒ 4 ª!$#ur =Ïtä šúï̍Îdg©ÜßJø9$#

Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri dan sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah, 9: 108).

 

Kesucian bukan saja apa yang terlihat dari luar, akan tetapi juga apa yang kita makan dan akan menjadi darah daging kita juga harus suci. Oleh karena itu, jika apa yang kita makan atau kita usahakan berasal dari sumber yang baik dan halal, maka baik pula apa yang ada di dirinya. Allah Swt. Swt berfirman:

$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2: 168).

Dan makanan yang paling baik adalah makanan yang didapat dari usaha sendiri sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda: ”Sebaik-baik nafkah adalah yang berasal dari usahanya sendiri”. (HR. Bukhari).

2)        Memelihara Kerapihan Diri: Disamping membersihkan rohani dan jasmani, perlu diperhatikan faktor kerapihan sebagai manifestasi adanya disiplin pribadi dan keharmonisan pribadi.

ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$#

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf, 7: 31).

 

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Allah tidak menyukai hal yang berlebih-lebihan. Hal ini diperkuat dengan hadits Rasulullah Saw. beliau bersabda, ”Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji zarrah”. Maka berkatalah seorang laki-laki, ”Sesungguhnya orang biasanya suka berpakaian indah memakai sandal yang indah”. Nabi menjawab, ”Sesungguhnya Allah Swt. Maha Indah dan menyukai keindahan”. Dari hadits ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah suka dengan keindahan yang tidak menimbulkan kesombongan. (Yaqub, 1983: 139).

3)        Berlaku Tenang: Ketenangan dalam sikap termasuk dalam rangkaian Akhlaqul Mahmudah sebagaimana yang dikemukakan dalam Alquran:

ߊ$t7Ïãur Ç`»uH÷q§9$# šúïÏ%©!$# tbqà±ôJtƒ n?tã ÇÚöF{$# $ZRöqyd #sŒÎ)ur ãNßgt6sÛ%s{ šcqè=Îg»yfø9$# (#qä9$s% $VJ»n=y

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. Furqan, 25: 63).

 

Dijelaskan pula oleh Rasulullah Saw. Saw, ”Sikap terburu-buru itu termasuk dari ganguan Syaithan”. (HR. Tirmidzi).

4)        Menambah Pengetahuan: Hidup penuh dengan pergulatan dan kesulitan oleh karena itu untuk mengatasinya manusia berkewajiban belajar dan mencari pengetahuan sebagai bekal untuk memperbaiki kehidupannya di dunia ini. Allah Swt. menerangkan dalam Alquran:

ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$#

(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”, “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar, 39: 9).

(Yaqub, 1983: 140).

5)        Membina Disiplin Diri: Salah satu kewajiban terhadap diri sendiri adalah menempa diri sendiri, melatih diri sendiri untuk membina disiplin pribadi. Disiplin diri membutuhkan sikap terpuji. Orang yang tidak memiliki disiplin pribadi, tidak akan berhasil mencapai tujuan dan cita-citanya. Karena itulah maka setiap pribadi harus berlatih membinanya melalui latihan, mawas diri, dan pengendalian diri. (Yaqub, 1983: 140).

c.         Akhlak Perguruan

1)        Akhlak Murid dalam Belajar

Murid adalah seseorang yang belajar kepada orang lain yang memiliki ilmu yang lebih tinggi, maka orang yang berilmu itu disebut guru meskipun usianya lebih muda.

Consuelo menentukan Akhlak Murid dalam Belajar sebagai berikut: Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu’ain untuk dipelajari; Harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu’ain; Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama; Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); Tanamkan rasa antusias/semangat dalam belajar; Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian; Membersihkan niat; Tidak menunda-nunda kesempatan belajar; Bersabar dan qana’ah terhadap segala macam pemberian dan cobaan; Pandai mengatur waktu; Menyederhanakan makan dan minum; Bersikap hati-hati (wara’); Menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan; Menyedikitkan waktur tidur selagi tidak merusak kesehatan dan meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah. (Consuelo, 1993: 110-112).

Diantara pendapat Consuelo di atas dikuatkan oleh pendapat lain sebagai berikut:

a)        Membersihkan Niat: hendaklah seorang murid memasang niat yang suci dalam hatinya. Jika niat sudah suci maka akan mudah pelajaran masuk ke dalam hatinya. Niat yang penuh keikhlasan menyingkirkan syetan dan mengundang Nur Ilahi. Imam Syafi’i pernah melaporkan kepada Imam Waki’ (gurunya) mengapa hafalannya menjadi buruk. Maka Imam Waki’ menganjurkan supaya meninggalkan perbuatan yang cenderung menjadi dosa. Ilmu itu sesungguhnya cahaya Allah Swt. dan tidak akan diberikan kepada orang yang durhaka. (Yaqub, 1983: 160).

b)        Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu’ain dan Ilmu Pendukung Fardhu’ain: Menurut Ukkasyah (2015), definisi ilmu fardhu’ain adalah “Ilmu yang jika tidak diketahui oleh seorang hamba, menyebabkannya tidak bisa menunaikan kewajibannya, sehingga ia terjatuh ke dalam dosa. Dengan kata lain, seseorang jika tidak mempelajari Ilmu Fardhu’ain akan jatuh ke dalam dua kemungkinan, yaitu tidak bisa melaksanakan perintah Allah atau melakukan hal yang dilarang Allah Swt. yang wajib ditinggalkan.

Ulwan (2007: 184), ia mengatakan bahwa agar anak senantiasa mengingat Allah Swt., hendaknya anak ditekankan untuk mempelajari pemikiran-pemikiran yang dapat mendekatkan dirinya kepada penciptanya. Cara pengajaran seperti ini telah diterapkan oleh salaf zaman dahulu dalam mengajarkan anak-anak mereka. Jika para pendidik, ayah atau ibu menerapkan cara dan dasar pendidikan ini, tidak mustahil bila dalam waktu yang relatif singkat mereka sudah dapat menciptakan suatu generasi muslim yang militan, bangga dengan agamanya, sejarah dan para pahlawannya yang mulia. Sehingga tercipta suatu masyarakat yang bersih dari kekufuran, kedengkian, dan tindak kejahatan yang penuh dengan dosa.

Firman Allah Swt.:

öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)­G=Ï9

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha, 20: 132)

 

Begitupula dengan hadits Rasulullah Saw. yang artinya, ”Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun dan pukullah mereka pada saat telah mencapai usia sepuluh tahun dan pisahkanlah antara mereka dalam ranjang tidur mereka”. (HR. Sunan Abu Daud).

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ilmu yang wajib diketahui karena menyangkut tata cara ibadah kepada Allah Swt. disebut Ilmu Fardhu’ain sedangkan Ilmu Pendukung Ilmu Fardhu’ain disebut Ilmu Kifayah hal ini sebagaimana yang dikatakan Ukkasyah (2015) mengutip pendapatnya Utsaimin dalam bukunya Kitabul Ilmi ia mengatakan bahwa Ilmu Fardhu’ain adalah ilmu yang menjadi syarat bisa terlaksananya ibadah dengan benar oleh seorang hamba atau mu’amalah, maka pada keadaan ini ia wajib mengetahui ilmunya adapun ilmu-ilmu selain itu adalah Ilmu Fardu Kifayah. Dari penuturan Utsaimin dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu fardu kifayah adalah ilmu yang tidak menjelaskan tata cara ibadah serta mu’amalah, melainkan pendukung keduanya seperti Ilmu Matematika, Ilmu Bahasa, Ilmu Sejarah dan sebagainya.

c)        Tidak menunda-nunda kesempatan belajar: Dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11, Allah Swt. berfirman:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: ”Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: ”Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah Swt. akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Swt. Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah, 58: 11).

 

Memperhatikan pelajaran dengan serius, Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, ”Telah berkata Ibnu Mas’ud: ”Adakah Rasulullah Saw. apabila berdiri di atas mimbar, kami sekalian menghadap beliau dengan wajah-wajah kami”. (HR. At-Tirmidzi).

Dalam hadits lain, diingatkan perlunya diam di kala khotbah (pengajaran) berlangsung, gunanya agar materi pelajaran itu dapat diserap dengan baik. (Yaqub, 1983: 160).

d)        Bersabar

Allah Swt. berfirman:

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$#

 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah Swt.. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah Swt.-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’du, 13: 28).

 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Ust. Abdullah Taslim, M. A. yang dikutip dari kitab Igaatsatul lahfaan karangan Imam Ibnu Qayyim. Beliau berkata,

Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Maka ditanya, ”Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab, ”Cinta kepada Allah Swt., merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, serta dengan merasa bahagia ketika berdzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya. (Taslim, 2010).

 

e)        Qana’ah

Pada dunia sufi, dua fase dalam istilah tasawuf disebut takhalli (mengosongkan diri) dan tahalli (menghias diri). Qana’ah ini termasuk ke dalam istilah takhalli. Melalui dua jalan ini seorang sufi akan mencapai apa yang disebut tajalli atau tampak berbagai rahasia ketuhanan yang tidak dirasakan oleh manusia pada umumnya. (Bakhri, 2015: xxvii).

Rasulullah Saw. bersabda, “lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina nikmat Allah Swt. yang dilimpahkan kepada kalian”. (Muttafaq ‘Alaih)

Allah Swt. Berfirman:

bÎ)ur y7ó¡|¡ôJtƒ ª!$# 9hŽÛØÎ/ Ÿxsù y#Ï©%Ÿ2 ÿ¼ã&s! žwÎ) uqèd ( cÎ)ur x8÷ŠÌãƒ 9Žösƒ¿2 Ÿxsù ¨Š!#u ¾Ï&Î#ôÒxÿÏ9 4 Ü=ŠÅÁム¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t6Ïã 4 uqèdur âqàÿtóø9$# ÞOŠÏm§9$#

Jika Allah Swt. menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah Swt. menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus, 10: 107).

 

f)         Adanya Keinginan/kehendak

Keinginan/kehendak yang dipilih inilah yang disebut kecenderungan/kemauan atau iradah. Dengan kata lain iradah atau kehendak atau kemauan ialah keinginan/kecenderungan yang dipilih di antara kecenderungan yang banyak setelah bimbang. (Dzatnika, 1996: 51).

Berbeda dengan Amin (1995: 48-49), ia mengemukakan bahwa kehendak ialah manusia daripadanya timbul segala perbuatan yang hasil dari kehendak dan segala sifat manusia dan kekuatannya seolah-olah tidur nyenyak sehingga dibangunkan oleh kehendak. Para ahli berpendapat bahwa keinginan yang menang ialah yang alamnya lebih kuat, meskipun ia bukan keinginan yang lebih kuat, keinginan yang menang ialah disebut Rohbah lalu datang ‘azzam atau niat berbuat. (Amin, 1995: 48-49).

Azzam yaitu kemauan keras yang harus dimiliki seorang murid dalam belajar. Allah Swt. berfirman:

÷ŽÉ9ô¹$$sù $yJx. uŽy9|¹ (#qä9'ré& ÏQ÷yèø9$# z`ÏB È@ߍ9$# Ÿwur @Éf÷ètGó¡n@ öNçl°; 4 öNåk¨Xr(x. tPöqtƒ tb÷rttƒ $tB šcrßtãqムóOs9 (#þqèVt7ù=tƒ žwÎ) Zptã$y `ÏiB ¤$pk¨X 4 Ô÷»n=t/ 4 ö@ygsù à7n=ôgムžwÎ) ãPöqs)ø9$# tbqà)Å¡»xÿø9$#

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46: 35). (Yaqub, 1983: 160).

 

Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku manusia adalah kemauan keras. Itulah yang menggerakan manusia berbuat dengan sungguh-sungguh. (Yaqub, 1983: 73)

Apabila seseorang telah ber’azzam, maka seberat apapun akan ia lakukan karena dorongannya yang kuat itulah dia jadi terlihat hebat karena perbuatan yang di’azzamkan biasanya adalah perbuatan yang membutuhkan perjuangan untuk dilakukan. Misalnya, seseorang yang rela bekerja hingga larut malam demi cita-citanya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. (Dzatnika, 1996: 48).

Kehidupan para Rasul dan Rasulullah Saw. adalah contoh yang baik dalam ber’azzam. Allah Swt. berfirman:

÷ŽÉ9ô¹$$sù $yJx. uŽy9|¹ (#qä9'ré& ÏQ÷yèø9$# z`ÏB È@ߍ9$# Ÿwur @Éf÷ètGó¡n@ öNçl°; 4 öNåk¨Xr(x. tPöqtƒ tb÷rttƒ $tB šcrßtãqムóOs9 (#þqèVt7ù=tƒ žwÎ) Zptã$y `ÏiB ¤$pk¨X 4 Ô÷»n=t/ 4 ö@ygsù à7n=ôgムžwÎ) ãPöqs)ø9$# tbqà)Å¡»xÿø9$#

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46: 35).

 

Dalam Hadits Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: ”Sesungguhnya amal itu sesuai dengan niat. Dan sesungguhnya setiap manusia akan memperoleh menurut yang diniatkannya. (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian kehendak ini mendapat perhatian dari ilmu akhlak, karena baik buruknya suatu perbuatan dapat dilihat dari niatnya saat ber’azzam. Ketika ‘azzamnya baik maka baik pula perbuatan itu, begitu juga sebaliknya. (Dzatnika, 1996: 48).

g)        Mencari Ridha Allah:

Sebelum belajar, niatkan bahwa tujuan kita hendak belajar adalah karena mencari keridhaan Allah, salah satu caranya yaitu dengan mendapatkan ridha dari orang tua terlebih dahulu. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: ”Ridha Allah Swt. tergantung pada ridha Orang Tua dan murka Allah Swt. tergantung pada murka orang tua”. (HR. Hasan At-Tirmidzi).

Dalam Alquran Allah Swt. berfirman:

4Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan”ah”dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra’, 17: 23).

 

h)        Tirakat atau Mendekatkan Diri kepada Allah Swt.

Tirakat atau mendekatkan diri kepada Allah Swt. adalah hal biasa yang dilakukan oleh seorang sufi. Dari pengertiannya, tirakat dalam bahasa Arab disebut Riyadhah, atau dalam bahasa Indonesia disebut batin, yaitu suatu usaha mengolah batin seseorang dengan jalan laku ritual tertentu supaya apa yang dicita-citakan diberi kemudahan atau keberhasilan. Tujuan tirakat dalam supranatural adalah mengasah. Jika diibaratkan do’a adalah pisau, maka semakin diasah, semakin tajam juga do’a tersebut. Untuk menajamkan do’a itu ada amalan-amalan tertentu yang perlu dilakukan dan itulah yang disebut tirakat.

Beberapa ulama mengatakan bahwa tirakat dengan surah Yasin memiliki keistimewaan salah satunya seperti yang dikutip Bakhri (2015: 21), dari kitab Tafsir Ibn Katsir “Jika surah Yasin dibaca ketika menghadapi kesulitan maka Allah Swt. akan mempermudahnya. Jika surah Yasin dibacakan untuk orang yang menghadapi sakaratul maut, maka turunlah rahmat dan berkah serta dapat mempermudah keluarnya ruh dari jasad”. (Bakhri, 2015: 21).

Selain itu, taat kepada Allah Swt. ditegaskan dalam firman-Nya:

(#qãèÏÛr&ur ©!$# tAqߧ9$#ur öNà6¯=yès9 šcqßJymöè?

Dan taatilah Allah Swt. dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali Imran, 3: 132).

 

Dalam surah lainnya:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's?

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah Swt. dan taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Swt. (Alquran) dan Rasulullah Saw. (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa, 4: 59).

 

i)         Mandiri: Yaitu sikap tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain, mampu berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Rasulullah Saw. bersabda: ”Sebaik-baik nafkah adalah yang berasal dari usahanya sendiri”. (HR. Bukhari). Oleh karena itu, jika apa yang kita makan atau kita usahakan berasal dari sumber yang baik dan halal, maka baik pula apa yang ada di dirinya, Allah Swt. Swt berfirman:

$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2: 168).

 

j)         Mengamalkan Ilmu: firman Allah Swt. dalam QS. At-Taubah: 122, Allah Swt. berfirman:

 $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122).

 

2)        Akhlak Murid kepada Guru

Menurut pendapat Consuelo, Akhlak Murid terhadap Guru adalah sebagai berikut: Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh guru; Memilih guru yang wara’(berhati-hati) disamping profesional; Mengikuti jejak-jejak guru; Memuliakan guru; Memperhatikan apa yang menjadi hak guru; Bersabar terhadap kekerasan guru; Berkunjung kepada guru pada tempatnya; Duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan dengan guru; Berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut; Dengarlah segala fatwanya; Jangan sekali-kali menyela ketika guru sedang menjelaskan; Gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya. (Consuelo, 1993: 110-112).

a)        Memilih Guru yang Wara’ disamping Professional

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, “Sesungguhnya diantara tanda hari kiamat adalah, ilmu diambil dari orang – orang kecil (yaitu ahli bid’ah)”. (HR. Ibnul Mubarak).

Berikut adalah perkataan ulama yang dikutip oleh Atsari (2009) yang berkaitan dengan hal tersebut, Ali bin Abi Thalib berkata, ”Perhatikan dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesunggunya ia adalah agama”. Abdullah bin Mas’ud juga mengatakan, “Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa”. (Atsari, 19 Desember 2009)

b)        Mengikuti Jejak Guru: Mengikuti jejak guru tentunya karena guru adalah orang yang harus digugu dan ditiru. Agar ilmu kita dapat bermanfaat maka berguru lah kepada orang-orang yang dekat kepada Allah Swt.

Firman Allah Swt. Swt:

`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB

Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa, 4: 115).

 

Dan dalam Firman Allah Swt. yang lain:

÷bÎ*sù (#qãZtB#uä È@÷VÏJÎ/ !$tB LäêYtB#uä ¾ÏmÎ/ Ïs)sù (#rytG÷d$# ( bÎ)¨r (#öq©9uqs? $oÿ©VÎ*sù öNèd Îû 5-$s)Ï© ( ãNßgx6Ïÿõ3u|¡sù ª!$# 4 uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$#

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah Swt. akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2: 137).

 

c)        Patuh dan Hormat Kepada Guru: Guru adalah orang yang berjasa kepada kita, karena mereka mengajarkan apa-apa yang tidak kita ketahui menjadi tahu, dari salah menjadi benar. Rasulullah Saw. bersabda sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abul Hasan Al-Mawardi, pertama yang artinya: ”Muliakanlah orang yang kamu belajar daripadanya”. Dan kedua: ”Muliakanlah guru-guru Agama, karena barang siapa memuliakan mereka, maka berarti ia memuliakan daku”.

3)        Akhlak Seorang Guru

Dalam suasana pengajaran berlangsung, guru berhadapan dengan murid (pelajar). Dalam hubungan ini guru harus berpegang kepada kode etik yang sesuai dengan fungsinya,

Consuelo menentukan Akhlak Guru dalam mengajar sebagai berikut: Mensucikan diri dari hadats dan kotoran; Berniat ibadah ketika dalam mengajar ilmu kepada anak didik; Menggunakan metode yang mudah dipahami peserta didik; sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah Swt. Biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, Berilah salam ketika masuk ke kelas; Sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu dengan berdo’a, Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya, Selalu melakukan introspeksi diri; Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam; Lemah lembut, jelas, tegas, lugas serta tidak sombong; Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu. (Consuelo, 1993: 110-112).

Dari konsep Akhlak seorang Guru dapat disimpulkan bahwa seorang Guru harus Niat Ikhlas, mempergunakan metode yang mudah dipahami oleh murid, berikut penguatan dari Pendapat Consuelo di atas:

a)         Berniat Ibadah: Hendaklah guru mengajarkan ilmu yang dimilikinya dengan penuh keikhlasan hati karena mengharapkan keridhaan Allah Swt.

Sebagaimana dalam hadits, Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, ”Hanyalah pekerjaan itu (tergantung) kepada niat. Dan sesungguhnya setiap manusia memproleh apa yang diniatkannya. (HR. Bukhari). (Yaqub, 1983: 158).

b)        Menggunakan Metode yang Mudah dipahami Peserta Didik: Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim: ”Mudahkanlah, jangan mempersulit dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membuat manusia lari”, dan hadits lain”Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah Swt. akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah Swt. akan memudahkannya di dunia dan di akhirat”(HR. Muslim).

Begitupun dalam firman Allah Swt.:

. . . . . . 3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@

. . . . . Allah Swt. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah Swt. atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah, 2: 185).

 

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, ”Siapa yang tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada manusia, niscaya tidak pula dikasihi oleh Allah Swt. (HR. Bukhari dan Muslim). (Yaqub, 1983: 158).

c)         Tanggung Jawab: Menjadi seorang guru harus bertanggung jawab terhadap peserta didiknya, karena nanti akan dimintai pertanggung jawaban.

Rasulullah Saw., ”Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya”. Maka dalam kegiatan Belajar Mengajar, Guru adalah pemimpinnya dan murid adalah apa yang dipimpinnya. (Baqi, 1993: 562-563).

d)        Hikmah Kebijaksanaan: Guru yang bijaksana akan memiliki kemungkinan mengajar efektif lebih besar, dan itu dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam mengajar. Allah Swt. berfirman:

äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q. S An-Nahl, 16: 125).

 

Sehubungan dengan ayat ini, khatib perlu berlaku bijaksana dalam berdakwah, antara lain: menyederhanakan perkataan sehingga mudah dimengerti, sopan, ringkas dan tepat dalam pembicaraan. (Yaqub, 1983: 159).

e)         Mendidik dengan Keterampilan Eksoterik

Sebagaimana Firman Allah Swt. :

Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$#

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Swt. telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Qashash, 28: 77)

 

Firman Allah Swt. yang lain:

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56).

 

Syekh Abdul Qadir Jailani pernah berkata “Barang siapa ingin menjadi baik, maka jadilah tanah di bawah telapak kaki para guru” di sini Syekh mengibaratkan murid dengan tanah, maksudnya adalah bahwa guru sebagai pembimbing harus memberikan arahan kepada muridnya dan murid harus patuh kepada guru karena guru yang baik tidak akan pernah menjerumuskan. (Bakhri, 2016: xxx-xxxi).

f)         Memilih Waktu yang Tepat: Untuk menjaga agar murid tidak jenuh, maka guru harus pandai mengatur waktu kapan serius dan kapan adanya hiburan, dan guru harus pandai menentukan jadwal pelajaran yang tepat.

Abu Wa’il (Syaqiq) bin Salamah berkata: ”Biasanya Ibnu Mas’ud memberikan ceramah kepada kami setiap hari Kamis”, maka orang berkata kepadanya, ”Hai Abu Abdurrahman (Ibnu Mas’ud) saya ingin kalau Engkau mengajar setiap hari”, Ibnu Mas’ud menjawab, ”Tiada halangan untuk memberikan ceramah setiap hari, hanya saja saya khawatir menjemukan kalian. Saya sengaja memberi waktu yang jarang dalam pengajaran sebagaimana sikap Rasulullah Saw. Atas kami dalam mengajar jangan sampai kami jemu”. (HR. Bukhari). (Yaqub, 1983: 159).

g)        Memberi Teladan: Guru tidak hanya mengajar dalam bentuk lisan, namun yang lebih penting ialah guru harus memberikan contoh perbuatan (teladan) yang baik yang mudah ditiru oleh murid-muridnya. Allah Swt. Swt berfirman:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs?

2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. 3. Amat besar kebencian di sisi Allah Swt. bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff, 61: 2-3). (Yaqub, 1983: 159).

h)         

d.        Akhlak kepada Sesama Manusia

Akhlak kepada sesama manusia, antara lain meliputi akhlak kepada Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat, antara lain:

1)        Akhlak kepada Rasulullah Saw., yaitu taat dan cinta kepadanya, mentaati Rasulullah Saw. berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman Allah Swt. :

`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym

Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt., dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa, 4: 80).

 

2)        Akhlak kepada Orang Tua, yang dimaksud orang tua di sini adalah ibu dan bapak, tiada yang lebih berjasa kepada kita selain mereka. Keduanya telah menanggung kesulitan dalam memelihara dan membesarkan kita. Derajat orang tua begitu tinggi hingga keridhaan Allah Swt. bergantung dari ridha Orang Tua. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: ”Keridhaan Allah Swt. tergantung pada ridha Orang Tua dan murka Allah Swt. tergantung pada murka orang tua”. (HR. Hasan At-Tirmidzi), karena itu Allah Swt. memuliakan mereka dengan mengajarkan Akhlak Islam kepada anak-anaknya supaya anak-anaknya itu dapat membalas kebaikannya dengan: a) Patuh: memenuhi perintah orang tua, kecuali dalam hal maksiat kepada Allah Swt. Rasulullan Saw. bersabda yang artinya, ”Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama”. (HR. Ahmad dan dishahihkan Al-Bani dalam Shahih Jami’); b) Berkata lemah lembut, di dalam Alquran Allah Swt. berfirman:

4Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan”ah”dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra’, 17: 23).

 

c) Memohon rahmat dan maghfirah, Allah Swt. berfirman:

 

ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’, 17: 24).

 

Akhlaqul karimah kepada guru diantaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya. (Kamil, 1975: 81-82).

Menurut Barmawie Umary (1983: 82) Akhlak kepada guru adalah hormat dan cinta kepada guru, duduk dengan penuh adab, memperhatikan pelajarannya, mengamalkan nasehatnya, setiap masalah yang tiada difahami ditanyakan dengan baik, bercakap dengan suara sederhana, dengarkan perkataannya, dan mentaati segala peraturan sekolah.

3)        Akhlak kepada Tetangga dan Masyarakat

Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat, umat, dan kemanusiaan seluruhnya. Diantaranya sebagai berikut:

a)        Memberi dan menjawab salam: merupakan kewajiban setiap muslim, karena salam merupakan ucapan do’a keselamatan.

b)        Tidak boleh mengejek atau merendahkan orang lain dengan membicarakan kekurangannya atau membuka aib dan cacatnya atau menjulukinya dengan sesuatu yang menyakitkan hatinya adalah suatu sikap yang tercela.

c)        Memenuhi janji: janji adalah amanah yang wajib dipenuhi baik kepada orang muslim maupun non-muslim. Dalam agama Islam janji disetarakan dengan hutang, hutang wajib hukumnya untuk dibayar/ditepati. Allah Swt. berfirman:

(#qèù÷rr&ur ÏôgyèÎ/ «!$# #sŒÎ) óO?yg»tã Ÿwur (#qàÒà)Zs? z`»yJ÷ƒF{$# y÷èt/ $ydÏÅ2öqs? ôs%ur ÞOçFù=yèy_ ©!$# öNà6øn=tæ ¸xŠÏÿx. 4 ¨bÎ) ©!$# ÞOn=÷ètƒ $tB šcqè=yèøÿs?

 

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah Swt. apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah Swt. sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah Swt. mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. An-Nahl, 16: 91).

 

4)        Akhlak kepada Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Alquran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. , dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan seorang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah”umat”Tuhan yang seharusnya diperlakukan secara wajar dan baik. (Kamil, 1975: 81-82).

Diantara akhlak manusia terhadap hewan adalah dengan tidak menyakiti binatang yang kecil atau membunuhnya dengan sengaja tanpa alasan yang jelas, akhlak terhadap tumbuhan misalnya dengan memelihara pohon, memberinya pupuk dan menyiramnya, agar tanaman itu memberikan buah atau hasil yang berguna bagi manusia atau makhluk lainnya. (Kamil, 1975: 81-82).

 

5.        Faktor-Faktor yang mempengaruhi Akhlak

Faktor yang turut mencetak dan mempengaruhi tingkah laku seseorang menurut Yaqub (1983: 55) adalah insting (naluri), kebiasaan, turunan, lingkungan (milieu), kehendak, suara hati (dhamir) dan pendidikan. Sementara menurut Dzatnika (1996: 73) ada dua faktor yang mempengaruhi akhlak seseorang, yaitu:

a.         Faktor Eksternal atau faktor dari luar dirinya yang meliputi: Keturunan, Lingkungan, Pendidikan, dan Penguasa/Pemimpin. Penjelasannya sebagai berikut:


 

1)        Keturunan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa keturunan memiliki andil besar untuk memberikan pengaruh kepada turunannya, baik itu dari segi fisik, emosi maupun kecerdasannya. Jelasnya bahwa apa yang dimiliki ibu-bapak dan nenek moyangnya diwariskan kepada anak, cucu atau keturunannya kelak. Jika seandainya ada seorang anak yang memiliki karakter yang tidak dimiliki ibu-bapaknya, bisa jadi itu diturunkan dari nenek-kakeknya atau dari buyutnya.

Menurut Yaqub (1983: 67), manusia yang berasal dari satu keturunan di mana dan pembawaan yang bersamaan, misalnya bentuk badan, perasaan, akal dan pemikiran. Dengan sifat-sifat manusia yang diwariskan dari satu nenek moyang, maka manusia dapat menundukkan alam, sedangkan keistimewaan itu tidak diwariskan (diturunkan) kepada hewan karena berlainan keturunan.

Dalam Alquran dikemukakan:

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah Swt. menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah Swt. memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. An-Nisa, 4: 1).

 

2)        Lingkungan

Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan luar rumah tangga/keluarga tempat kita hidup sehari-hari, tempat kita bergaul atau sekitar yang ada di kanan kiri kita (Dzatnika, 1996: 95), sementara menurut Yaqub (1983: 70) ialah salah satu faktor yang menentukan kekuatan seseorang atau suatu masyarakat adalah lingkungan. Suatu lingkungan itu dapat mengubah pola pikir kita, yang awalnya kita berasumsi sesuatu di pikiran kita tanpa mengalaminya. Maka setelah kita bergaul dengan lingkungan yang kita asumsikan tadi bisa berbeda. Sehingga dapat mempengaruhi pikiran, tingkah laku dan sifat seseorang. (Dzatnika, 1996: 95).

3)        Pendidikan

Dalam melaksanakan pendidikan akhlak hendaknya ada suatu pola yang dapat memberi kesan yang sungguh-sungguh bagi murid, pelajar dan mahasiswa, yang memungkinkan teori-teori akhlak dapat direalisasikan dan tercermin dalam pergaulannya. Sementara itu menurut Dzatnika (1996: 99), pembimbing, pengarah, pengembangan serta penyaluran bakat anak oleh para guru inilah yang diharapkan akan membentuk mental dan akhlak didik menjadi yang berguna dalam masyarakat. (Dzatnika, 1996: 99).

Pendidikan turut menyumbang dalam mematangkan kepribadian manusia menjadi lebih dewasa hingga perilakunya sesuai dengan pendidikan yang telah diterimanya. Menurut Dzatnika (1996: 101) faktor sekolah yang mempengaruhi anak didik bukan pribadi dan usaha saja melainkan lingkungan sekolah, kebiasaan serta segala yang dapat memberikan stimulan kepada siswa melalui panca inderanya, semua akan memberikan pengaruh pada mental siswa di dalam dan di luar sekolah. (Dzatnika, 1996: 99).

4)        Penguasa/Pemimpin

Dzatnika (1996: 110) menuturkan yang dimaksud dengan penguasa atau pemimpin yaitu suatu kelompok atau masyarakat yang mempunyai kekuasaan baik formal maupun non formal, baik penguasa/pimpinan dan masyarakat dalam lingkungan yang besar. Pemimpin secara langsung atau tidak langsung mempunyai pengaruh dalam pembentukan mental atau akhlak seseorang atau anggota masyarakat. (Dzatnika, 1996: 110).

Pemerintah mempunyai wewenang atau kebijakan untuk mengatur apa yang dipimpinnya, maka peranan pemerintah dalam pembinaan moral dan akhlak sangat menentukan kepribadian bangsa. Pemimpin yang baik bukan saja ia yang mampu memimpin dirinya ke arah yang baik tetapi juga mampu mengajak dan memberi teladan kepada orang disekitarnya. (Dzatnika, 1996: 110).

Berkaca kepada sejarah ketika Indonesia dijajah oleh Belanda, para pejuang yang membela tanah airnya demi merebut kemerdekaan. Mereka-mereka itu dapat bersatu dikarenakan adanya pemimpin, sumber daya manusia terbesar dalam perjuangan bukan saja dari kalangan pembaharu seperti Soekarno, Soeharto tetapi juga dari tokoh agama Islam, mereka adalah contoh sebagai pemimpin yang baik bagi calon pemimpin di masa yang akan datang. (Dzatnika, 1996: 110).

b.        Faktor Internal atau faktor dari dalam dirinya meliputi: insting dan akalnya, adat, kepercayaan, keinginan-keinginan, hawa nafsu dan hati nurani. Penjelasan lengkapnya sebagai berikut:

1)        Insting

Dalam bahasa Arab insting disebut”gharizah”atau”fithrah”dan dalam bahasa Inggris disebut instinct. Insting atau naluri merupakan tabi’at yang dibawa sejak lahir, setiap kelakuan manusia lahir dari kehendak yang digerakkan oleh naluri tersebut. Menurut Amin (1995: 17) yang mengutip pendapat Jmeas: instict ialah suatu sifat yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan tanpa berfikir terlebih dahulu ke arah tujuan itu dan tidak dengan didahului perbuatan itu.

Jadi kesimpulannya, insting adalah tingkah laku seseorang yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan tanpa berfikir terlebih dahulu. Semua daya upaya, ikhtiar atau usaha manusia adalah hasil dari akalnya, maka semakin tinggi kecerdasan manusia, semakin banyak dan tinggi daya dan upayanya yang dapat dicapai oleh akalnya. Manusia itu berbuat dari insting dan akalnya bersama, dan tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya. Maka insting menentukan tujuan yang dikehendaki sedang akal itu mewujudkan cara untuk menghasilkan tujuan tersebut. (Amin, 1995: 19).


 

2)        Kebiasaan

Yang dimaksud dengan”kebiasaan”menurut Yaqub (1983: 61) ialah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan. Sedangkan menurut Amin (1993: 21) suatu perbuatan bila diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan disebut”adat kebiasaan”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebiasaan ialah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang, berkelanjutan, berkesinambungan, hingga menjadi mudah untuk dilakukan. (Amin, 1995: 25).

Sebagai contoh: Bangun tengah malam mengerjakan shalat tahajud, berat bagi orang yang tidak biasa dan jika hal itu terus diulangi maka akan terasa mudah dan terus menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Jadi, segala pekerjaan yang dilakukan secara berulang-ulang dengan penuh kegemaran akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan walaupun awalnya terpaksa. (Amin, 1995: 25).

Kekuatan kebiasaan ialah 90% dari perbuatan sehari-hari manusia dari kebiasaan yang dapat kita kerjakan dengan sedikit pikiran dan perhatian dan sukar sekali kita rubah. Maksudnya adalah 90% aktifitas yang sering kita lakukan sehari-hari akan membentuk keahlian kita, dan sebagian orang berpendapat apabila kita ingin ahli dalam sebuah bidang, maka kita baru akan menguasainya setelah berlatih sebanyak sepuluh ribu kali, karena itu terkadang ada kebiasaan yang sering kita lakukan justru tak sengaja menjadi keahlian kita. Maka perhatikanlah kebiasaan kita, apakah baik atau buruk. Ada 2 faktor yang dapat dilahirkan yakni, pertama karena adanya kecenderungan hati kepada perbuatan itu, dia merasa senang melakukannya. Yang kedua, diperturutkannya kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang-ulang, sehingga menjadi biasa. (Amin, 1995: 25).

3)        Suara hati (Hati nurani)

Menurut Yaqub (1983: 78) yang dimaksud suara hati adalah”suatu kekuatan yang sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada di ambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah”suara batin”atau”suara hati”yang dalam bahasa Arab disebut dlamir dan dalam bahasa Inggris disebut consience”. Sementara menurut Amin (1995: 68), ”Kekuatan memerintah dan melarang suatu perbuatan disebut suara hati (consience) Kekuatan ini sebagai yang kita ketahui mendahului perbuatan, mengiringinya, dan menyusulnya”. (Amin, 1995: 68).

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suara hati adalah kekuatan yang dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan bahkan sebelum perbuatan itu dilakukan, sehingga hati nurani sebagai isyarat yang dapat dijadikan pedoman untuk melakukan atau tidaknya suatu perbuatan. (Amin, 1995: 68).

Dari dua jenis faktor di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak seseorang adalah keturunan, insting (naluri), adat (kebiasaan), suara hati (hati nurani), azzam, keinginan/kehendak, lingkungan, pendidikan, dan penguasa/pimpinan. Sebagian sumber menambahkan dengan teman pergaulan, dan rumah tangga.

 

6.        Metode Pendidikan Akhlak

Dalam buku Daur Al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl Al-Muslim, karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya adalah: a. Keteladanan. Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak. Keteladanan selalu menuntut sikap yang konsisten serta terus-menerus, baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur; b. Memberikan Tuntunan. Yang dimaksud di sini adalah dengan memberikan hukuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan Alquran dan Sunnah; c. Dengan Kisah-kisah Sejarah. Islam memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan kisah-kisah sejarah. Diantaranya adalah kisah-kisah para Nabi dan Rasul, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kerasulan serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. Alquran telah menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak: d. Memberikan Dorongan dan menanamkan Rasa Takut (pada Allah Swt.). e. Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang disandarkan pada keteladanan yang baik f. mendorong anak untuk menyerap perbuatan-perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya; g. Memupuk Hati Nurani. Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk. (Umary, 1983: 2).

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa metode pendidikan akhlak dibagi menjadi 5 bagian, yaitu: 1) Keteladanan; 2) Memberikan Tuntunan; 3) Dengan Kisah-kisah Sejarah; 4) Memberikan Dorongan dan menanamkan Rasa Takut (pada Allah Swt. ); 5) Memupuk Hati Nurani.

 

7.        Materi Pendidikan Akhlak

Mengenai materi akhlak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu:

a.         Akhlak Mahmudah

Menurut Imam Al-Ghazali, berakhlak mulia dan terpuji artinya”menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya. Diantara akhlak Mahmudah adalah sebagai berikut: 1) Al-Amaanah/Jujur; 2) Al-Khufraan/Suka memberi maaf; 3) Al-Aliefah/Disenangi; 4) Al-Hayaa-u/Malu kalau diri tercela; 5) Al-’Afwu/Pema’af; 6) Qana’ah/Merasa cukup; 7) Asy’Syaja’ah/Berani; 8) Ash-Shidqatu/Benar/Jujur; 9) Anisatun/Manis muka; 10) ‘Izzatun Nafsi/Berjiwa kuat; 11) Al-Khairu/Baik; 12) Adh-Dhiyaafah/Menghormati tamu; 13) Al-Khusyuu’/Tekun; 14) Ash-Shaalihaat/Beramal Shalih; 15) Al-Ihsan/Berbuat baik; 16) Al-Ikhaa-u/Menganggap bersaudara; 17) Al-Muru’ah/Berbudi tinggi; 18) Al-Hilmu/Menahan dari berlaku maksiat; 19) An-Nadhafah/Bersih; 20) Al ‘Ifaafah/ Memelihara kesucian diri; 21) Ar-Rahmah/Belas Kasih; 22) Al-Hukmu Bil ‘Adli/Berhukum adil; 23) As-Sakhaa-U/Pemurah; 24) At-Ta’awun/Bertolong-tolongan; 25) As-Salam/Kesentosaan; 26) At-Tadharru/Merendah diri kepada Allah Swt. ; 27) Ash-Shabru/Sabar; 28) At-Tawaadhu’/Merendahkan diri terhadap sesama manusia. (Umary, 1983: 43-55).

 

b.        Akhlak Madzmumah

Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan. Diantara sifat madzmumah adalah sebagai berikut: 1) Annaniah/Egois; 2) Al-Khamru/Peminum Khamr; 3) Al-Baghyu/Lacur; 4) At-Tabdzir/Menyia-nyiakan; 5) Al-Bukhlu/Kikir; 6) Al-Fawaahisy/Dosa Besar; 7) Al-Buhtaan/Berdusta; 8) Al-Ghasysyu/Menipu sukatan; 9) Adh-Dhulmu/Aniaya; 10) Al-Ghinaa/Merasa tidak perlu pada yang lain; 11) Al-Jubun/Pengecut; 12) Al-Ghuruur/Memperdayakan; 13) Al-Ghadab/Pemarah; 14) Al-Hayaatud Dunyaa/Kehidupan Dunia; 15) Al-Ghibah/Mengumpat; 16) Al-Khiyaanah/Khianat; 17) Al-Hasad/Dengki; 18) At-Tanabuzu Bil Alqaab/Melebih-lebihkan gelaran; 19) Al-Hiqdu/Dendam; 20) Al-Ifsaad/Berbuat Kerusakan; 21) Al-Kazbu/Dusta; 22) Al-Israaf/Berlebih-lebihan; 23) Al-Istikbaar/Takabbur; 24) Al-Intihaar/Menjerumuskan Diri; 25) Ar-Ribaa/Memakan Riba; 26) Al-Liwaathah/Homo Seksual; 27) Al-Makru/Penipuan; 28) An-Namimah/Mengadu Domba; 29) Qatlun Nafsi/Membunuh; 30) Al-Kufraan/Mengingkari Nikmat; 31) Ar-Riyaa’/Mencari Muka; 32) As-Sikhriyaah/Berolok-olok; 33) As-Sirqah/Mencuri; 34) Asy Syahwaat/ Pengikut Hawa Nafsu. (Umary, 1983: 56-68).

 

D.      Kerangka Berfikir

Untuk mempermudahkan pemahaman dan kejelasan tentang arah penelitian skripsi ini, maka penulis memaparkan definisi yang tertera dalam judul. Penulis ingin mengetahui pemikiran pendidikan akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan Tidak hanya sekedar selesai pemahaman dalam pemikiran pendidikan Islam yang mereka lahirkan, akan tetapi konsep pemikiran yang dimaksudkan dalam penelitian kali ini adalah untuk mengetahui dan memahami setting sosial keberadaan tokoh tersebut pada masa itu, sehingga dapat diketahui latar belakang pemikiran yang tokoh tersebut lahirkan. Karena dengan mengetahui setting sosial pada waktu itu maka akan dapat diketahui maksud dan tujuan dari pemikirah tokoh tersebut.

Untuk dapat mengetahui kerangka berfikir, maka diperlukan rancangan penelitian. Rangcangan penelitian yang dapat dilakukan dapat dilihat secara sistematis dan prosedural. Adapun rancangan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Menelaah pemikiran pendidikan Akhlak menurut para tokoh, untuk merefleksikan perkembangan pendidikan sesuai dengan dialektika perkembangan zaman. Konsep-kosep ini ditelaah dari buku-buku yang menjadi sumber dan data yang berkaitan dengan judul penelitian; 2. Menelaah pemikiran pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan. Syekh Kholil Bangkalan sebagai representative intelektual muslim yang mengembangkan pendidikan akhlak sampai pelosok daerah nusantara ini (Indonesia); 3. Mengadakan penelitian secara kritis dan objektif terhadap pemikiran pendidikan Islam Syekh Kholil Bangkalan, kemudian dilanjutkan dengan mensintesiskan konsep tersebut dan mengarahkan implikasinya terhadap pendidikan akhlak.

Dengan mengetahui implikasi tersebut, maka dapat ditetapkan pola-pola pendidikan akhlak yang selaras dengan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan modern. Sedangkan dari hal tersebut maka dapat digambarkan kerangka berfikir dari rancangan penelitian sebagaimana dipaparkan sebagai berikut:

Tabel Kerangka Pemikiran


 


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

 

 

Metodologi atau langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 

A.      Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan selesai dalam jangka waktu empat bulan, terhitung sejak bulan Mei sampai dengan Agustus 2017.

Tabel Jadwal Penelitian

No.

Kegiatan

Bulan/Minggu Ke

Mei

2017

Juni

2017

Juli

2017

Agustus 2017

September

2017

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

Penulisan proposal penelitan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2

Pengajuan proposal penelitian ke TTPS

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3

Pengajuan SK pembimbingan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

Pembuatan dan revisi instrumen penelitian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

Pengumpulan Data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6

Pengolahan Data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7

Penelitian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8

Selesai Penelitian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

9

Sidang Munaqasah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

B.       Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode content analyst (analisis isi). Metode analisis isi menurut Krippendorf sebagaimana dikutip oleh Andi Prastowo (2011: 191) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi yang valid (shahih) dan dapat di teliti dari data berupa literatur atau dokumen berdasarkan konteksnya. Metode ini digunakan karena penelitian ini bersifat menganalisis isi buku karya Syekh Kholil Bangkalan, serta buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang diteliti.

Penjelasan di atas menggambarkan, bahwa analisis isi meneliti atau menjelaskan data yang diambil dari sebuah paragraf yang ditulis seseorang, sehingga analisis isi terbatas pada isi yang akan dikutip.

Analisis isi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis. Hal ini disebabkan penerapan penelitian ini menggunakan jenis kualitatif.

 

C.      Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yakni dengan cara melakukan pengkajian terhadap berbagai buku dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu: Data Primer dan Sekunder.

Data primer berupa data-data tentang riwayat hidup Syekh Kholil Bangkalan dan pemikiran dari tokoh tersebut tentang Pendidikan Akhlak. Data sekunder berupa buku-buku yang berhubungan dengan hal tersebut.

 

D.      Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga macam, yakni sumber data primer, sumber data sekunder, dan sumber data tersier.

1.        Sumber Data Primer, yaitu karya-karya yang ditulis langsung oleh Syekh Kholil Bangkalan yang berhubungan dengan nilai-nilai akhlak, diantara karya beliau yaitu: a) Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif (Syekh Kholil Bangkalan); b) Aqidah Wasthiyyah (Syekh Kholil Bangkalan); c) Al-awrat Thariqah Mu’tabarah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyyah (Syekh Kholil Bangkalan); d) Miftahul Lisan fii Tazkiratil Ihkwan (Syekh Kholil Bangkalan); e) Anwar Tinajud Durari ala Matnil Bajuri (Syekh Kholil Bangkalan).

2.        Sumber Data Sekunder, yaitu mencakup kepustakaan yang berwujud buku-buku penunjang, jurnal, dan karya-karya ilmiah lainnya yang ditulis atau diterbitkan oleh studi selain yang berkaitan dengan pemikiran yang dikaji. Buku-buku sekunder diantaranya yaitu: a) Maha Guru Pesantren, kisah perjalanan hidup ulama lagendaris (Mokh. Sayful Bakhri); b) 50 Ulama Agung Nusantara (Muhammad Al-Fitra Haqiqi); c) Korelasi Syekh Kholil Bangkalan dan NU, mengenang dan menghayati perjuangan sang inspirator (KH. Imam Yahya Mahrus); d) Syekh Kholil Bangkalan, penentu berdirinya NU (KH. Fuad Amin Imron); e) KH. M Kholil Bangkalan, biografi singkat 1820-1923 (Muhammad Rifa’i).

3.        Data Tersier, yaitu sumber data yang diperoleh berkaitan dengan pemikiran Syekh Kholil Bangkalan dan juga hal-hal yang terkait dengan pendidikan Islam yaitu Internet dan Media cetak.

 

E.       Analisa Data

Menurut Singarimbun, (2009: 263) Analisa data adalah”proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan”. Singkatnya, analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga mudah dipahami dan ditafsirkan agar memudahkan pembaca untuk memahaminya.

Analisis dalam penelitian merupakan bagian dalam proses penelitian yang sangat penting, karena dengan analisa inilah data akan nampak manfaatnya terutama dalam pemecahan masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir penelitian.

Klasifikasi data sebagai awal mengadakan perubahan dari data mentah menuju pada pemanfaatan data sehingga dapat terlihat kaitan satu dengan lainnya, juga tindakan ini sebagai awal penafsiran untuk analisis. Kegiatan klasifikasi menuju pada proses analisis dilakukan dengan cara mencocokan pada permasalahan pokok penelitian yang menjadi tujuan akhir. (Subagyo, 2004: 105).

 

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh penulis dari berbagai macam sumber. Untuk mendapatkan kesimpulan dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, maka selanjutnya adalah melakukan analisis, bentuk tehnik dalam analisis data sebagai berikut:

1.        Analisis Deskriptif, yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut”. (Surakhmad, 1990: 139).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa analisis deskriptif adalah menggambarkan atau menjelaskan data-data yang telah dikumpulkan baik itu berupa kata-kata, dan bukan angka-angka. Kemudian apa yang sudah dikumpulkan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti, dengan demikian laporan penelitian akan berupa kutipan-kutipan data dan pengolahan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut, kemudian penulis memberikan penyimpulan dari masing-masing kutipan data yang diambil dari sumber data tersebut. Metode penelitian ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Memusatkan diri pada pemecahan masalah; b. Data-data yang dikemukakan mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis.

Tujuan menggunakan metode deskriptif analisis adalah untuk mendeskripsikan secara rinci tentang obyek penelitian ini bisa dilakukan tanpa hipotesis yang telah dirumuskan secara ketat. Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan pendekatan metode analisis, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) kategorisasi: membuat kategori-kategori dari masing-masing tulisan itu kemudian memilah-milah dan memisahkannya ke dalam sub-sub pemikiran; 2) Editing: Pemeriksaan kembali terhadap kelengkapan jawaban yang telah diperoleh.

2.        Analisis Isi

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analyst). Dimana data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu analisis ini disebut analisis isi. (Suryabrata, 2004: 94).

Penjelasan di atas menggambarkan, bahwa isi hanya meneliti atau menjelaskan data yang diambil dari sebuah paragraf dari tulisan seseorang, sehingga analisis isi dibatasi hanya pada isi dari data yang akan dikutip. Pendapat ini seperti yang dikemukakan oleh Handari Nawawi yang dikutip oleh Soedjono dan Abdurahman bahwa”analisis isi dalam penelitian dilakukan untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan situasi penulis dan mesyarakatnya pada waktu buku itu ditulis”. (Soedjono, 1999: 14).

Burhan Bungin mendefinisikan analisis isi (content analyst) adalah”teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi”. (Bungin, 2007: 231). Dalam penelitian kualitatif, analisis isi ditekankan pada bagaimana penulis melihat keajegan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana penulis memaknakan isi komunikasi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi (Bungin, 2007: 232).

Pada hakikatnya, analisis isi adalah salah satu model analisis yang digunakan penulis dalam mengungkap, mengetahui, dan memahami isi dari literatur yang sudah dibaca, dengan begitu penulis akan dengan mudah menempatkan data mana yang sesuai dengan kebutuhan penulis dan penelitian.

Jadi, dalam melakukan penelitian ini, penulis akan melakukan tiga fase analisis data interaktif model of analyst sebagaimana yang dijelaskan oleh Husni Thoyyar (2007, 127), yaitu sebagai berikut:

1.        Fase reduksi data. Dalam fase ini penulis memilih dan memilah data yang dihasilkan dari pengumpulan data yang dianggap penting sesuai dengan fokus penelitian dan rumusan masalah. Penulis mencermati fenomena-fenomena yang terjadi pada kehidupan Kholil baik saat beliau sedang mengajar maupun saat bermasyarakat yang berkaitan dengan materi yang sedang diteliti yaitu Akhlak.

2.        Fase penyajian data. Dalam fase ini, penulis memaparkan data yang diperoleh pada fase pertama sesuai dengan rumusan masalah dan sub pokok pembahasan agar dapat dipahami secara sistematis.

3.        Fase penarikan kesimpulan. Dalam fase ini, data dari hasil fase kedua kemudian dilakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.

BAB IV

PEMBAHASAN

 

 

A.      Biografi Syekh Kholil Bangkalan

1.        Kelahiran dan Kehidupan Syekh Kholil Bangkalan

Syekh Kholil Bangkalan lahir di Martapuri Kabupaten Bangkalan pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H dan wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M) Semasa hidup, beliau mengenyam pendidikan di pondok pesantren, seperti di Langitan Tuban, Bangil dan Kebon Candi Pasuruan, juga beliau pernah mengenyam pendidikan di Makkah Al-Mukarramah. (Rozaki, 2004: 3).

Selama menjalani masa pendidikannya, baik di Indonesia maupun di Makkah Al-Mukarramah, beliau dikenal tekun, ulet dan juga cerdas. Sehingga tidak heran jika beliau selama nyantri di Indonesia sudah mampu untuk membiayai sendiri hingga sampai pembiayaan pergi ke Makkah. Di Makkah, beliau menekuni berbagai macam bidang keagamaan, baik yang bersifat eksoterik (ilmu lahiriyah) maupun esoterik (ilmu batiniyah) (Rozaki, 2004: 3).

Ketekunanya dalam mempelajari ilmu keagamaan, terutama semenjak belajar di Makkah Al-mukarramah membuatnya memiliki berbagai macam karamah, yakni suatu kekuatan di luar kebiasaan manusia pada umumnya yang dimiliki oleh seseorang karena ketakwaannya terhadap sang pencipta, Allah Swt. Predikat waliyyullâh pun disandangnya, dan derajat sufi serta dunia mistik ada pada diri beliau. (Rozaki, 2004: 4).

Pada suatu saat di Masjidil Haram para ulama berdiskusi mencari jawaban tentang hukum memakan kepiting dan rajungan. Diskusi berlangsung panas, bahkan sesekali terjadi perdebatan dan adu mulut. Melihat itu semua Kholil hanya diam dan sesekali tersenyum. Sudah berjalan cukup lama, tetapi kesimpulan hukum tak kunjung disepakati. Dalam suasana yang menegangkan itu Syekh Kholil Bangkalan peka terhadap alasan kenapa tak kunjung mendapatkan kesimpulan. Beliau pun ijin untuk berpidato dan menyampaikan pendapatnya, lalu beliau menunjukkan bahwa masalahnya ada pada sebagian ulama yang tidak mengetahui kepiting dan rajungan. Para ulama pun membenarkan perkataan Kiai Kholil. Lalu secara ajaib Syekh Kholil Bangkalan mempertontonkan secara langsung sosok kepiting dan rajungan dalam kondisi masih hidup dan segar seakan baru diambil dari laut dihadapan para ulama itu. Akhirnya permasalahan mengenai hukum memakan kepiting dan rajungan pun menemui penyelesaian. (Wajdi, 2016: 75).

Sepulang dari Makkah Al-Mukarramah, beliau mendirikan pesantren di desa Cengkebun, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya di Senenan Bangkalan. (Rozaki, 2004: 5).

Hari demi hari santripun berdatangan untuk belajar kepada beliau. Namun setelah beliau menjadi mertua dari Kiai Muntaha, suami Siti Khatimah putrinya, beliau menyerahkan lembaga tersebut untuk dilanjutkan oleh menantunya itu. Kemudian beliau pindah dan mendirikan pondok pesantren lagi di desa Demangan, 200 meter arah barat alun-alun kota Bangkalan. Di pesantren beliau yang baru, santri pun banyak berdatangan tidak hanya dari desa tetangga, melainkan juga dari pulau Jawa seperti Kiai Hasyim Asy’ari Jombang. (Rahman, 1999: 5).

Kiai Kholil, yang sudah menghafal Alquran 30 Juz sejak di Indonesia itu, dikenal sebagai ahli fiqih, ilmu alat (Gramatikal Bahasa Arab, penerjemah) dan tarekat. Beliau juga terkenal dengan karomah waskita nya, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi/ Mukâsyafah) Dalam hal yang terakhir ini (karomah) nama Syekh Kholil Bangkalan lebih dikenal. Jejak dan langkah Syekh Kholil Bangkalan kini tetap menjadi monumen yang mengalir hidup melalui perjuangan penerus dan pengikutnya. (Rahman, 1999: 5).

Di Indonesia terdapat kurang lebih 6. 000 pesantren lebih yang terus berkhidmah dalam kehidupan bangsa dan agama. Sebagian besar pengasuh pesantren itu mempunyai sanad (persambungan) dengan beliau. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai-Kiai besar lainnya di Jawa. Padahal mereka semua adalah murid Syekh Kholil artinya kebanyakan Kiai yang ada sekarang ini mempunyai sanad sampai ke Syekh Kholil Bangkalan, muara yang penuh misteri. (Rahman, 1999: 6).

Sebagai seorang ulama besar dan kharismatik, Syekh Kholil Bangkalan juga ikut mewarnai dalam proses Islamisasi di pulau Madura. Beliau juga seorang pejuang kemerdekaan dalam melawan penjajahan kolonial waktu itu. Perjuangan dan pergerakan beliau dalam upaya melawan penjajah tidak dengan pergerakan masa yang anarkis, namun beliau menggunakan pendekatan diplomatik dengan kaum penjajah. (Rahman, 1999: 6).

Cara yang ditempuh oleh Syekh Kholil Bangkalan untuk menarik simpati rakyat Bangkalan, ialah berbaur dengan masyarakat. Selain melaksanakan visi dan misi utamanya, yaitu menyebarkan agama Islam yang tidak beliau lakukan di dalam pesantrennya saja, namun juga turun ke desa-desa dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat setempat. Seperti yang terlihat dari jejak langkah peninggalan beliau di desa Telaga Biru, di desa ini mata pencaharian masyarakatnya adalah melaut, sebagai nelayan atau sebagai saudagar dan pedagang. (Rahman, 1999: 7).

Di desa itu proses pergaulan yang dibangun Syekh Kholil Bangkalan adalah dengan cara melakukan proses kebersamaan, beradaptasi dengan para masyarakat pesisir setempat, sampai pada akhirnya Syekh Kholil Bangkalan membuat sebuah perahu layar dengan tujuan perdagangan antar pulau. Beliau mengajarkan nilai-nilai sosial yang baik dan pendalaman aqidah Islamiyah. (Rahman, 1999: 7).

Sebagai penganut faham Sunni, beliau senantiasa memberikan pengajaran di bidang keagamaan melalui rujukan kitab-kitab madzhab Syafi’iyyah. Hal ini beliau lakukan karena latar belakang dari masyarakatnya adalah Syafi’iyah termasuk ajaran yang ditanamkan oleh ayah beliau sendiri sebagai guru pertamanya sebelum berpetualang mencari ilmu pengetahuan keluar Madura. (Rahman, 1999: 8).

Kekaromahan Syekh Kholil Bangkalan yang dilaluinya lewat sulûk al tasawuf kini hanya sebuah cerita dari mulut ke mulut yang nantinya akan berakhir dengan hilangnya mutiara kisah tentang beliau. Walaupun ada beberapa buku yang memuat kisah – kisah tentang beliau, seperti Surat kepada Anjing Hitam, Biografi dan Karomah Kiai Kholil, karangan Saifur Rachman, terbitan pustaka Ciganjur, juga buku dengan judul Syaichona Cholil Bangkalan, Ulama Legendaris dari Madura, karangan Mokh. Syaiful Bahri, terbitan Cipta Pusaka Utama, Pasuruan. (Rahman, 1999: 8).

 Namun setelah penulis teliti dan pelajari ternyata tidak sepenuhnya memuat dan membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia kema’rifatan beliau mulai beliau menapaki tangga-tangga sebagai perambah jalan tasawuf hingga beliau sampai pada tingkatan ma’rifat/waliyullâh. Sejarah perjalanan dan pemikiran murid-murid Syekh Kholil Bangkalan sudah terdokumentasikan, namun sejarah perjalanan, apalagi pemikiran dan ajaran Syekh Kholil Bangkalan sendiri, yang pada umumnya adalah guru para deklarator NU dan Kiai-Kiai besar lainnya di Jawa dan luar Jawa sekalipun sangatlah minim. (Ma’sum, 1998: 10-11).

Maka dari itu untuk memperkuat bukti literatur dalam penelitian ini, penulis juga mengambil hasil sumber data-data yang lain yang menguatkan literatur atau perjalanan kholil bangkalan dalam menguatkan argumentasi dari sumber data-data lain. Keberadaan Syekh Kholil Bangkalan sebagai seorang sufi, telah banyak meninggalkan kenangan yang hingga kini masih terasa di tengah-tengah masyarakat. Ajaran-ajaran beliau masih banyak diikuti oleh para pengikutnya secara turun temurun hingga seperti sekarang ini.

2.        Nasab Syekh Kholil Bangkalan

Menurut KH. Abdullah Sachal, silsilah Syekh Kholil Bangkalan bersambung kepada Rasulullah Saw. sebagai berikut: Kiai Muhammad Kholil Bangkalan bin Kiai Abdul Lathif bin Hamim bin Asror bin Abdullah bin Sayyid Sulaeman bin Syarif Hidayatullah bin Maulana Umdaduddin Abdullah bin Maulana Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar bin Sayyidina Ahmad Syah Jalal bin Sayyidina Abdullah Adhimah Khan bin Sayyidina Abdul Malik bin Sayyidina Ali bin Sayyidina Muhammad Shahib Mirbad bin Sayyidina Ali Kholil Qosim bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Muhammad bin bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Abdullah bin Sayyidina Ahmad Muhajir Bin Sayyidina Isa bin Sayyidina Muhammad Tsaqib bin Sayyidina Ali Al-Uraidi bin Sayyidina Ja’far Shodiq bin Sayyidina Muhammad Baqir bin Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Fatimah binti Rasulullah Saw. (Rahman, 1999: 5-7).

 

3.        Karya Tulis Syekh Kholil Bangkalan

Pada mulanya Syekh Kholil membuat karya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ketika menimba ilmu di Mekkah karena beliau tidak menggantungkan hidupnya dari kiriman orang tuanya di tanah air. Hasil karyanya terutama yang berupa kitab, kemudian dijual dengan harga 200 Real per kitab. Selain menulis risalah Syekh Kholil juga mendapatkan penghasilan dari menjual kaligrafi.

Dari sekian banyaknya karya beliau namun hanya sebagian kecil karya beliau yang bisa dilacak, diantaranya: a. Silah fi Bayani Nikah; b. Terjemah Alfiyah; c. Shalawat Kiai Kholil Bangkalan; d. Wirid – wirid Kiai Kholil Bangkalan; d. Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ; e. Aqidah Wasthiyyah; f. Al-awrat Thariqah Mu’tabarah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyyah; g. Miftahul Lisan fii Tazkiratil Ihkwan; h. Anwar Tinajud Durari ala Matnil Bajuri. (Fatimah, 2011: 57).

Dalam bidang karya sedikit sekali literatur yang menyebutkan karya Syekh Kholil, editor buku karya Bakhri (2016: xiii) berkata”Habib Lutfi menceritakan, saat KH. Hasyim Asy’ari meminta restu dari Habib Hasyim dan Mbah Cholil, kalimat yang disampaikan oleh dua tokoh besar tersebut hampir sama: ”Laksanakanlah niatmu membentuk wadah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Saya rela, tapi tolong saya jangan ditulis.”Dari ucapan editor di atas dapat diketahui bahwa Syekh begitu rendah hati sehingga beliau jarang muncul di dalam karya tulis. Beliau akan selalu dikenang lewat pesantren-pesantren yang didirikannya dan dari murid didikannya.

Selain di bidang karya tulis, Syekh Kholil lebih dikenal sebagai tokoh yang turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Banyak santri Syekh Kholil yang setelah lulus, kemudian mendirikan pesantren dan organisasi besar. Dari murid-murid Syekh Kholil tersebut pesantren tumbuh dengan pesat layaknya jamur di musim hujan. Kini terdapat kurang lebih 6000 pesantren di Indonesia. Sebagian besar pengasuh pesantren mempunyai sanad (persambungan) dengan para murid Syekh Kholil yang mempunyai ta’alluq bathiniyyah dengan beliau. Syekh Kholil juga meninggalkan kader-kader bangsa dan agama yang berhasil ia didik menjadi tokoh pembaharu dan pemimpin umat. Hal yang menonjol dari metode yang digunakan Syekh Kholil adalah seperti yang dilakukan Para Wali Songo yaitu lebih mementingkan praktek daripada teori.

 

4.        Murid Syekh Kholil Bangkalan

Menurut Rahman yang dikutip oleh Mokh Syaiful Bakhri (2016: xix), hampir Ulama Besar pengasuh pesantren di Madura dan Jawa adalah murid dari Syekh Kholil Bangkalan. Berikut adalah murid Syekh Kholil yang mudah dikenal saat ini: a. KH. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai pendiri organisasi NU; b. KH. As’ad Syamsul Arifin, pengasuh ponpes Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo; c. KH. Wahab Hasbullah, Pengasuh Ponpes Tambak Beras, Jombang; d. KH. Bisri Syamsuri, pengasuh ponpes Denanyar, Jombang; e. KH. Maksum, pengasuh ponpes Rembang, Jawa Tengah; f. KH. Bisri Mustofa, pengasuh ponpes Rembang; g. KH. Muhammad Siddiq, pengasuh ponpes Siddiqiyah, Jember; h. KH. Nawawi, pengasuh ponpes Sidogiri, Pasuruan. ; i. Soekarno, Presiden pertama dan Proklamator Kemerdekaan RI, dll. (Haqiqi, 2009: 36).

Sebagian sumber mengatakan bahwa Soekarno bukan murid Syekh Kholil secara langsung, hal ini sebagaimana yang dituturkan Fatimah bahwa KH. As’ad Syamsul Arifin pernah berkata bahwa Soekarno adalah teman dekatnya, meski Bung Karno tidak resmi sebagai murid, namun ketika sowan (berkunjung) ke Bangkalan, Syekh Kholil memegang kepala Soekarno dan meniup ubun-ubunnya. (Fatimah, 2011: 54).

 

B.       Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil Bangkalan

Menurut Syekh Kholil Bangkalan Pendidikan Akhlak sangatlah penting, namun bagi Syekh Kholil Bangkalan pondok pesantren bukan sekadar tempat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, tetapi juga tempat untuk membumikan pesan-pesan Islam sehingga berdampak secara dalam masyarakat. Dengan adanya Pendidikan Akhlak akan menghantarkan masyarakat yang berakhlak buruk menjadi lebih baik, dan yang baik menjadi lebih baik lagi. Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan meliputi:

1.        Pengertian Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil Bangkalan

Banyak sekali pandangan atau pendapat Syekh Kholil Bangkalan tentang pengertian Pendidikan Akhlak, pengertian Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. (Salim, 2001: 56-58).

Sedangkan pendidikan Islam menurut Syekh Kholil Bangkalan adalah sarana dan upaya yang strategis yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mencapai kemanusiaanya, sehingga mampu mengetahui hakikat penciptaannya, penciptanya dan tugas serta tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi yang kemudian bertujuan agar dengan pendidikan Islam, manusia mampu mendekatkan diri pada Allah Swt. , sehingga mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat yang juga tetap melandaskan pada Alquran dan Hadist. (Salim, 2001: 56-58).

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan Islam dalam rangka mencapai kemanusiaannya, sehingga mampu mengetahui hakikat penciptaannya sampai dengan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Pendidikan Akhlak merupakan suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan Alquran dan Al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan secara mudah tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela.

2.        Tujuan Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan

Tujuan dari Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil Bangkalan adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci yang berlandasan Alquran dan Hadistt. (Salim, 2001: 56-58).

 Dengan kata lain tujuan Pendidikan Akhlak bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. Maka dari itu akhlak berupaya untuk mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia. Syekh Kholil Bangkalan mengemukakan dua tujuan diberikannya pendidikan Islam bagi manusia, yaitu: a. Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt. ; b. Menjadi insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. (Salim, 2001: 56-58).

Syekh juga dikenal di dunia tasawuf, ada sebuah ujaran yang sangat masyhur, ”Barang siapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui, maka Allah Swt. akan menganugrahkan kepadanya ilmu yang tidak pernah ia ketahui”, dan seringnya Syekh Kholil dalam menjawab atau memberikan solusi kepada masyarakat adalah dengan menggunakan bait-bait Alfiyah karena alasan ini pula lah beliau menjadi sosok yang ahli hikmah. (Bakhri, 2016: 53).

Dari kisah di atas terasa sangat kental sekali nuansa teologi atau ketauhidan dari pemikiran Syekh Kholil Bangkalan. Tidak hanya ditujukan dalam aktivitas kesehariannya, bahkan sampai merembet kepada pemikiran pendidikannya. Di atas juga sudah dipaparkan mengenai definisi pendidikan Islam yang sangat kental sekali nilai-nilai Ilahiyahnya. (Salim, 2001: 56-58).

Kemudian merumuskan tujuan pendidikan Islam juga mengedepankan nilai-nilai ketuhanan. Dengan mengedepankan nilai-nilai tersebut, harapan semua manusia yang melaksanakan dan ikut dalam proses pendidikan selalu menjadi insan purna yang bertujuan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Salim, 2001: 56-58).

Disamping itu, dalam Islam, tujuan pendidikan yang dikembangkan adalah mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti dan akhlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan yang sesungguhnya dari proses pendidikan. Pemahaman ini tidak berarti bahwa pendidikan Islam tidak memperhatikan terhadap pendidikan jasmani, akal, dan ilmu pengetahuan (science). Namun, pendidikan Islam memperhatikan segi Pendidikan Akhlak seperti memperhatikan segi-segi lainnya. (Salim, 2001: 56-58).

3.        Dasar Pendidikan Islam menurut Syekh Kholil Bangkalan

Bertolak dari tujuan Pendidikan Akhlak yang telah dipaparkan, di sini juga dijelaskan tentang dasar-dasar pendidikan Islam menurut Syekh Kholil Bangkalan. Menurutnya, menjadi sebuah kewajiban untuk dapat memahami sumber utama ajaran Islam yakni Alquran dan Al-Hadist, karena hanya dengan mampu memahami secara menyeluruh teks sumber utama ajaran Islam itulah manusia akan mendapatkan khazanah keilmuan yang luas dan tanpa keluar dari jalur yang sudah tetera dalam ajaran Islam, terlebih-lebih tentang pendidikan Islam. (Bakhri, 2006: 67-73).

Sejalan dengan apa yang sudah dijelaskan di atas, bahwa Alquran dan Sunnah Rasulullah Saw. (hadist) menjadi dasar utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, karena menurutnya hanya berlandaskan Alquran dan Al-Hadist proses berjalannya pendidikan Islam pada suatu lembaga pendidikan. Dalam paragraf di bawah ini akan sedikit dipaparkan terkait dasar atau landasan yang digunakan sebagai acuan dan rujukan dalam proses penyelenggaraan pendidikan Islam yang sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Syekh Kholil Bangkalan:

a.         Alquran

Alquran adalah firman Allah Swt. berupa wahyu yang disampikan oleh Jibril kepada Rasulullah Saw. di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Alquran itu terdiri dari dua prinsip besar, yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari’ah. (Bakhri, 2006: 67-73).

Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak begitu banyak dibicarakan dalam Alquran, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan. Hal ini menunjukkan amal yang seharusnya banyak dilakukannya, sebab semua amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt. dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan lingkungnnya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal saleh (syari’ah). (Bakhri, 2006: 67-73).

Pendidikan Akhlak, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk ke dalam ruang lingkup mu’amalah, Pendidikan Akhlak sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Di dalam Alquran terdapat banyak ajaran yang berisikan tentang prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan. (Bakhri, 2006: 67-73).

Sebagai contoh dapat dibaca kisah Luqman mengajari anaknya. Dalam Alquran Luqman ayat 12-19. Cerita ini menggariskan prinsip materi ilmu pengetahuan. Ayat lain menceritakan tujuan hidup dan tentang nilai suatu kegiatan amal saleh. Itu berarti bahwa kegiatan pendidikan Islam harus mendukung tujuan hidup tersebut. (Bakhri, 2006: 67-73).

Oleh karena itu, pendidikan Islam harus menggunakan Alquran sebagai sumber utama dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam harus berlandaskan ayat-ayat Alquran yang penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad yang disesuaikan dengan perubahan dan pembaharuan. (Bakhri, 2006: 67-73).

b.        Sunah

Sunah ialah perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasulullah Saw. yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui oleh Rasulullah Saw. dan beliau membiarkan saja kejadian atau atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua setelah Alquran. Seperti Alquran, Sunnah juga berisi tentang aqidah dan syari’ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertakwa. (Bakhri, 2006: 67-73).

Oleh karena itu, Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim. Sunnah selalu membuka kemungkinan penafsiran yang berkembang, itulah sebabnya, mengapa ijtihad perlu ditingkatkan dalam memahaminya termasuk Sunnah yang berkaitan dengan pendidikan. (Bakhri, 2006: 67-73).

Di dalam Alquran banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk melaksanakan pendidikan, selain itu di dalamnya banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah-kisah para Rasulullah Saw., sahabat dan lain sebagainya. Selain itu Sunah juga mempunyai fungsi yang sama. Selain Alquran dan Sunah, Syekh Kholil Bangkalan juga mengunakan dasar tentang pendidikan Islam adalah Qaul ulama’ (Ijma ataupun Qiyas). (Bakhri, 2006: 67-73).

 Pada dasarnya Alquran masih memerlukan penafsiran-penafsiran kembali untuk merelevankan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada kehidupan manusia, tidak luput juga dalam dunia pendidikan. Alquran dan Sunah merupakan sumber hukum Islam dan merupakan pokok dari dasar pendidikan. Dari sinilah banyak para tokoh-tokoh pendidikan yang mengunakan Alquran dan Sunah sebagai dasar pendidikan Islam, salah satunya adalah Syekh Kholil Bangkalan. (Bakhri, 2006: 67-73).

 


 

C.      Sistem Pendidikan Menurut Syekh Kholil Bangkalan

 Dalam bidang Pendidikan Akhlak, Syekh Kholil Bangkalan telah mendirikan beberapa pesantren dan pengajian-pengajian di tiap-tiap cabang dan ranting. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun pada masa penguasa Jepang, K. H Kholil Bangkalan tetap memajukan pesantren-pesantren serta mengadakan tabligh dan pengajian-pengajian. Hal itu berkat adanya sistem Pendidikan Akhlak yang digunakan oleh Syekh Kholil Bangkalan, sistem Pendidikan Akhlak yang digunakan Syekh Kholil Bangkalan adalah menggunakan metode akhlak seorang Akhlak Murid dalam Belajar, Akhlak Murid kepada Guru, dan Guru dalam mengajar, antara lain:

1.        Akhlak Murid dalam Belajar

Di usianya yang belia, Syekh Kholil Bangkalan belajar di pesantren yang diasuh oleh ayahnya, KH. Abdul Latief yang mana masih menerapkan pendidikan ma’hadiyah (pendidikan asli pesantren) yang menggunakan kurikulum salafiyah (tradisional) yang menitikberatkan pada penguasaan ilmu-ilmu diniyah keagamaan. (Bakhri, 2016: 13).

Semasa kecil Syekh Kholil Bangkalan dididik oleh ayahnya dengan materi spriritual dahulu sebelum materi yang lainnya. Ketika Syekh Kholil Bangkalan beranjak dewasa sebagian besar ditentukan oleh pendidikan yang ia terima sewaktu kecil. Jika masa kecilnya sudah dididik dengan ilmu keagamaan maka tidak dapat dipungkiri jika nantinya ia akan menjadi sosok manusia yang taat kepada Allah Swt. Selain itu peran orang tua juga sangat penting sebab orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Senada dengan pendapat Ulwan (2007: 184) ia mengatakan bahwa agar anak senantiasa mengingat Allah Swt., hendaknya anak ditekankan untuk mempelajari pemikiran-pemikiran yang dapat mendekatkan dirinya kepada penciptanya. Cara pengajaran seperti ini telah diterapkan oleh salaf zaman dahulu dalam mengajarkan anak-anak mereka. Jika para pendidik, ayah atau ibu menerapkan cara dan dasar pendidikan ini, tidak mustahil bila dalam waktu yang relatif singkat mereka sudah dapat menciptakan suatu generasi muslim yang militan, bangga dengan agamanya, sejarah dan para pahlawannya yang mulia. Sehingga tercipta suatu masyarakat yang bersih dari kekufuran, kedengkian, dan tindak kejahatan yang penuh dengan dosa.

Pendidikan Kholil kecil didapat dari didikan ayahnya, yang mana seorang ayah adalah keluarga yang termasuk ke dalam salah satu faktor yang dapat memberi pengaruh kepada kepribadian anak. sebagaimana yang diutarakan Yaqub (1983: 67), manusia yang berasal dari satu keturunan di mana dan pembawaan yang bersamaan, misalnya bentuk badan, perasaan, akal dan pemikiran. Dengan sifat-sifat manusia yang diwariskan dari satu nenek moyang, maka manusia dapat menundukkan alam, sedangkan keistimewaan itu tidak diwariskan (diturunkan) kepada hewan karena berlainan keturunan.

Dalam Alquran dikemukakan:

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah Swt. menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah Swt. memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (QS. An-Nisa, 4: 1).

 

Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa materi pembelajaran yang pertama kali Syekh Kholil dapatkan dari didikan sang ayah adalah ilmu-ilmu diniyyah atau ilmu-ilmu keagamaan. Diantara ilmu yang diterima Syekh Kholil saat kecil adalah Fiqih, Tauhid, Akhlak, Tajwid, Tahsin, Nahwu dan Sharaf. Selain ilmu keagamaan juga beliau dibekali ilmu Matematika dan Sejarah (Tarikh). (Bakhri, 2015: 13).

Bukan hanya didikan secara teori yang diterima Syekh Kholil tetapi juga dengan praktek, ayahnya sering mengajak Kholil kecil dalam acara Diba’an walaupun Kholil kecil masih belum paham artinya, dan ditumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Saw,. sebagaimana diutarakan Bakhri bahwa sejak kecil, Syekh Kholil sering diajak ayahnya menghadiri acara Diba’an yaitu sejarah ringkas mengenai keluhuran Rasulullah Saw. dan keluarganya melalui gubahan puitis. (Bakhri, 2015: 7).

Didikan yang diterima Syekh Kholil dari ayahnya saat masih kecil adalah berupa ilmu-ilmu keagamaan, karena sebagaimana Firman Allah Swt.:

öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)­G=Ï9

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha, 20: 132)

 

Begitupula dengan hadits Rasulullah Saw. yang artinya, ”Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun dan pukulah mereka pada saat telah mencapai usia sepuluh tahun dan pisahkanlah antara mereka dalam ranjang tidur mereka”. (HR. Sunan Abu Daud).

Dalil di atas menunjukkan bahwa Allah Swt. menyuruh untuk mendirikan shalat kepada keluarga. Sebelum melakukan shalat tentunya harus dibarengi dengan ilmu yaitu Ilmu Fiqih dan pendidikan yang diterima Syekh Kholil sudah sesuai dengan firman Allah Swt. tersebut.

Mendengar cerita kealiman Kiai Abu Dzarrin, terlebih beliau sangat menguasai ilmu Nahwu dan Sharaf, dengan mantap beliau melangkahkan kaki dari pesantren Langitan ke Winongan. (Bakhri, 2015: 17).

Dari cerita di atas kita dapat melihat bahwa Syekh Kholil Bangkalan sangat haus akan ilmu terbukti ketika ia berangkat ke Winongan hanya untuk belajar ilmu yang sebenarnya sudah ia pelajari di Pesantren Langitan. Syekh Kholil betul-betul mengamalkan nasihat, ”Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai masuk liang lahat”. (Mahfudzot).

Kemudian diperkuat dengan perkataan Imam Syafi’i dari Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi: Wahai saudaraku kamu tidak akan mendapatkan Ilmu kecuali dengan 6 perkara; Pertama, Kecerdasan, Ketamakan dengan Ilmu, Kesungguhan, Harta, Bergaul dengan Guru, Waktu yang Luang. (HR. Muslim).

Oleh karena, itu kehausan Syekh Kholil Bangkalan terhadap ilmu tidak akan pernah puas karna bagi Syekh Kholil Bangkalan jikalau seseorang puas terhadap ilmu yang dimiliki maka seseorang tersebut akan merasa dirinya paling hebat terhadap ilmu yang dimiliki, itulah sebabnya kenapa Rosulullah SAW. mengajarkan kita untuk tidak pernah puas terhadap ilmu karna ilmu itu sangat bermanfaat bagi krhidupan masa depan seorang muslim. maka dari itu Syekh Kholil Bangkalan selalu belajar dari berbagai tempat yang berbeda, diantaranya: Pesantren Langitan, Pesantren Keboncandi, Sidogiri, Rumah Bujuk Ronggo (Sayyid Ahmad Syarifuddin), Pesantren Cangaan Bangil, dilanjutkan ke Pesantren Minhajul Tullab, pada usia 40 tahun Syekh Kholil berangkat untuk menuntut ilmu di Mekkah. Sikap beliau yang meluaskan tempat atau majlis dalam mencari ilmu ini sesuai dengan Firman Allah Swt. Swt:

Dan dalam QS. Al-Mujadalah ayat 11, Allah Swt. berfirman:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: ”Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: ”Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah Swt. akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Swt. Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah, 58: 11).

 

Saat Syekh Kholil sampai di Winongan untuk belajar kepada Abu Dzarrin, Syekh Kholil malah mendapat kabar duka bahwa Kiai Dzarrin yang hendak ia tuju untuk belajar telah meninggal dunia. Akhirnya ia hanya bisa berziarah, ia i’tikaf di surau yang berada di dekat makam Kiai Abu Dzarrin. Selama i’tikaf ia banyak mengisi waktunya dengan shalat, berdzikir, dan membaca Alquran. Selain itu beliau bertawasul secara khusus kepada Kiai Dzarrin dan mendo’akannya (Bakhri, 2015: 17)

Keinginan yang luar biasa Syekh Kholil untuk belajar telah membuatnya rela menempuh perjalanan yang jauh. Sebagai seorang manusia biasa, Syekh Kholil tidak bisa melawan takdir yang sudah ditentukan oleh Allah Swt. terhadap Kiai Abu Dzarrin, di tengah kegalauannya ini, Syekh Kholil menyikapi hal tersebut dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. untuk mencari ketenangan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$#

 (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah Swt.. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah Swt.-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’du, 13: 28).

 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Ust. Abdullah Taslim, M. A. yang dikutip dari kitab Igaatsatul lahfaan karangan Imam Ibnu Qayyim. Beliau berkata,

Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”. Maka ditanya, ”Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab, ”Cinta kepada Allah Swt., merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, serta dengan merasa bahagia ketika berdzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya. (Taslim, 2010).

 

Sebagaimana yang Allah Swt. SWT dijanjikan dalam QS. Al-Baqarah. 153, Allah Swt. SWT berfirman:

 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ

“Sesungguhnya Allah Swt. SWT menyukai orang”yang bersabar”. (QS. Al-Baqarah, 2: 153).

Kemudian ditambahkan oleh ijma para ulama yang berbunyi”barang siapa yang bersabar maka ia akan beruntung.

Maka benarlah, karena setelah beliau i’tikaf di sana selama 40 hari. Pada malam hari ke-41 beliau bermimpi bertemu Kiai Abu Dzarrin seraya berkata kepada Kholil muda, ”Karena niatmu untuk belajar kepadaku begitu kuat, maka aku berikan kepadamu sebagian dari ilmuku”. Anehnya ketika terbangun Kholil Muda telah hafal di luar kepala beberapa kitab diantaranya ‘Imrithi, Asymuni, dan Alfiyah.

Meski keinginannya untuk belajar kepada Abu Dzarrin tidak terwujud, semangatnya untuk menuntut ilmu tetap menyala. Kesempatan selama masih berada di Winongan, Kholil muda nyantri di Pesantren Keboncandi dan menyempatkan diri untuk belajar kepada Kiai Noer Hasan bin Noer Khotim yang membuka pengajian kitab-kitab besar seperti Ihya Ulumuddin, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim. (Bakhri, 2015: 20).

Diceritakan bahwa dalam perjalanan Keboncandi-Sidogiri berjarak sekitar sembilan kilometer, Syekh Kholil menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki karena pada waktu itu kendaraan satu-satunya adalah dokar atau delman belum ada kendaraan bermesin seperti sekarang. Pada perjalanannya Kholil menamatkan QS. Yasin sebanyak 41 kali begitu pula sewaktu dalam perjalanan pulang. (Bakhri, 2015: 21).

Tirakat dalam bahasa Arab disebut Riyadhah, atau dalam bahasa Indonesia disebut batin, yaitu suatu usaha mengolah batin seseorang dengan jalan laku ritual tertentu supaya apa yang dicita-citakan diberi kemudahan atau keberhasilan. Tujuan tirakat dalam supranatural adalah mengasah. Jika diibaratkan do’a adalah pisau, maka semakin diasah semakin tajam juga do’a tersebut. Untuk menajamkan do’a itu ada amalan-amalan tertentu yang perlu dilakukan dan itulah yang disebut tirakat.

Beberapa ulama mengatakan bahwa tirakat dengan surah Yasin memiliki keistimewaan salah satunya seperti yang dikutip Bakhri (2015: 21), dari kitab Tafsir Ibn Katsir”Jika surah Yasin dibaca ketika menghadapi kesulitan maka Allah Swt. akan mempermudahnya. Jika surah Yasin dibacakan untuk orang yang menghadapi sakaratul maut, maka turunlah rahmat dan berkah serta dapat mempermudah keluarnya ruh dari jasad”. (Bakhri, 2015: 21).

Mengenai dalil tentang tirakat dengan QS. Yasin ini penulis menemui kesulitan karena banyaknya hadits palsu dan lemah mengenai itu. Namun ada salah satu hadits shahih mengenai QS. Yasin, yaitu: bahwa Rasulullah Saw. menyatakan Yasin adalah hatinya Alquran, jadi menurut penulis wajar bila QS. Yasin ini dijadikan amalan untuk tirakat karena keutamaannya ini, dan selanjutnya menurut penulis kembalikan lagi, faedah tirakat dengan surah Yasin ini kepada niat orang yang mengamalkannya, karena Allah Swt. melihat seseorang karena niatnya.”Hanyalah pekerjaan itu (tergantung) kepada niat. Dan sesungguhnya setiap manusia memproleh apa yang diniatkannya”. (HR. Bukhari).

Selain itu, taat kepada Allah Swt. ditegaskan dalam firman-Nya:

(#qãèÏÛr&ur ©!$# tAqߧ9$#ur öNà6¯=yès9 šcqßJymöè?

Dan taatilah Allah Swt. dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. Ali Imran, 3: 132).

 

Dalam surah lainnya:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's?

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah Swt. dan taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Swt. (Alquran) dan Rasulullah Saw. (Sunnah nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa, 4: 59).

 

Selama hidup di Pesantren, Syekh Kholil terkenal sebagai santri yang rajin dan sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai, makan pun kadang harus memakan nasi basi atau kulit semangka. Walaupun beliau menjalani kehidupan yang memprihatinkan, namun tidak bagi dirinya sendiri, karena beliau memiliki kebanggaan dan kenikmatan lezat melebihi makanan dan hidup mewah yaitu kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. (Haqiqi, 2009: 39).

Syekh Kholil telah sempurna menjalani kesufiannya sehingga dunia bagi dirinya sudah tiada artinya lagi, makan minum dan berpakaian beliau hanya seperlunya saja sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada tahap ini, Syekh Kholil telah menguasai dua fase dalam istilah tasawuf disebut takhalli atau mengosongkan diri dan tahalli (menghias diri). Melalui dua jalan ini seorang sufi akan mencapai apa yang disebut tajalli atau tampak berbagai rahasia ketuhanan yang tidak dirasakan oleh manusia pada umumnya. (Bakhri, 2015: xxvii).

Rasulullah Saw. bersabda, ”lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina nikmat Allah Swt. yang dilimpahkan kepada kalian”. (Muttafaq ‘Alaih)

Allah Swt. Berfirman:

bÎ)ur y7ó¡|¡ôJtƒ ª!$# 9hŽÛØÎ/ Ÿxsù y#Ï©%Ÿ2 ÿ¼ã&s! žwÎ) uqèd ( cÎ)ur x8÷ŠÌãƒ 9Žösƒ¿2 Ÿxsù ¨Š!#u ¾Ï&Î#ôÒxÿÏ9 4 Ü=ŠÅÁム¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t6Ïã 4 uqèdur âqàÿtóø9$# ÞOŠÏm§9$#

Jika Allah Swt. menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah Swt. menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus, 10: 107).

 

Selain mendalami ilmu fiqih, Syekh Kholil juga mendalami ilmu tasawuf, kegemarannya dapat terlihat ketika beliau nyantri di Sidogiri untuk mengaji Kitab Tasawuf paling populer, Ihya Ulumuddin, karangan Al-Ghazali kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim. (Bakhri, 2016: 30).

Karena kegemarannya dalam belajar Ilmu Fiqih dan Tasawuf, Syekh Kholil menjadi ahli di bidang itu. Dalam dunia psikologi, apabila seseorang melakukan sesuatu karena rasa suka maka otaknya akan mudah mengingat hal yang disukainya itu.

Agar bisa semangat dalam belajar, kita perlu tau apa-apa saja penyebabnya, adapun menurut penulis adalah karena: a. ‘Azzam, apabila seseorang telah ber’azzam maka tak ada yang bisa menghalangi kemauannya itu, seperti kata Mahfudzot, ”Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan dapat”; b. Niat, Jika seseorang niat karena Allah Swt. maka hal-hal yang dapat melemahkan semangat belajar akan hilang; c. Tahu manfaat dan balasan ilmu bagi seseorang, apabila seseorang telah mengetahui manfaat dari berilmu maka motivasi untuk belajar akan tinggi. Menurut penulis, pengaruh yang paling terlihat dari diri Syekh Kholil Bangkalan adalah ‘azzamnya karena didukung oleh kedua faktor lainnya.

Keinginan/kehendak yang dipilih inilah yang disebut kecenderungan/kemauan atau iradah. Dengan kata lain iradah atau kehendak atau kemauan ialah keinginan/kecenderungan yang dipilih di antara kecenderungan yang banyak setelah bimbang. (Dzatnika, 1996: 51).

Berbeda dengan Amin (1995: 48-49), ia mengemukakan bahwa kehendak ialah manusia daripadanya timbul segala perbuatan yang hasil dari kehendak dan segala sifat manusia dan kekuatannya seolah-olah tidur nyenyak sehingga dibangunkan oleh kehendak. Para ahli berpendapat bahwa keinginan yang menang ialah yang alamnya lebih kuat, meskipun ia bukan keinginan yang lebih kuat, keinginan yang menang ialah disebut Rohbah lalu datang ‘azzam atau niat berbuat. (Amin, 1995: 48-49).

Azzam yaitu kemauan keras yang harus dimiliki seorang murid dalam belajar. Allah Swt. berfirman:

÷ŽÉ9ô¹$$sù $yJx. uŽy9|¹ (#qä9'ré& ÏQ÷yèø9$# z`ÏB È@ߍ9$# Ÿwur @Éf÷ètGó¡n@ öNçl°; 4 öNåk¨Xr(x. tPöqtƒ tb÷rttƒ $tB šcrßtãqムóOs9 (#þqèVt7ù=tƒ žwÎ) Zptã$y `ÏiB ¤$pk¨X 4 Ô÷»n=t/ 4 ö@ygsù à7n=ôgムžwÎ) ãPöqs)ø9$# tbqà)Å¡»xÿø9$#

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46: 35). (Yaqub, 1983: 160).

 

Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku manusia adalah kemauan keras. Itulah yang menggerakan manusia berbuat dengan sungguh-sungguh. (Yaqub, 1983: 73).

Apabila seseorang telah ber’azzam, maka seberat apapun akan ia lakukan karena dorongannya yang kuat itulah dia jadi terlihat hebat karena perbuatan yang di’azzamkan biasanya adalah perbuatan yang membutuhkan perjuangan untuk dilakukan. Misalnya, seseorang yang rela bekerja hingga larut malam demi cita-citanya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. (Dzatnika, 1996: 48).

Kehidupan para Rasul adalah contoh yang baik dalam ber’azzam. Allah Swt. berfirman:

÷ŽÉ9ô¹$$sù $yJx. uŽy9|¹ (#qä9'ré& ÏQ÷yèø9$# z`ÏB È@ߍ9$# Ÿwur @Éf÷ètGó¡n@ öNçl°; 4 öNåk¨Xr(x. tPöqtƒ tb÷rttƒ $tB šcrßtãqムóOs9 (#þqèVt7ù=tƒ žwÎ) Zptã$y `ÏiB ¤$pk¨X 4 Ô÷»n=t/ 4 ö@ygsù à7n=ôgムžwÎ) ãPöqs)ø9$# tbqà)Å¡»xÿø9$#

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-Rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-Ahqaf, 46: 35).

 

Saat Syekh Kholil masih belajar di Pesantren Minhajul Tullab, sudah sejak lama bercita-cita untuk melanjutkan belajar di Mekkah. Beliau sadar akan biayanya keberangkatannya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Oleh karena itu, Syekh mengumpulkan biaya dari upah sebagai pemetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat 3 sen. (Haqiqi, 2015: 39).

Meskipun sebenarnya Kholil muda berasal dari keluarga yang dari segi perekonomian yang cukup berada, ayahnya terbilang sukses dalam usaha pertanian. Namun beliau tetap saja menjadi oran yang mandiri dan tidak mau merepotkan orang tuanya. (Wajdi, 2016: 17).

Dari dua keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Syekh Kholil adalah seseorang yang mandiri, untuk memenuhi keinginannya Syekh Kholil lebih suka mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja keras. Apa yang beliau lakukan ini sesuai dengan pengamalan hadits yang artinya, ”Sebaik-baik nafkah adalah yang berasal dari usahanya sendiri”. (HR. Bukhari). Oleh karena itu, jika apa yang kita makan atau kita usahakan berasal dari sumber yang baik dan halal, maka baik pula apa yang ada di dirinya, Allah Swt. Swt berfirman:

$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2: 168).

 

Ketika Syekh Kholil berusia 40 tahun dan tabungannya telah cukup untuk perbekalan berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu, Syekh Kholil mengutarakan niatnya tersebut kepada orang tuanya terlebih dahulu. (Bakhri, 2015: 26).

Derajat orang tua begitu tinggi hingga keridhaan Allah Swt. bergantung dari ridha Orang Tua. Rasulullah Saw. bersabda yang artinya: ”Ridha Allah Swt. tergantung pada ridha Orang Tua dan murka Allah Swt. tergantung pada murka orang tua”. (HR. Hasan At-Tirmidzi).

Dalam Alquran Allah Swt. berfirman:

4Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan”ah”dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al-Isra’, 17: 23).

 

Perjalanan Syekh Kholil Bangkalan ke Mekah adalah untuk menuntut ilmu, perjalanan ke Mekkah zaman dulu tidak seperti sekarang yang hanya bisa ditempuh dalam waktu 10 sampai 11 hari menggunakan pesawat terbang. Sementara zaman Syekh Kholil hanya ada kapal laut dan itu membutuhkan waktu 3 – 4 bulan, supaya tujuannya tercapai maka Syekh Kholil memperbanyak puasa sunnah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.. (Bakhri, 2015: 28)

Setelah beberapa tahun Syekh Kholil belajar di Mekkah, Syekh berniat untuk mengamalkan ilmunya (sebagian pendapat mengatakan bahwa kepulangan Syekh Kholil adalah suruhan gurunya untuk mengamalkan ilmu di tanah air dan suruhan itu berlaku kepada dua teman Kholil yang lain namun hanya Kholil yang patuh kepada gurunya sedangkan dua temannya melanjutkan belajar ke Mesir. Akhirnya, Ilmu dua orang yang tidak patuh kepada gurunya menjadi tidak bermanfaat sedangkan Kholil telah menjadi Ulama Besar). Menurut Usman yang dikutip oleh Bakhri, Syekh Kholil tidak langsung mengajar akan tetapi masih memikirnya caranya mengajarkan ilmu kepada masyarakat, karena itu, sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmu, ia bekerja sebagai penjaga di kantor Adipati sebagai penjaga malam. Syekh Kholil memiliki banyak waktu luang yang dimanfaatkannya untuk membaca kitab, akhirnya dikenal sebagai seseorang yang ahli membaca kitab. (Bakhri, 2015: 37).

Niat mengajar sepulangnya dari pencarian ilmu yang dilakukan Syekh Kholil sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS. At-Taubah: 122, Allah Swt. berfirman:

 $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122).

 

Dari ayat ini jelas bahwa setiap yang menuntut ilmu ada kewajiban untuk mengamalkan ilmunya dan menyampaikannya kepada orang lain.

Syekh Kholil bukanlah seseorang yang terburu-buru untuk mengajarkan ilmunya melainkan dicari dulu ilmunya agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan hadits: ”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat maka wajib baginya memiliki ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Tirmidzi). Juga hadits tentang terburu-buru adalah sifat setan, ”Tergesa-gesa adalah termasuk perbuatan syetan”. (HR. Thirmidzi).

 

2.        Akhlak Murid kepada Guru

Untuk belajar dari seseorang Syekh Kholil tidak sembarangan memilih guru, itu terbukti dari guru-guru yang dipilihnya seperti Abu Dzarrin, Kiai yang dikenal alim dan pakar tata bahasa Arab, Kiai Noerhasan bin Noerkhotim seorang alim pengajar Kitab besar seperti Kitab Ihya Ulumuddin, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim. (Bakhri, 2016: 16, 20).

Rasulullah Saw. bersabda yang artinya, ”Sesungguhnya di antara tanda hari kiamat adalah, ilmu diambil dari orang – orang kecil (yaitu ahli bid’ah)”(HR. Ibnul Mubarak). Berikut adalah perkataan ulama yang dikutip oleh Atsari (2009) yang berkaitan dengan hal tersebut: Ali bin Abi Thalib berkata, ”Perhatikan dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama”. Abdullah bin Mas’ud juga mengatakan, ”Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa”.

Ketika berada di perantauan (Mekkah) saat menuntut ilmu, Pemikiran dan cara hidup Syekh Kholil banyak dipengaruhi oleh ajaran sufi Imam Al-Ghazali, seorang sufi yang dikaguminya. Selama Syekh Kholil menimba ilmu di Mekkah, Syekh Kholil mengamalkan ajaran ngerowot (vegetarian) yang juga dipraktekkan oleh Al-Ghazali, Syekh Kholil menghindari makan daging dan hanya makan buah-buahan. (Bakhri, 2015: 30).

Sebagaimana yang dikutip Bakhri dari Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa murid harus menanggalkan pikirannya sendiri demi mematuhi petunjuk sang guru, khususnya mengenai hal-hal yang terkait dengan metode pembelajaran dan penempaan diri. Jika guru memberi petunjuk mengenai cara belajar, maka ikutilah dan tinggalkan pikiranmu sendiri. Kesalahan guru pembimbing lebih bermanfaat bagi murid daripada pendapatnya sendiri meskipun benar”. (Bakhri, 2016: xxx).

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa jalan yang mengantarkan seseorang kepada Allah Swt. hanya satu, yaitu sebagaimana Firman Allah Swt. Swt:

`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB

Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa, 4: 115).

 

Dan dalam Firman Allah Swt. yang lain:

÷bÎ*sù (#qãZtB#uä È@÷VÏJÎ/ !$tB LäêYtB#uä ¾ÏmÎ/ Ïs)sù (#rytG÷d$# ( bÎ)¨r (#öq©9uqs? $oÿ©VÎ*sù öNèd Îû 5-$s)Ï© ( ãNßgx6Ïÿõ3u|¡sù ª!$# 4 uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÊÌÐÈ

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah Swt. akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2: 137).

Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits bahwa jalan itu hanya sattu dan jalan yang lain adalah bid’ah. Wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti cara dan jalannya orang beriman. Berdasarkan pemaparan di atas bahwa Syekh Kholil mengikuti jejak Al-Ghazali yang mana ia telah adalah seorang sufi. Maka mengikutinya telah selaras dengan Alquran dan Hadits.

Selama belajar, Syekh Kholil yang memiliki sikap Tawaddhu’ kepada guru. Guru termasuk seseorang yang harus dimuliakan sehingga ia rela jadi pembantu untuk gurunya, apa yang ia lakukan kepada gurunya, maka kebaikkan itu akan kembali kepada dirinya, disamping mencari kebarokahan dalam menuntut ilmu beliau juga mengharapkan keridhaannya. Sebagaimana dalam hadits Rasulullan Saw. artinya, ”Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama”. (HR. Ahmad dan dishahihkan Al-Bani dalam Shahih Jami’).

Syekh Kholil adalah putra dari ulama ternama di Madura yaitu KH. Abdul Latief, ditempatnya Syekh Kholil dipanggil dengan panggilan istimewa”Lora”, namun Syekh Kholil sadar bahwa dalam menuntut ilmu tidak akan berhasil tanpa bersikap Tawaddhu’ kepada gurunya. Maka ia rela menjadikan dirinya Khadam atau pembantu bagi gurunya dan melepaskan”Lora”nya. (Bakhri, 2015: 57).

Merendahkan diri di hadapan guru atau ahli ilmu (ulama) merupakan salah satu tatakrama yang harus dipegang oleh orang yang sedang menuntut ilmu. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, ”Engkau harus hormat dan takzim kepada orang-orang alim dengan niat ikhlas untuk Allah Swt.”. Seorang yang ingin mendapatkan ilmu ia harus merendahkan hati, sebab jika ia merasa tinggi, maka ia enggan untuk mempelajari apapun dari orang lain.”Ilmu tidak bisa didapat kecuali dengan cara merendahkan hati”, demikian kata Al-Ghazali. (Bakhri, 2015: 61).

Seperti yang disampaikan Wajdi (2016: 71), ”Hampir seluruh umurnya ia habiskan untuk berdakwah dan mengajar para santri, karena keikhlasannya menyebarkan ilmu agama, Allah Swt. mengangkat derajatnya dan mengaruniainya berbagai kenikmatan”.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa seseorang akan memperoleh apa yang diniatkannya dan niat mengajar Kholil adalah mengharapkan keridhaan Allah Swt., karena niat itulah Syekh menjadi seorang Waliyullah dan hamba yang disayangi Allah Swt.. WAllah Swt.u’alam.

 


 

3.        Akhlak Sebagai Guru

Syekh Kholil memberikan metode atau cara mengajar yang mudah dipelajari oleh orang yang belajar kepadanya bahkan terkesan sepele. Ini terjadi ketika Syekh Kholil sedang mengajarkan kitab Jurmiyah kepada santrinya, hal tak terduga terjadi ketika tiba-tiba datang para petani mereka mengeluh seraya berkata, ”Tolonglah Kiai, berikan kami do’a agar kami tahu apa penyebab hilangnya timun-timun itu!”, mata Syekh Kholil mengarah kepada suatu kalimat dari kitab yang baru diajarkannya dan mendapati kata”Qaama Zaidun”yang artinya Zaid berdiri. Kemudian Syekh Kholil berkata, ”Karena pelajaran kita telah sampai pada qaama zaidun, maka do’anya ini saja”. Para petani pun wirid dengan do’a itu meskipun tidak mengerti apa arti kalimat ini. Esoknya, mereka menyaksikan pencuri timun itu sudah berdiri kaku di tempat masing-masing. (Wajdi, 2016: 69-70).

Dari peristiwa di atas ketika Syekh Kholil sedang sibuk mengajar maka didatangi para petani. Memperhatikan apa yang dikeluhkan petani menunjukkan kepeduliannya terhadap masyarakat dan meskipun beliau berilmu tinggi, namun beliau memberikan solusi yang mudah dilakukan bagi para petani tersebut.

Beliau mengamalkan apa yang disabdakan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim: ”mudahkanlah, janganlah mempersulit dan berikanlah kabar gembira dan janganlah membuat manusia lari”, dan hadits lain”Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah Swt. akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah Swt. akan memudahkannya di dunia dan di akhirat”(HR. Muslim).

Begitupun dalam firman Allah Swt.:

. . . . . . 3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@

. . . . . Allah Swt. menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah Swt. atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah, 2: 185).

 

Suatu ketika saat Syekh Kholil menyuruh seseorang untuk menjemput tamu yang terjebak hujan lebat dan tamunya itu tidak bisa berjalan. Namun seseorang yang disuruh itu tidak mau melakukannya, berbeda dengan Hasyim Asy’ari yang merupakan salah satu murid Syekh Kholil, setelah Hasyim mendengar kabar itu, ia mengajukan diri kepada Syekh Kholil untuk menjemput tamunya itu dan menggendongnya. Lalu Syekh Kholil berkata, ”Ilmu saya nantinya akan digendong oleh Hasyim Asy’ari ke Jombang”. (Bakhri, 2015: 44).

Ilmu yang diajarkan Syekh Kholil bukan saja ilmu teori akan tetapi juga beliau mendidik sikap sosial kepada muridnya. Kepatuhan seorang santri dan rasa sosial yang diajarkan Syekh Kholil telah melekat dalam diri Santrinya tentu bukan hal yang mudah sehingga Hasyim memiliki rasa sosial yang tinggi, menurut saya kepatuhan dan rasa sosial yang dimiliki seorang murid tidak lepas dari akhlak gurunya yang telah memberikan suri tauladan yang baik. Dalam Islam sendiri akhlak disejajarkan dengan Islam, bukan Islam namanya apabila ilmu yang ia miliki hanya sebatas teori tanpa pengamalan.

Allah Swt. berfirman:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä zNÏ9 šcqä9qà)s? $tB Ÿw tbqè=yèøÿs? ÇËÈ uŽã9Ÿ2 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB Ÿw šcqè=yèøÿs?

2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. 3. Amat besar kebencian di sisi Allah Swt. bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff, 61: 2-3).

 

Islam adalah agama akhlak bukan agama teori, bila seseorang memiliki ilmu tanpa diamalkan maka tak ada bedanya dengan orang yang tak berilmu, dan ilmunya menjadi sia-sia. Rasulullah Saw. Saw, bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad).

Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya, ”Siapa yang tidak mempunyai rasa kasih sayang kepada manusia, niscaya tidak pula dikasihi oleh Allah Swt. (HR. Bukhari dan Muslim). (Yaqub, 1983: 158).

Dalam mengajar, Syekh Kholil menggunakan metode yang ketat sebagaimana seperti yang diungkapkan Bakhri bahwa Syekh Kholil tidak memperkenankan santrinya untuk pulang kampung sebelum hafal seribu bait nadzam Alfiyah. (Bakhri, 2015: 48).

Dibalik ketatnya pendidikan yang diberikan Syekh Kholil kepada anak didiknya seperti ada rasa tanggung jawab pada diri Syekh Kholil terhadap pendidikan anak didiknya, yang santri lakukan hanya harus patuh kepada gurunya, karena guru pasti mempunyai tujuan yang baik meskipun santri tidak tahu maksud dibalik tujuannya itu. Meski tidak diketahui tujuan pasti, cara mendidik Syekh Kholil itu telah melahirkan banyak santri yang hebat. Syekh Kholil sebagai guru bertanggung jawab kepada anak didiknya sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., ”Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya”. (Baqi, 1993: 562-563).

Syekh juga adalah seorang yang penuh hikmah sebagaimana diceritakan oleh Wajdi bahwa suatu ketika ada seorang santri yang tidak melaksanakan Shalat Subuh, lalu Syekh Kholil mencarinya. Setelah ditemukan santri tersebut, tanpa ditanya terlebih dahulu (karena sudah tahu) santri tersebut langsung dihukum agar mencari dua rumpun bambu dengan menggunakan pisau kecil. Santri itu pun menuruti perintah kiainya, setelah selesai menyelesaikan hukumannya, Syekh kemudian menghukum kembali dengan mengharuskan santri tersebut menghabiskan senampan nasi. Setelah semua hukuman selesai dilaksanakan Syekh Kholil berkata, ”Aku telah memberikan sebagian ilmuku kepadamu, sekarang pulanglah”. Ajaibnya, tidak lama setelah itu santri tersebut menjadi kiai yang alim di kampungnya. (Wajdi, 2016: 97).

Dari kisah di atas Syekh Kholil mengajarkan kepada kita bahwa untuk menjadi guru yang bijak tidak selalu menghukum dengan hal yang berat akan tetapi bisa juga dengan memberi makanan kepada murid yang sedang kita hukum, dan mendo’akan hal yang baik-baik kepada santri tersebut.

Firman Allah Swt.:

äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q. S An-Nahl, 16: 125).

 

Sehubungan dengan ayat ini, khatib perlu berlaku bijaksana dalam berdakwah, antara lain: menyederhanakan perkataan sehingga mudah dimengerti, sopan, ringkas dan tepat dalam pembicaraan. (Yaqub, 1983: 159).

Dalam mengajar, Syekh Kholil tidak hanya mengajarkan ilmu eksoterik atau lahiriyah, tetapi Syekh Kholil juga mendidik santrinya dengan ilmu esoterik atau batiniyah. Ilmu batin yang dimaksud di sini bukanlah ilmu kanuragan melainkan ilmu tasawuf. Sebagaimana diketahui, selain memiliki kecenderungan mendalami ilmu fiqih dan Ilmu Tata Bahasa Arab, beliau juga memiliki kecenderungan terhadap ilmu tasawuf, karena itu Syekh juga mendidik batin santrinya dengan membiasakan santrinya untuk bangun malam untuk melaksanakan istighasah yang diisi dengan berbagai macam aktifitas seperti shalat malam, dzikir, dan membaca Alquran.

Dari cerita di atas terlihat jelas bahwa Syekh Kholil Bangkalan mengajarkan ilmu dengan seimbang antara ilmu lahiriyah dengan bathiniyah. Ilmu lahiriyah bisa juga berarti ilmu-ilmu yang nampak atau bersifat duniawi sedangkan ilmu batiniyah adalah ilmu-ilmu yang tak terlihat tetapi bisa dirasakan di dalam hati, ilmu batiniyah bisa juga berarti ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akhirat. Sebagaimana Firman Allah Swt. :

Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$#

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Swt. telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Qashash, 28: 77).

 

Addariny berpendapat bahwa Allah Swt. memerintahkan kita agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah Swt. berikan, untuk meraih kemuliaan akhirat. Simpelnya: Korbankanlah duniamu, untuk meraih akhiratmu. Lalu Allah Swt. mengatakan jangan lupakan bagianmu, yakni bagian kecil dari dunia. Jelaslah bahwa kita harusnya mementingkan akhirat bukan dunia. Makanya Allah Swt. berfirman:

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56).

 

Sebagai guru yang melahirkan banyak tokoh Ulama di Indonesia, Syekh Kholil Bangkalan memiliki metode pendidikan yang unik. Terkadang metode tersebut diterapkannya tidak bisa dinalar. Namun, cara tersebut sukses melahirkan hasil yang hebat. Santri-santri yang mematuhi apa yang beliau perintahkan biasanya kelak menjadi ulama hebat yang memiliki pengaruh yang besar di masyarakat. Syekh Abdul Qadir Jailani pernah berkata”Barang siapa ingin menjadi baik, maka jadilah tanah di bawah telapak kaki para guru”tentunya bukan guru sembarangan, di sini Syekh mengibaratkan murid dengan tanah, maksudnya adalah bahwa guru sebagai pembimbing harus memberikan arahan kepada muridnya dan murid harus patuh kepada guru karena guru yang baik tidak akan pernah menjerumuskan. (Bakhri, 2016: xxx-xxxi)

Dikisahkan Syekh Kholil Bangkalan sedang berjalan-jalan menyusuri jalanan di Madura. Ketika itu Syekh Kholil melihat seseorang terkapar di tepi jalan. Orang-orang yang melihat tidak ada yang mau menolong karena laki-laki itu adalah seorang pemabuk. Mengetahui hal itu, Syekh menolong laki-laki itu seraya berkata, ”Orang ini bukan mabuk, tetapi jadzab kepada Allah Swt.”. (Bakhri, 2015: 63).

Jadzab atau dalam arti lain yaitu suatu kondisi di mana orang sedang mabuk kepayang kepada Allah Swt.. Sikap Syekh Kholil tak terduga karena ia bersikap beda dari kebanyakan orang. Ketika orang yang mabuk dianggap sedang mabuk kepayang kepada Allah Swt. di situlah kita bisa melihat kesucian hati beliau dari sifat-sifat iri, dengki, atau merasa paling suci, ia menyerahkan urusan hati kepada Allah Swt. sebagai manusia yang ia lakukan adalah bersikap manusiawi terhadap manusia. Allah Swt. Swt berfirman:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah Swt.. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Hujurat, 49: 12).

 

Dari ayat di atas Allah Swt. memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa, maka jauhilah prasangka dalam rangka kehati-hatian. Dalam hadits Rasulullah Saw. bersabda, ”Cukuplah seseorang dari kejelekkan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim bagi muslim lain, haram darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah Swt. melihat ke tubuh kalian, tidak pula ke rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian”. (HR. Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482).

Dikutip dari kitab Tafsir Ibnu Katsir (t.t.: 291), bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khatab Ra. beliau berkata, ”Jangan sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut”.

D.      Materi Pendidikan Akhlak menurut Syekh Kholil Bangkalan

 Menurut Syekh Kholil Bangkalan, materi pengajaran yang diberikan di pesantren Tebuireng adalah lebih menitikberatkan kepada ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Namun setelah ada perubahan sistem pendidikan yang ada di pesantren Bangkalan Madura, maka materi yang diajarkan dibagi menjadi dua, yaitu:

1.        Materi-materi yang bersifat keagamaan dengan mengunakan buku-buku yang ditulis dengan bahasa Arab atau bahasa Alquran, misalnya seperti Alquran, Nahwu Sharaf, Ushul fiqh, Hadits, Kitab Kuning, dan lain-lain yang berhubungan dengan materi-materi keagamaan.

2.        Kedua adalah materi yang bersifat umum, Syekh Kholil tidak lepas dari belajar Ilmu Umum sebagaimana yang diterangkan Bakhri bahwa ilmu yang dipelajari Syekh Kholil sejak remaja misalnya Matematika, Sejarah, Tata Cara Menulis Huruf Arab. (Bakhri, 2015: 13).

Dimasukkannya Ilmu Umum dalam belajar itu kemudian diikuti oleh murid Syekh Kholil yaitu Kiai Hasyim Asy’ari dalam mengembangkan Pesantren Tebuireng pada tahun 1929 yang pada waktu itu belajar ilmu umum dianggap sebagai kemungkaran, budaya Belanda dan semacamnya. Namun, madrasah ini tetap berjalan karena beranggapan bahwa Ilmu umum akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren. (Wikipedia, 2017).

Hal ini diperkuat oleh Bruinessen bahwa materi-materi yang digunakan oleh Syekh Kholil yang berupa non-keagamaan yaitu buku-buku yang ditulis dengan bahasa latin, misalnya seperti membaca dan menulis bahasa latin, bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah Indonesia, dan ilmu hitung. (Bruinessen, 1995: 126-128).

   Selain membekali santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat- santrinya juga tidak diperbolehkan boyong (pulang kampung) sebelum hafal seribu nadzam Alfiyah Ibn Malik. Dalam setiap dakwahnya maupun dalam menerima pengaduan permasalahan selalu dikaitkan dengan bait Alfiyah Ibn Malik, jika seseorang menanyakan soal aqidah, maka Syekh Kholil menjawab dengan bait Alfiyah, begitupun dengan permasalah tasawuf dan fiqih beliau menjawab dengan bait-bait Alfiyah. Bahkan pernah terjadi suatu ketika Syekh Kholil berada dalam suatu undangan, beliau memakan makanan langsung menggunakan tangannya tanpa menggunakan sendok lantas menuai kritikkan dari orang lain, langsung saja dengan senyuman Syekh menjawabnya dengan bait-bait Alfiyah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa isi dari Alfiyah bisa mencakup berbagai solusi dari berbagai masalah yang timbul kehidupan mulai dari masalah yang sepele sampai yang rumit sebagaimana yang dicontohkan dalam kehidupan Syekh Kholil Bangkalan. Selain itu, beliau juga menggembleng santrinya dengan ilmu batin (Esoterik). (Bakhri, 2015: 80).

 

E.       Analisis Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan Tentang Pendidikan Akhlak dan Relevansinya dalam Pengembangan Pendidikan Akhlak.

Pada dasarnya Pendidikan bukan hanya proses transfer ilmu pengetahuan saja yang menciptakan peserta didik yang mampu mengembangkan sisi kognitif-nya saja, tetapi juga pendidikan bertugas untuk mampu mengembangkan kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Serta yang paling penting dalam Pendidikan Agama Islam adalah mampu membuat peserta didik mengetahui hakikat penciptaannya sebagai makhluk yang diciptakan untuk beribadah hanya kepada Allah Swt. Swt yang dibuktikan dengan perilaku yang baik, baik itu kepada Allah Swt. Swt, Rasulullah Saw. Saw, Dirinya sendiri, Sesama Manusia dan Makhluk lainnya.

Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah Swt. yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepadanya. (Athoullah, 2005: 68-71).

Sementara itu Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya Al-Attas mengatakan bawa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah Swt..

Dari tujuan pendidikan tersebut di atas, dapat digaris bawahi bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan peserta didik memiliki akhlak yang mulia. Itu artinya diharapkan setelah peserta didik menyenyam pendidikan akan tercipta perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sebagai cerminan tujuan pendidikan yang paling utama yaitu iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Ilmu pendidikan dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan akhlak tersebut, maka seluruh aspek pendidikan lainnya, yakni materi pelajaran, guru, metode, sarana dan sebagainya harus berdasarkan ajaran Islam.

1.        Analisis Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan Tentang Pendidikan Akhlak

Secara keseluruhan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan sesuai dengan pendapat Consuelo dan Umary mengenai Akhlak Mahmudah dalam Pendidikan yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: Akhlak dalam Belajar, Akhlak Murid Kepada Guru, dan Akhlak Guru dalam mengajar. Adapun rinciannya Akhlak Syekh Kholil adalah sebagai berikut:

a.         Akhlak Murid dalam Belajar: 1) Niat karena Allah Swt.; 2) Belajar dengan kurikulum Salafiyah; 3) Memiliki semangat yang tinggi dalam belajar; 4) Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian; 5) Pelajari pelajaran yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); 6) Tidak menunda-nunda kesempatan belajar; 7) Sabar dan Qana’ah; 8) Menyederhanakan makan dan minum; 9) Bersikap hati-hati (wara’); 10) Mandiri;

b.        Akhlak Murid kepada Guru: 1); Berhati-hati dalam memilih guru; 2) Patuh kepada Guru; 3) Mengikuti jejak guru; 4) Memuliakan guru; 5) Memperhatikan apa yang menjadi hak guru; 6) Menjadi pembantu Guru.

c.         Akhlak Seorang Guru: 1) Berniatlah ibadah ketika dalam mengajar ilmu kepada anak didik; 2) Menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah Swt. dan Rasulullah; 3) Biasa menambah ilmu dengan membaca Kitab; 4) Ramah, lemah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak diskriminasi; 5) Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam; 6) Menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian; 7) Menggunakan metode yang mudah dipahami oleh murid; 8) Membangkitkan antusias peserta didik dengan memotivasinya; 9) Memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu. 10) Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub ila Allah Swt. ); 11) Senantiasa takut kepada Allah Swt. ; 12) Senantiasa tenang dan khusu’; 13) Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduniawian semata; 14) Ketat dan tanggung jawab; 15) pemaaf.

Dari sekian banyak Akhlak mulia Syekh Kholil di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa Pemikiran Syekh Kholil tentang Pendidikan Akhlak ada dua yaitu pertama, Syekh Kholil menerapkan Belajar sepanjang hayat, dan kedua adalah Integritas atau teladan, yaitu bersatunya antara ilmu yang dimilikinya dengan perilakunya, singkatnya apa yang Syekh Kholil lakukan selalu sesuai dengan apa yang diucapkannya.

2.        Relevansi Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pengembangan Pendidikan Akhlak terhadap Pendidikan Kontemporer

Dalam perkembangan Pendidikan Akhlak menurut penulis pemikiran Syekh Kholil Bangkalan sangat relevan sekali atau sangat keterkaitan dengan Pendidikan Akhlak, karena tokoh tersebut bukan hanya berpandangan tentang Pendidikan Akhlak saja tapi lebih secara keseluruhan atau menyeluruh mulai dari Definisi Pendidikan Akhlak, Tujuan Pendidikan Akhlak, Dasar Pendidikan Akhlak, Sistem Pendidikan Akhlak, dan materi Pendidikan Akhlak.

Dilihat dari segi nilai Tujuan Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan selalu mengedepankan kepada akhlak yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci yang berlandasan Alquran dan Hadist.

Dari segi nilai Dasar Pendidikan Akhlak lebih kepada Alquran dan Sunah karena menurut Syekh Kholil Bangkalan Alquran dan Sunah adalah sumber kebaikan manusia untuk melakukan budi pekerti yang baik, moral yang baik, dan sopan santun yang baik dengan adanya Alquran dan Sunah selalu dituntut untuk melakukan kebaikan dan dituntut untuk tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam itulah sebabnya Alquran dan Sunah dijadikan sumber pokok dari ilmu pendidikan akhlak oleh Syekh Kholil Bangkalan.

Dilihat dari segi Sistem Pendidikan Akhlak Syekh Kholil Bangkalan lebih menitikberatkan kepada Akhlak Murid dalam Belajar, Akhlak Murid terhadap Guru dan Akhlak seorang Guru yang sesuai dengan ajaran Islam.

Kemudian dilihat dari segi Materi Pendidikan Akhlaknya lebih kepada bersifat keagamaan dengan mengunakan buku-buku yang ditulis dengan bahasa Arab atau bahasa Alquran, misalnya seperti Alquran, bahasa Arab, Ushul Fiqh, Hadits, Kitab kuning dan lain-lain yang berhubungan dengan materi-materi keagamaan.

Menurut penulis pandangan tokoh tersebut dalam pendidikan akhlak patut untuk di pedomani, karena pandangan tokoh tersebut dalam pendidikan akhlak sesuai dengan syariat Islam atau dengan Alquran dan Sunah. Dari definisi pendidikan akhlak dari pandangan Syekh Kholil Bangkalan menurut penulis itu sangat patut kita teladani karena pandangan tokoh tersebut mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan akhlak karena jikalau tidak ada beliau yang menyebarkan pendidikan akhlak melalui murid-muridnya maka tidak ada tokoh-tokoh pembaharu yang menyebarkan pendidikan akhlak karena tokoh-tokoh pembaharu yang menyebarkan pendidikan akhlak di negara Indonesia adalah murid-muridnya Syekh Kholil Bangkalan, salah satu muridnya yang biasa kita kenal adalah KH. Hasyim Asy’ari seorang juru kunci lahirnya NU, Ormas Islam terbesar di Indonesia.

Lebih lanjut lagi selain itu, fungsi dan tujuan pendidikan tertuang dalam Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang martabat, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Sedangkan menurut Tatang Syarifudin (2006: 34), mengatakan: ”tujuan pendidikan adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak Mulia, Sehat, Cerdas, Berperasaan, Berkemauan dan mampu mengendalikan hawa nafsunya, berkepribadian, bermasyarakat dan berbudaya”.

Dalam perkembangan pendidikan akhlak Syekh Kholil Bangkalan menurut penulis sangat kuat sekali keterkaitannya dengan pendidikan akhlak kontemporer karena sudah jelas dengan penjelasan di atas. Bahwa tokoh tersebut tidak hanya berpandangan tentang pendidikan akhlak saja tapi lebih secara keseluruhan atau menyeluruh mulai dari definisi pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, dasar pendidikan akhlak, sistem pendidikan akhlak, dan materi pendidikan akhlak.

Dari kelima konsep pendidikan akhlak tersebut, sudah dipastikan bahwa pandangan tokoh tersebut dapat dikembangkan menjadi pendidikan akhlak yang universal atau secara keseluruhan. Oleh karena itu, penulis membuat judul skripsi ini, karena akhlak di jaman modern sekarang sudah semakin memudar, dimulai dari pelecehahan, tindakan kriminal, pencurian, korupsi, terorisme, bahkan ada yang rela menjual harga dirinya sendiri demi kepuasan sendiri atau uang.

Lalu kenapa hal itu bisa terjadi, bukankah sekarang sudah banyak pesantren-pesantren atau sekolah-sekolah madrasah yang akan memicu timbulnya akhlak kebaikan di dalam hati seorang muslim? Itulah lemahnya pendidikan Islam di Indonesia, kenapa hal itu bisa terjadi karena para orang tua hanya menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada suatu lembaga, pesantren-pesantren atau sekolah-sekolah saja padahal yang lebih penting untuk mendidik seorang anak agar menjadi anak yang ber-akhlakul karimah adalah orang tuanya itu sendiri.

Karena di lembaga - lembaga, sekolah-sekolah atau pesantren-pesantren hanya memfasilitasi saja, setelah itu terserah muridnya mau memilih jalan kebaikan atau keburukan, itulah kenapa penulis mengatakan lemahnya pendidikan akhlak di Indonesia ke pada seorang anak karena di Indonesia sangat kurang pengawasan terhadap peserta didik oleh guru maupun orang tuanya sendiri.


 

BAB V

PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian akhirnya mendapatkan hasil sebagaimana diuraikan dalam kesimpulan berikut:

1.        Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pendidikan Akhlak adalah sebagai berikut:

a.         Menuntut Ilmu Sepanjang Hayat, yaitu Syekh Kholil rajin menuntut ilmu sejak kecil bahkan ketika sudah tua tetap menuntut ilmu dengan mengikuti pengajian murid-muridnya yang telah menjadi Ulama;

b.        Integritas atau keteladanan, yaitu kesesuaian antara yang dilakukan dengan apa yang diucapkan sehingga beliau menjadi teladan bagi santri dan masyarakat di sekitar Bangkalan.

2.        Relevansi Pemikiran Syekh Kholil Bangkalan tentang Pendidikan Akhlak terhadap Pendidikan Islam Kontemporer sangat kuat sekali keterkaitannya karena tokoh tersebut bukan hanya berpandangan tentang Pendidikan Akhlak saja tetapi dari secara keseluruhan mulai dari definisi Pendidikan Akhlak, Tujuan, Dasar, Sistem, dan Materi Pendidikan Akhlak selalu berlandaskan pada Alquran dan Hadits sehingga pemikiran tokoh tersebut dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas akhlak manusia.

 

B.       Saran-saran

Riwayat hidup seorang tokoh merupakan pelajaran penting bagi kita semua, khususnya penuli pribadi, dalam meniti jejak yang mereka ambil sehingga bisa mencapai puncak kejayaan dan mampu memberikan manfaat untuk orang lain. sehingga ketika mereka meninggal dunia, maka jasa-jasamya akan selalu masih dalam kenangan, namanya akan selalu harum di belahan dunia ini. Maka oleh karena itu patutlah bagi kita, generasi muda yang tangguh, kuat mampu mengambil pelajaran yang amat berharga dan sangat penting.

Tokoh tersebut merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam Pendidikan Akhlak di Indonesia. Pemikiran tokoh tersebut menggambarkan totalitas dalam mendidik manusia, totalitas dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam maupun ilmu-ilmu non-keagamaan patutlah kiranya sedikit melirik tentang hasil pemikirannya yang cemerlang sehingga kita bisa meniru dan meniti buah pikirannya itu, terutama tentang Pendidikan Akhlak.

Penulis ingin mengucapkan alhamdulillah kepada Allah Swt. yang telah memberikan jalan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Saw. Saran dari penulis adalah jangan lupakan sejarah dan kisah para leluhur kita yang telah banyak berjasa agar kita bisa terus mengambil pelajaran dan sisi positif darinya sehingga bisa dijadikan pedoman untuk perbaikan di masa mendatang serta agar generasi penerus dapat mengetahui bahwa mereka pernah ada dengan berjuta kisah inspiratifnya.

Semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya untuk penulis dan umumnya kepada semua yang membacanya, semoga bisa dijadikan bahan bandingan, dan acuan untuk mencapai suatu pendidikan yang berkualitas. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu pantas kiranya mengharapkan kritik dan saran pembaca dalam rangka perbaikan karya ini.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Ibnu Rusn (1998). Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

 

Achmadi, Abu (2008). Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Al Atsari, Abu Isma’il Muslim (2009). Jangan Mengambil Ilmu Dari Ahli Bid’ah. http: //almanhaj. or. id/2601-jangan-mengambil-ilmu-dari-ahli-bidah. html. diakses tanggal 30 Agustus 2017

 

Amin, Ahmad (1995). Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: PT. Bulan Bintang.

 

Anonimous (2003). Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kloang Klede Putra Timur.

 

Arikunto, Suharsimi (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

 

Asmaran (1994). Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Athoullah, Ahmad (2005). Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf. Banten: Rajawali Pers.

 

Bakhri, Mokh. Syaiful (2015). Maha Guru Pesantren, kisah perjalanan hidup ulama lagendaris. Madura: Erlangga.

 

Baqi, Muhammad Fuad Abdul (1993). Al-Lu’lu’ Wal Marjan. Semarang: Ar-Ridha.

 

Bungin, Burhan (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Consuelo G. Sevilla (1993). Pengantar Metode Penelitian, Penerjemah alimudin Tuwu, Jakarta: UI-Press.

 

Departemen Agama RI (2004). Alquran dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro.

 

Dzatnika, Rahmat (1992). Sistem Ethika Islami Akhlak Mulia. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Dzatnika, Rahmat (1996). Sistem Etika Islam. Bandung: Panjimas.

 

Fatimah, Siti (2011). Skripsi Peran KH. Muhammad Cholil Dalam Mengembangkan Islam di Madura. Jakarta: UIN Syarif hidayatullah.

 

Haqiqi, Muhammad Al-Fitra (2009). 50 Ulama’ Agung Nusantara: Potret Keteladanan & Ketokohan bagi Umat dan Bangsa. Jombang: Darul Hikmah

 

Ichazo, Oscar (t. t. ). 4 Dasar kepribadian dalam Akhlak. Jakarta: Pustaka Indo.

 

Kafie, Jamaluddin (1993). Psikologi Dakwah. Surabaya: PT. Indah Surya.

 

Kamil. M. A. Quasem (1975). Etika Al-Ghazali, Etika Majemuk di dalam Islam. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Laporan Media Indonesia, 18 Januari 2014

LPP IAID (2001). Panduan Penyusunan Skripsi di Lingkungan Institut Agama Islam Darussalam. Ciamis.

 

Ma’sum, Saifullah (1998). Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan

 

Mudjib, Abdul dan Mudzakir (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

 

Munawwir, Ahmad Warson (1989). Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: PT Al Munawwir.

Nasir, Sahilun A. (1980). Etika dan Problematikanya Dewasa Ini. Bandung,: PT. Al-Ma’arif.

 

Nata, Abuddin (1997). Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

 

Ngalim, Purwanto (1995). Ilmu Pendidikan Islam dan Teoritis Praktis. Bandung: Rosda Karya.

 

Prastowo, Andi (2011). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

 

Rahman, Saifur (1999). Biografi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan, Surat kepada Anjing Hitam. Jakarta: Pustaka Ciganjur.

 

Ramayulis (1994). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Jakarta of Chicago Press.

 

Rasyiddin, Nizar (2005). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Ciputat Press.

 

Rozaki, Abdul (2004). Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa.

 

Sa’aduddin, Iman Abdul Mukmin (2006). Al-Akhlak fil Islami. Bandung: PT. Rosdakarya.

 

Salim, Agus (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Jogjakarta: PT. Tiara Wacana.

 

Singarimbun, Masri (2009). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

 

Soebahar, Abd. Halim (2002). Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

 

Soedjono, Abdurrahman (1999). Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Surakhmad, Winarno (1990). Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: PT. Remaja Rosydakarya.

 

Suryabrata, Sumadi (2004). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Syarifudin, Tatang (2006). Landasan Pendidikan. Bandung: UPI Press.

 

Taslim, Abdullah (2010). Keutamaan Cinta Akhirat dan Zuhud dalam Kehidupan Dunia. Diambil dari http: //muslim. or. id/5177-keutamaan-cinta-akhiran-dan-zuhud-dalam-kehidupan-dunia. html

 

Thoyyar, Husni (2007). Panduan Penyusunan Skripsi. Ciamis: LPP IAID.

 

Thoyyar, Husni (2015). Pedoman Penulisan Skripsi dan Artikel Ilmiah. Ciamis: Institut Agama Islam Darussalam.

 

Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Ukkasyah, Sa’id Abu (2015). Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam (1): Ilmu Fadhu’ain. Diambil dari https://muslim.or.id/24642-skala-prioritas-dalam-belajar-agama-islam-1-ilmu-fardhu-ain.html

 

Ukkasyah, Sa’id Abu (2015). Skala Prioritas dalam Belajar Agama Islam 2-Ilmu-Fardhu ‘Ain dan Ilmu Fardu Kifayah. Diambil dari https://muslim.or.id/24689-skala-prioritas-dalam-belajar-agama-islam-2-ilmu-fardhu-ain-dan-ilmu-fardu-kifayah.html

 

Umary, Barmawie (1983). Materia Akhlak. Solo: Ramadhani.

 

Bruinessen, Martin Van (1995). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

 

Wajdi, Muhammad Farid (2016). Karamah Tiga Sufi. Jakarta: Qalam Publishing.

 

Wikipedia (2017). Pondok Pesantren Tebuireng. Diambil dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/pondok_pesantren_tebuireng.html

 

Yaqub, Hamzah (1983). Etika Islam. Bandung: Cv. Diponegoro.

 

Yunus (1998). Ilmu Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

 

Yusuf, M. Zein (1993). Akhlak-Tasawuf. Semarang: Al-Husna.

Krida Salsabila
Lihat profil lengkapku